Sungai, Sampan, dan Pagi
Juni 27, 2015Baca Juga
(Foto: ImamR) |
Mari berjalan-jalan...
Saya punya tempat yang belum pernah dijelajahi. Tak cukup jauh dari tempat tinggal saya sehari-hari. Di waktu puasa, nampaknya menjadi waktu yang tepat menghabiskan pagi disana.
Fajar jelang menyingsing. Jemaah subuh baru saja bermunajat pada Tuhan. Ramai, orang-orang kembali ke rumahnya. Sebagian besar memilih istirahat tanpa perlu mengikis tenaga di waktu puasa ini. Hanya anak-anak dan remaja yang masih berkumpul bergerombol di depan halaman masjid. Seperti biasa, saling menunggu demi menaklukkan waktu subuh.
Itulah yang saya sukai dari anak-anak. Berbuat sesuatu tanpa perlu berpikir rumit-rumit. Setahu saya, saban subuh mereka akan berkumpul menunggui teman-temannya. Mereka hendak menaklukkan subuh, baik sekadar jalan-jalan maupun bermotor cabe-cabean ke lokasi sentral keramaian. Tak ketinggalan, satu-dua anak melempari petasan ke jalanan. Ck...beli petasan dimana ya? Saya juga mau... :3
Seperti hari-hari sebelumnya, saya mesti memanfaatkan momen puasa ini merasai hal-hal baru. Di bulan puasa ini, saya diberikan kesempatan untuk leluasa bangun lebih awal. Kenapa tidak saya manfaatkan untuk menelusuri banyak hal keren yang tak pernah saya rasai di luar puasa?
Lantaran sahur nyaris telat; jelang imsak, saya punya cukup waktu menunggui shalat Subuh. Bayangkan! Saya masih sempat-sempatnya menyeduh dan minum segelas cappuccino sachetan beberapa menit sebelum adzan Subuh!
Saya menikmati perjalanan bersepeda pagi ini. Urung sampai di keramaian anak-anak muda di ujung tanggul menuju arah benteng Sombaopu. Biasanya saya akan bersepeda di pucuk tanggul hingga menemui jalan buntu pembatas pagar di ujungnya. Menyaksikan anak-anak muda yang hendak mengadu kencang motornya.
Setengah jalan, saya lebih memilih menyusur sungai Jeneberang yang berada di balik tanggul. Untuk melintas kesana cukup mudah. Ada jalan setapak kecil yang bisa dilalui sepeda gunung dari pangkal tanggul.
Betapa damainya menyingkap fajar di seberang sungai sepagi itu. Cahaya kejinggaannya memantul dari air yang beriak meski kelihatan tenang. Sekumpulan eceng gondok di tepian sungai seolah memanggil hendak dibangunkan. "Ini sudah pagi ya? Selamat datang!" katanya penuh imaji.
Di tengah sungai, sampan melintas memotong arus. Mungkin milik penduduk setempat. Katanya, rezeki harus selalu dikejar pagi hari. Orang-orang yang hidup berkecukupan tahu itu dan selalu berpacu dengan sinar mentari. Akh, kenapa pula setiap kerja keras tak terbayarkan lunas.
Sepeda saya pacu agak pelan mengikuti arah sampan yang nampaknya hendak berlabuh. Sampan bermesin itu membawa sejumlah orang. Tak tanggung-tanggung, satu motor dan satu sepeda diangkutnya sepagi itu.
Saya baru tahu, ada dermaga kecil tempat berlabuh perahu penumpang kecil di dekat tanggul. Selain itu, saya juga berputar-putar mengelilingi sebuah pabrik pembuat batako atau paving block di pinggiran sungai. Sepagi itu, suara mesin berlomba dengan matahari yang menyusup di celah pepohonan. Pekerja-pekerjanya hanya mengamati saya, yang sekadar lewat malu-malu memberikan salam.
Nah, ternyata saya menemukan tempat menyepi yang baru. Tepat di pinggir sungai yang hanya berjarak serentangan tangan.
"Itu dulu tempat 'taaruf' saya dengan istri. Soalnya tempat yang romantis dan murah-meriah," kata kakak teman saya, yang mengomentari update gambar di BBM.
Saya suka memandangi warna pantulan fajar yang nyaris memudar itu. (Foto: ImamR) |
Maksudnya 'taaruf' bukan dalam artian sesungguhnya. Saya mengenalnya bukan orang "se-religi" itu. Mungkin, maksudnya adalah menikmati waktu berdua dengan kekasih. Hahahaha...kapan-kapan saya juga ingin mengajak teman kesana.
Sayang, lokasinya berdekatan dengan penimbunan barang-barang bekas. Bersebelahan dengan pabrik batako itu. Bersisian pula dengan dermaga kecil yang menurunkan 5-6 orang penumpang yang saya kejar beberapa menit lalu. Oiya, kapan-kapan saya juga ingin merasakan menumpang sampan itu. Sehingga pemandangan bakal sedikit teralihkan dengan sedikit "sampah" dan timbunan pasir.
Bagi saya, mencoba hal-hal baru memang menyenangkan secara naluriah. Atas dasar itu pula sejatinya saya menyenangi pekerjaan sekarang. Saban hari saya bisa merasai hal baru. Berkenalan dengan orang-orang baru. Mengunjungi tempat-tempat baru. Menikmati momen-momen baru. Segala hal selalu terasa baru. Tak peduli hal baru itu sesederhana apa.
Terkadang, hal-hal yang tak pernah dilalui dan dirasakan memang cukup menakutkan. Ada perasaan waspada terhadapnya. Sementara kitatidak pernah sadar bahwa hal-hal barulah yang memberikan banyak pelajaran penting.
Prinsip dasar hidup ini sebenarnya cukup mudah: berani mencoba. Just be brave! Just believe it! Orang-orang di luar sana berhasil lantaran tak pernah berhenti mencoba. Tak terkecuali dalam.menemukan hal-hal baru. Lantas, kenapa kita harus berhenti mencoba?
Hal sepele pun, ketika baru dijalani bakal memberikan kesan berbeda. Cobalah.
Selamat menikmati pagi...
--Imam Rahmanto--
0 comments