No Excuse

November 30, 2015

Baca Juga


Pekan lalu, saya menyambangi tanah kelahiran di pelosok Kabupaten Enrekang. Selain menuntaskan rindu bersama bapak-mamak (meski harus menahan telinga dari segala wejangan dan omelan dari bapak), saya hendak memperbaharui dokumen kependudukan alias KTP. Kalau bukan diminta oleh kantor tempat saya bekerja, tentu saya bakal menggunungkan watak penunda-nunda saya.

Di sisi lain, saya merasa beruntung "dipaksa" demikian. Sudah lama sebenarnya saya hendak memperbaharui KTP yang sudah mati setahun silam.

Sebenarnya saya termasuk orang yang sangat benci dengan urusan-urusan administrasi. Saya tak suka terlalu direpotkan dengan berkas-berkas yang harus hilir-mudik mendapat cap atau tanda tangan. Apalagi dengan aturan-aturan yang superketat. Saya orangnya terlalu "apa adanya". Hahaha....

Wajar ketika beberapa tahun silam, pemerintah kecamatan di kampung sedang melakukan perekaman e-KTP gratis, saya justru tidak pulang meskipun sudah diwanti-wanti oleh bapak. "Ah, saya juga masih punya KTP yang lama, kok," gumam saya dalam hati.

Akan tetapi, beberapa kejadian memutar pemikiran saya. Bagaimana saya tak bisa berurusan dengan kantor pos lantaran KTP yang mati. Bagaimana saya tak bisa menarik uang di rekening lantaran KTP yang kadaluarsa. Bagaimana saya mau kredit kalau tak punya KTP? #nariknapas

Saya juga mulai sadar, kelak saya sangat membutuhkan kelengkapan dokumen seperti itu jika ingin melenggang keluar kota, apalagi keluar negeri. Gara-gara buku torehan anak didik Prof. Rhenald Kasali pula, saya jadi ikut bersemangat memperbaharui dan melengkapi dokumen-dokumen administrasi itu. Satu tujuan akhir: Paspor!

"Untuk apa paspor?"

Ketika diajukan pertanyaan semacam itu pun saya juga tak tahu hendak menjawab apa. Saya hanya terdorong untuk ikut membuat salah satu identitas internasional itu. Itu juga bisa jadi langkah awal saya mengepakkan saya ke belahan dunia lain. Paspor tersedia, ready to go saja, bukan?

Pernah mendengar tentang impian yang dipancangkan pada kenyataan sebetulnya? Seperti saat kita tidak sekadar membuat list/ daftar keinginan dalam hidup kita. Kita bahkan seharusnya membuatkan gambaran real dari keinginan itu.

Semisal "ingin memiliki mobil alphard", maka seharusnya dalam listing itu kita mencantumkan gambar mobil alphard impian kita. Kalau bermimpi punya rumah besar, ya pasang gambar atau foto detail rumah yang diinginkan seperti apa. Itu semacam kolase "masa depan".

Nah, karena kelak saya berharap bisa menginjakkan kaki di negara selain tanah air Indonesia ini, maka saya harus membuat paspor. Selagi semangat saya sedang berapi-api di ubun-ubun, apa salahnya meluangkan waktu dan sedikit uang untuk mewujudkan satu dokumen penting itu?

***

Di kampung halaman, saya mewujudkan satu urusan administrasi itu. Meski awalnya saya mendengar kabar-kabar buruk dan mematahkan harapan terkait pengurusan itu.

"Tidak usah pulang. Blankonya habis. Kalaupun ada, biasanya baru selesai dalam waktu lama,"

"Buat di Makassar saja. Coba cari jalan pintas atau bantuan. Kamu kan wartawan,"

Ditambah, jarak kantor Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil (Disdukcapil) kabupaten cukup jauh dari rumah tempat tinggal saya. Di kantor itulah saya harus mengurus segala urusan kependudukan, termasuk KTP. Letaknya tepat di ibukota kabupaten. Sementara saya bermukim di pelosok pegunungan, yang menghabiskan satu jam perjalanan dari ibukota itu.

Akan tetapi, selagi salah seorang senior di kantor meminjamkan motornya, saya memaksa: harus dicoba!

