Paspor dari Profesor
November 17, 2015Baca Juga
Belakangan ini, menyelesaikan satu buku bacaan saja sangat susah. Saya harus mencari-cari (hingga mencuri-curi) waktu demi menamatkan satu buku yang sudah menetap di kepala. Ada beberapa buku yang mengantri dan ingin dibaca sekaligus.
Kemarin, saya baru saja menyelesaikan satu buku yang telah lama saya incar-incar. Saya justru menemukannya di kota lain, Medan. Itu lantaran di kota Makassar, Gramedia selalu kehabisan stock setiap kali saya mengecek dua mall besar disana.
Pernah mendengar buku 30 Paspor di Kelas Sang Profesor? Kalau belum, maka cari dan bacalah! Saya teramat-sangat merekomendasikannya.
Buku yang ditelurkan lewat pemikiran "self driving" seorang dosen nyentrik Universitas Indonesia (UI) ini sungguh mencerahkan. Yah, sekaligus membuat saya menggebu-gebu ingin membuat paspor! Ya, passport! Tanpanya, saya takkan pernah bisa menginjakkan kaki ke luar negeri.
Gara-gara membaca tulisannya pula, saya terdorong membaca tulisannya yang lain.
Buku setebal 328 halaman ini dirangkum oleh J.S Khairen, yang berisi kumpulan kisah perjalanan 30 mahasiswa "nyasar" di luar negeri. Sebenarnya, mereka tidak benar-benar kesasar dalam artian sesungguhnya. Akan tetapi, tugas dari "pemikiran unik" Prof. Rhenald Kasali di kelasnya lah yang memaksa mereka berpetualang sendirian ke luar negeri.
Negara yang berbeda, kisah yang berbeda. Semua bermula dari kelas sang Profesor dengan mata kuliah Sang Profesor, Pemasaran Internasional (Pemintal). Setiap mahasiswa diwajibkan memilih salah satu negara tujuan observasi.
Negara yang dituju tak boleh berbahasa melayu dan bahasa Indonesia, semisal Malaysia, Singapura, atau Brunei. Satu orang pun tak boleh memilih negara yang sama dengan teman-teman lainnya. Ditambah lagi, mereka harus pergi seorang diri ke negara tujuannya, tanpa keluarga, sanak saudara, atau teman.
Dan bertebaranlah para mahasiswa kampus UI itu di pilihan negaranya masing-masing. Berbekal pengalaman dan Bahasa Inggris seadanya...
Buku dua seri ini membuktikan bahwa perjalanan keluar negeri memang bisa dilakukan seorang diri meski berbekal kenekatan. Uang, mungkin jadi pilihan ke sekian dari beberapa kendala yang menghadang. "If you really want to do something, you'll find a way. If you don't, you'll find an excuse," Jim Rohn said.
Saya punya seorang teman yang sudah pernah melakukan perjalanan serupa seorang diri. Biaya perjalanannya ia tabung dari hasil kerja setahun sebagai Barista di salah satu kafe franchise. Hasilnya? Lebih sebulan ia berpetualang ke beberapa negara di Asia; Malaysia, Thailand, Filipina, hingga China. Meskipun sebenarnya, kata dia, masih melenceng dari target awal perencanaannya.
Bahkan, salah satu mahasiswa yang berkisah di dalam buku 30 Paspor di Kelas Sang Profesor itu, Delinda, pernah saya temui di kampus UI. Di kepala saya masih jelas tertampung nama perempuan kecil yang menjadi L.O (pemandu) kami dalam event Journalist Days, nyaris 3 tahun silam. Seperti diceritakannya, ia sukses menginjakkan kaki di negara impiannya, Korea Selatan.
