Di Suatu Pagi...

Februari 09, 2016

Baca Juga

Pagi menyadarkan apa saja. Termasuk saya, yang sudah lama tak bertemu pagi. Dinikmati saja, bukan? Hari libur, meski bukan rasa libur. Saya cuma punya waktu (jeda bekerja) sepanjang pagi.

Saya begitu rindu merasai waktu-waktu weekend. Hingga bulan kesembilan di tempat bekerja, saya (dan kawan-kawan) belum mendapatkan jatah libur sehari. Padahal kepala juga butuh dikosongkan barang sejenak. Mau bagaimana lagi, kamilah pekerja yang tak mengenal esensi libur! Hidup Jurnalis!!

Tak ada ketenangan pagi di sepanjang tepian anjungan Losari. Bising orang-orang berlomba menghirup udara segar dari jalanan kota. Kapan lagi bisa menikmati jalanan kosong yang saban hari dilalui roda-roda mesin modern? Sayangnya, pasar tumpahnya sudah digusur hingga enggan beradu tempat lagi dengan trotoar jalan.

Pagi itu, tak ada liputan yang cukup mendesak diprioritaskan terlebih dahulu. Sekali saja, saya ingin bercumbu dengan pagi. Merasai aromanya yang belum disesaki bising dan polusi. Adakah yang lebih mendamaikan saat melihat senyum perempuanmu? Detik ia merapal satu-satu segala momen yang dilaluinya.

Saya pernah berjalan di sepanjang tepian reklamasi pantai ini. Beberapa bulan, atau setahun lalu malah. Pun, ketika saya belum menyibukkan diri dengan tuntutan menghidupi hidup. Sebegitu rumit pekerjaan saya membunuh waktu luang? Ironis.

Saya cuma rindu berjalan tanpa arah menyaksikan wajah penuh lelah.

***

Saya baru-baru ini kena dijahili teman-teman di media sosial. Apa ya? Sejenis pencitraan yang membuat nama saya booming di kalangan orang-orang yang mengenal saya. Apa sih.. -_-"

Beberapa teman menjumpai sebuah "adegan" pagi di tepian anjungan pantai Losari. Saya, berdua dengan seorang gadis (manis) sedang menikmati pagi. Oke, sekadar jalan-jalan bertukar cerita (dan bertukar pandang). Menyibak keramaian yang sudah mulai berkurang karena kehilangan teriakan pedagang pasar tumpah. Pasar itu menjelma di ujung persimpangan jalan.

Tapi ya sudahlah. Apatis. Saya tak pernah berniat menghapus postingan apapun yang terlanjur dipublikasikan di dunia maya. Padahal bukan saya yang posting, kan? 

Bagi saya, postingan di jejaring sosial itu ibarat masalah. Menghapusnya bukan berarti kita terlepas darinya. Serupa dengan cara melarikan diri, yang justru memerangkap dalam praduga tak berkesudahan. Hadapi saja. Pelototi. Hingga ketika saya harus kalah, saya kalah secara terhormat. #sadaap

Seperti ingatan, saya takkan pernah menghapus apapun disana. Selama ia masih bersambung dengan neuron dan sinapsisnya, biarkan ia menjelajahi waktu yang tak terbatas jumlahnya. Karena ingatan di kepala, selalu, adalah time machine paling canggih sejagad raya...

Karena, kelak saya akan mengingat-ingat kejadian itu sebagai momen yang teramat berharga. Puzzle memory.


--Imam Rahmanto--

You Might Also Like

0 comments