Dari kantor kelurahan pun saya mendapatkan kata-kata pesimistis serupa dari petugasnya. "Biasanya baru bisa selesai tiga minggu kemudian. Makanya saya juga cuma sempat ambil KTP sementara untuk ngurus rekening bank," jelasnya di tengah mencatatkan surat pengantar. Ia juga memperlihatkan model KTP sementara yang disimpan di dalam tas sebelah mejanya.

Yah, saya sudah bertekad. Saya tak peduli. Kalau belum dicoba, saya takkan tahu hasilnya, bukan? Lagipula, percuma kan saya sudah jauh-jauh enam jam beerkendara dari Makassar - rumah hanya untuk selembar KTP jikalau harus mundur sebelum mencoba? Saya hanya mengangguk-angguk disertai "Oohhh" panjang mendengarkan penjelasan lelaki berperawakan ustadz itu.

Saya berangkat cukup pagi untuk mengantisipasi kalau-kalau ada antrean panjang para pengurus dokumen lainnya. Sayangnya, di ibukota sana pun, saya masih harus mencari-cari lokasi Disdukcapil yang belum pernah saya kunjungi seumur saya berstatus sebagai penduduk Kabupaten Enrekang. Di kepala saya, kata "nyasar" sudah menjadi semacam mantra untuk berani bertanya. *Akh, ini gara-gara ide Prof. Rhenald Kasali lagi.

Kenyataannya, saya menemukan kantor itu lebih cepat dari dugaan. Tak sulit menemukannya. Lokasinya hanya bersebelahan dengan Pasar Sentral di Kabupaten Enrekang.

***

Kini, saya sudah bisa menikmati kartu kependudukan yang baru. Tak tanggung-tanggung, jenis pekerjaan yang tertera di KTP adalah "wartawan". Yah, bangga juga rasanya sudah punya pekerjaan sesuai dengan keinginan dan kekinian. Hahahaha.....

Maaf ya, bapak. Biarpun saya disarankan atau dipaksa jadi Pe-En-Es, saya lebih memilih mengikuti kata hati. Karena sejatinya saya ingin berbahagia dengan pilihan saya sendiri.
Ternyata, apa yang saya takutkan tidak banyak terjadi. Pembuatan kartu kependudukan itu cukup singkat. Setelah mengajukan Kartu Keluarga dan Surat Pengantar, perekaman wajah, mata, dan sidik jari langsung dilakukan.

"Katanya sekitar tiga minggu ya baru selesai kartunya, mbak?" tanya saya penasaran.

Wanita muda yang memandu perekaman saya hanya menanggapinya tersenyum dan membalas, "Ndak kok. Nanti silakan dicek sebelum waktu istirahat. Biasanya sudah bisa diambil."

Padahal waktu istirahat masih dua-tiga jam lagi. Mau menunggu di kantor itu, pasti agak membosankan. Mau menunggu di rumah teman, saya tak punya kenalan siapa-siapa di kota Enrekang ini. Alhasil, di kepala saya terlintas satu tempat alternatif, yang juga selama ini membuat saya penasaran: perpustakaan kota.

Di tempat itulah saya menghabiskan waktu "menunggu" dengan buku-buku bacaan apa-adanya. Buku 168 Jam Dalam Sandera, dari Meutya Hafid, wartawati yang pernah disandera saat konflik pemilihan presiden di Irak jadi selingan sekaligus membangkitkan rasa penasaran terhadap ceritanya. Oke, list bacaan saya berikutnya adalah buku itu. Namun entah bagaimana memperoleh buku keluaran lama itu.

***

Saya belajar, untuk urusan administrasi semacam itu tak perlu jadi momok. Saya membuktikan segalanya bisa diselesaikan sesuai perkiraan. Apa yang ditakutkan justru melenceng dan menjadi bayang-bayang semata. Keesokan harinya, saya sudah bisa mengambil e-KTP seperti yang dijanjikan para petugasnya. Lengkap beserta label pekerjaan barunya yang tak-lagi-pelajar-atau-mahasiswa.

Selama apa yang dilakukan benar-benar berdasar kemauan dan kesungguhan, percayalah, alam selalu berkonspirasi membuka jalan. Oiya, seperti kata Prof. Rhenald Kasali kepada mahasiswa-mahasiswanya yang bakal mengurus paspor:


 "If you really want to do something, you'll find a way. If you don't, you'll find an excuse,"


--Imam Rahmanto--

You Might Also Like

0 comments