Saya sungguh suka dengan pemikiran Prof. Rhenald Kasali. Ia termasuk dosen yang suka berpikir "out of the box". Tugas di kelasnya tak melulu soal paper, soal, atau bacaan. Ia justru menunjukkan praktek langsung menjalani kehidupan, termasuk saat memberikan tugas membuat paspor kepada semua mahasiswanya. Seandainya semua dosen di kampus saya juga begitu...
Meski buku ini tak ditulis langsung olehnya, buku ini menjadi bagian dari penerapan self driving yang kerap disampaikannya kepada mahasiswa. Seperti saat membaca pengantar Pak Rhenald di awal membuka buku ini, saya ikut tertampar. Itu juga bagian terpentingnya.
Cerita-cerita yang menarik tentu menjadi suguhan buku ini. Banyak hal unik yang terjadi di negeri orang. Mulai dari bagaimana beradaptasi soal bahasa, mencari lokasi lewat peta, memanfaatkan transportasi yang tersedia, hingga cerita-cerita berkesan saat berteman dengan penduduk lokal. Semua cerita disajikan dengan gaya bahasa masing-masing penulisnya. Wajar, jikalau membaca buku tidak akan habis dalam sekali seruput cappuccino.
Duh, Pak Rhenald, gara-gara pemikiran-pemikiran Anda yang unik, saya jadi tergoda ingin berbincang banyak hal dengan Anda. Kelak, mari kita bertemu sekadar mengobrol ringan di kedai kopi langganan Anda. Mungkin, tak jauh dari kampus tempat Anda mengajarkan "self driving". ^^
***
(Foto: ImamR) |
"Life is negotiable," --Rhenald Kasali
Kemarin, saya baru saja menyelesaikan satu buku yang telah lama saya incar-incar. Saya justru menemukannya di kota lain, Medan. Itu lantaran di kota Makassar, Gramedia selalu kehabisan stock setiap kali saya mengecek dua mall besar disana.
Pernah mendengar buku 30 Paspor di Kelas Sang Profesor? Kalau belum, maka cari dan bacalah! Saya teramat-sangat merekomendasikannya.
Buku yang ditelurkan lewat pemikiran "self driving" seorang dosen nyentrik Universitas Indonesia (UI) ini sungguh mencerahkan. Yah, sekaligus membuat saya menggebu-gebu ingin membuat paspor! Ya, passport! Tanpanya, saya takkan pernah bisa menginjakkan kaki ke luar negeri.
Gara-gara membaca tulisannya pula, saya terdorong membaca tulisannya yang lain.
Buku setebal 328 halaman ini dirangkum oleh J.S Khairen, yang berisi kumpulan kisah perjalanan 30 mahasiswa "nyasar" di luar negeri. Sebenarnya, mereka tidak benar-benar kesasar dalam artian sesungguhnya. Akan tetapi, tugas dari "pemikiran unik" Prof. Rhenald Kasali di kelasnya lah yang memaksa mereka berpetualang sendirian ke luar negeri.
Negara yang berbeda, kisah yang berbeda. Semua bermula dari kelas sang Profesor dengan mata kuliah Sang Profesor, Pemasaran Internasional (Pemintal). Setiap mahasiswa diwajibkan memilih salah satu negara tujuan observasi.
Negara yang dituju tak boleh berbahasa melayu dan bahasa Indonesia, semisal Malaysia, Singapura, atau Brunei. Satu orang pun tak boleh memilih negara yang sama dengan teman-teman lainnya. Ditambah lagi, mereka harus pergi seorang diri ke negara tujuannya, tanpa keluarga, sanak saudara, atau teman.
"Uang untuk beli tiketnya bagaimana, Pak?"
Saya katakan saya tidak tahu. Dalam hidup ini, setahu saya hanya orang bodohlah yang selalu memulai pertanyaan hidup, apalagi memulai misi kehidupan dan tujuannya dari.uang. Begitu seorang pemula bertanya uangnya dari mana, ia akan terbelenggu oleh constraint. Dan hampir pasti jawabannya hanyalah tidak ada uang, tidak bisa, dan tidak mungkin. --Rhenald Kasali
Dan bertebaranlah para mahasiswa kampus UI itu di pilihan negaranya masing-masing. Berbekal pengalaman dan Bahasa Inggris seadanya...
