Medan Story#4

November 27, 2015

Baca Juga

....sambungan dari sebelumnya

"Oiya, si Malin Kundang juga berasal dari sini, ya?"

"Ah, bukan. Malin itu asalnya dari Minang sana, Bang, Sumatera Barat,"

Ah, iya. Saya gelagapan baru ingat, legenda asal Sumatera Utara yang dikisahkan turun-temurun di buku Bahasa Indonesia jaman SD dulu adalah Danau Toba.

***

Berkunjung ke Medan, tak lengkap rasanya jika tak mencoba salah satu objek wisata andalannya. Akan tetapi, banyak orang (termasuk saya) yang salah kaprah menyangka wisata Danau Toba hanya berhitung sepelemparan batu dari ibukota provinsinya.

"Jarak kesana, kalau hitungan jam sekitar 4 jam, Bang,"

Saya sendiri baru menyadari, bertanya tentang "dimana-Danau-Toba" itu kepada orang Medan, sama halnya dengan bertanya "dimana-Tana-Toraja" kepada orang Makassar. Keduanya punya kasus yang serupa; menyangka objek wisata andalan berdempetan dengan ibukota provinsinya. #tepokjidat

Kalau dipikir-pikir, jarak sejauh itu sangat sayang dihabiskan di sisa sehari bermukim di kota Medan. Total delapan jam bakal habis di perjalanan. Sementara, waktu sebanyak itu sebenarnya bisa dihabiskan dengan mengunjungi tempat-tempat "fresh" lainnya di kota Medan. Mungkin seperti, kota bangunan tua Kesawan, Kampung India, atau Istana Maimun, yang saban hari selalu kami lewati.

"Tapi anak-anak (atlet) banyak yang mau kesana. Bos-bos juga sudah menyetujui," ucap seorang kawan saya lagi. Kalau sudah suara mayoritas, saya mau apa lagi?

Untuk berjaga-jaga, saya mencoba mengontak satu-dua orang teman dari Medan. Yah, saya (kami) punya kenalan dari anak-anak lembaga pers kampus dulu. Dengan harapan, ada yang bisa membantu saya "melarikan diri" dari wisata ke Danau Toba.

Salah seorang teman perempuan sebenarnya sudah mengiyakan bakal mengantar saya berkeliling tempat-tempat menarik di kota Medan. Jaraknya rumahnya, kata perempuan manis itu, hanya 45 menit dari hotel kami menginap. Sayangnya, jelang keberangkatan ke Danau Toba, jalur komunikasi dengannya terputus sama sekali. Sehari setelahnya, saya baru dikabari bahwa hapenya ketinggalan saat ia mengunjungi kerabat ke Berastagi.

Ya sudah... Berangkatlah saya dengan segala bayangan tempat menarik lainnya di kota Medan (yang saya sesali tak dikunjungi sedari awal) berputar-putar di kepala.

***

Sebagai tamu dari tuan rumah penyelenggara kegiatan, transportasi kami cukup dipermudah. Dua bus pariwisata mengantarkan kami ke empat jam perjalanan ke depan. Sudah malang akan menghabiskan 4 jam yang cukup lowong, kamera pinjaman pun tak bisa terpakai. "Lantas, apa yang bisa saya perbuat dengan kamera hape segini?" gerutu saya dalam hati sembari mematut-matut hape-yang-sungguh-malang.

Saya tak ingat betul, lokasi-lokasi mana saja yang sempat kami lalui. Di kepala saya hanya teringat jelas bagaimana guide kami, bernama Pak Robin, menjelaskan satu-dua-banyak hal terkait Medan hingga Sumatera Utara.

"Kalau Horas, itu salam umumnya di Medan. Nah, nanti kalau di Toba atau (Kabupaten) Karo, mereka tidak mengenal sapaan semacam itu. Mereka lebih akrab dengan sapaan khasnya, 'Mejuah-juah'", jelas pemandu kami yang kelihatan berusia kepala empat itu.