Buku dua seri ini membuktikan bahwa perjalanan keluar negeri memang bisa dilakukan seorang diri meski berbekal kenekatan. Uang, mungkin jadi pilihan ke sekian dari beberapa kendala yang menghadang. "If you really want to do something, you'll find a way. If you don't, you'll find an excuse," Jim Rohn said.
Saya punya seorang teman yang sudah pernah melakukan perjalanan serupa seorang diri. Biaya perjalanannya ia tabung dari hasil kerja setahun sebagai Barista di salah satu kafe franchise. Hasilnya? Lebih sebulan ia berpetualang ke beberapa negara di Asia; Malaysia, Thailand, Filipina, hingga China. Meskipun sebenarnya, kata dia, masih melenceng dari target awal perencanaannya.
Bahkan, salah satu mahasiswa yang berkisah di dalam buku 30 Paspor di Kelas Sang Profesor itu, Delinda, pernah saya temui di kampus UI. Di kepala saya masih jelas tertampung nama perempuan kecil yang menjadi L.O (pemandu) kami dalam event Journalist Days, nyaris 3 tahun silam. Seperti diceritakannya, ia sukses menginjakkan kaki di negara impiannya, Korea Selatan.
Saya sungguh suka dengan pemikiran Prof. Rhenald Kasali. Ia termasuk dosen yang suka berpikir "out of the box". Tugas di kelasnya tak melulu soal paper, soal, atau bacaan. Ia justru menunjukkan praktek langsung menjalani kehidupan, termasuk saat memberikan tugas membuat paspor kepada semua mahasiswanya. Seandainya semua dosen di kampus saya juga begitu...
Meski buku ini tak ditulis langsung olehnya, buku ini menjadi bagian dari penerapan self driving yang kerap disampaikannya kepada mahasiswa. Seperti saat membaca pengantar Pak Rhenald di awal membuka buku ini, saya ikut tertampar. Itu juga bagian terpentingnya.
Cerita-cerita yang menarik tentu menjadi suguhan buku ini. Banyak hal unik yang terjadi di negeri orang. Mulai dari bagaimana beradaptasi soal bahasa, mencari lokasi lewat peta, memanfaatkan transportasi yang tersedia, hingga cerita-cerita berkesan saat berteman dengan penduduk lokal. Semua cerita disajikan dengan gaya bahasa masing-masing penulisnya. Wajar, jikalau membaca buku tidak akan habis dalam sekali seruput cappuccino.
"Kita pergi jauh untuk menyadari dimana rumah kita yang sebenarnya." --hal.21
***
Duh, Pak Rhenald, gara-gara pemikiran-pemikiran Anda yang unik, saya jadi tergoda ingin berbincang banyak hal dengan Anda. Kelak, mari kita bertemu sekadar mengobrol ringan di kedai kopi langganan Anda. Mungkin, tak jauh dari kampus tempat Anda mengajarkan "self driving". ^^
Saya juga suka sampul bukunya. Selanjutnya, cerita siap dilanjutkan ke buku keduanya. (Foto: ImamR) |
--Imam Rahmanto--
4 comments
Pulang balikma' Gramedia MP sama Mari tapi bukunya belum keluar dari gudang. Huffft...
BalasHapusHahahaa....sama ja juga. Makanya waktu lihat di Gramed Medan, langsung terlepas bukunya Pramoedya di tanganku. *seolah-olah drama
Hapus4 hari yang lalu buku 1nya fullstockji di gramed MP
BalasHapusHm...mungkin baru didatangkan kali ya? Soalnya sebulan-dua bulan lalu saya cari-cari di Gramed selalu ndak ketemu.
Hapus