"Mejuah-juah!"

Ia juga menjelaskan perihal lima cabang suku Batak yang asli. Diantaranya seperti Batak Karo, Batak Fakfak, Batak Simalemun, Batak Toba, hingga Batak Mandailing. Dari lima "akar" batak itulah, suku-suku Batak lain beranak-pinak dengan masing-masing marga kebanggaannya.

Pemaparan yang menarik. Hal-hal baru memang selalu mengundang banyak tanya. Lumrahnya, beberapa penumpang di dalam bus bergantian bertanya tentang,

"Kalau marga Simorangkir, itu Batak apa?"

"Itu agama apa? Islam atau Kristen?"

dan berlanjut beberapa pertanyaan yang sama, hanya label "marga"nya dan "religi"nya saja yang berbeda karena dilontarkan penumpang berbeda.

Hampir lupa, di Medan (atau Sumut) penduduk mayoritas memang beragama Kristen. Tak heran, di sepanjang jalan kota, warung-warung makan saling berlomba memperdagangkan BPK. Di baliho-baliho warung tercantum dengan gamblangnya, "Menyediakan BPK".

BPK atau Babi Panggang Karo adalah makanan favorit warga Medan. Tak ada yang tak mengenali satu jenis makanan berbahan dasar daging ini. Bahkan, disajikan dalam dua varian, B1 (babi) dan B2 (anjing). Tentu saja, bagi pengunjung yang beragama Islam dilarang keras mengonsumsi makanan ini.

"Begitulah di Medan ini. Makanya tak perlu heran banyak anjing juga berkeliaran. Tapi ada cerita lucunya,"

"Coba perhatikan, setiap anjing yang berkeliaran di area pemukiman pasti ekornya berdiri tegak. Tapi, coba saja kalau lewat di depan warung BPK,ekornya malah turun sambil nunduk-nunduk," ujar Pak Robin yang disambut tawa seluruh penumpang setelah mereka sempat sejenak berpikir.

Memasuki Sibolangit, suhu udara bisa mencapai 20 derajat celcius. Kalau dibanding-bandingkan, suhunya lebih dingin daripada alam Malino di Sulawesi Selatan. Tetapi, saya justru menyukai suhu sedingin itu. Di kota kami, Makassar, polusi sudah berjamur dengan cuaca panas yang tak kunjung mendatangkan hujan. Gerah. Kapan-kapan, untuk berjalan-jalan, saya lebih memilih tempat tujuan bersuhu sejuk atau dingin.

Di daerah pegunungan ini masih terasa nuansa asrinya. Meski bus kami harus menanjak dan berbelok, kami disuguhi pemandangan yang sedikitnya tertutup kabut. Kalau tak salah, dari lokasi itu, kami juga bisa menyaksikan Gunung Sinabung yang hingga kini masih aktif.

Karena masih kental dengan pegunungan, mata air juga cukup melimpah di Sibolangit. Banyak penduduk yang memanfaatkan air pegunungan untuk kehidupan sehari-hari. Bahkan, salah satu produk air kemasan Aq*a juga mendirikan salah satu pabrik besarnya disini. Kami sempat disuguhi pemandangan betapa besarnya pabrik yang menampung mata air untuk dikomersilkan itu.

"Di sekitar sini, banyak truk-truk yang juga singgah untuk mencuci mobil. Gratis dan melimpah soalnya, Bang. Sebagian besar malah mendistribusikan air-air bersih dari pegunungan sini," jelas pemandu kami. Mata saya mematut pemandangan truk-truk terparkir di pinggir jalan yang ditingkapi terpal di masing-masing baknya.

Nampaknya Sibolangit memang menyimpan banyak cerita. Sayangnya, ini hanya perjalanan "sekadar lewat" kami. Masih ada sekira dua jam mencapai Danau Toba, oh ya lebih tepatnya Taman Simalem Resort...


--Imam Rahmanto--

You Might Also Like

0 comments