5# Kritis dan Krisis
Juni 22, 2015Baca Juga
Ramadhan#5 |
Menjalani puasa di bulan Ramadhan ini nampaknya memang penuh godaan. Banyak. Semakin dewasa manusia, setan yang mengiringinya juga semakin dewasa. Di masa kanak-kanak mungkin setannya juga masih kecil-kecil. Jadi maunya cuma main-main, tidak untuk mengganggu manusia.
Masa-masa disini (baca: persma) juga makin kritis. Semakin banyak hal di luar dugaan yang bergulir makin kencang, makin panas. Tiang satu per satu mulai roboh dan goyang. Entah seperti apa akan berlanjut menjadi lebih baik lagi. Keluarga ini harus segera dibaikkan dengan benar.
Di suatu sore, saya terkadang berharap hukum relativitas Einstein tak berlaku separuhnya. Menatap langit yang ditaburi capung-capung beterbangan. Di atas tembok yang sudah berumur ratusan tahun. Mendengarkan cerita salah seorang teman yang lama tak bertemu. Kebetulan saja, lantaran ia memang punya urusan di Makassar dan meminta saya yang menemaninya.
"Orang-orang biasa menganggap saya berkepribadian ganda loh," tuturnya, "tapi bukan dalam artian yang buruk. Hanya sekali waktu terlihat kalem, di lainnya lagi cerewet."
Saya tersenyum saja melihatnya di tengah perut yang mulai meronta karena kelaparan. Ah, dini hari saya tidak sahur yang cukup. Hanya sekadar 2 potong cokelat "Bengbeng" dan segelas Cappuccino. Lain kali, sahurlah dengan yang hangat-manis-manis. Begitu dulu ibu selalu memberitahukannya.
Ia terus bercerita diselingi obrolan dengan saya. Dari atas tembok batu, matahari yang tergelincir di cakrawala tak jelas nampaknya. Terhalang oleh bangunan kafe di depan sana. Hanya bias cahaya senja yang berburu dengan waktu berbuka puasa.
"Cari tempat berbuka yuk!" ajak saya. Pencarian yang berakhir pada dua botol minuman dingin. -_-"
Menjalani puasa di bulan Ramadhan ini nampaknya memang penuh godaan. Banyak. Semakin dewasa manusia, setan yang mengiringinya juga semakin dewasa. Di masa kanak-kanak mungkin setannya juga masih kecil-kecil. Jadi maunya cuma main-main, tidak untuk mengganggu manusia.
Masa-masa disini (baca: persma) juga makin kritis. Semakin banyak hal di luar dugaan yang bergulir makin kencang, makin panas. Tiang satu per satu mulai roboh dan goyang. Entah seperti apa akan berlanjut menjadi lebih baik lagi. Keluarga ini harus segera dibaikkan dengan benar.
Di suatu sore, saya terkadang berharap hukum relativitas Einstein tak berlaku separuhnya. Menatap langit yang ditaburi capung-capung beterbangan. Di atas tembok yang sudah berumur ratusan tahun. Mendengarkan cerita salah seorang teman yang lama tak bertemu. Kebetulan saja, lantaran ia memang punya urusan di Makassar dan meminta saya yang menemaninya.
"Orang-orang biasa menganggap saya berkepribadian ganda loh," tuturnya, "tapi bukan dalam artian yang buruk. Hanya sekali waktu terlihat kalem, di lainnya lagi cerewet."
Saya tersenyum saja melihatnya di tengah perut yang mulai meronta karena kelaparan. Ah, dini hari saya tidak sahur yang cukup. Hanya sekadar 2 potong cokelat "Bengbeng" dan segelas Cappuccino. Lain kali, sahurlah dengan yang hangat-manis-manis. Begitu dulu ibu selalu memberitahukannya.
Ia terus bercerita diselingi obrolan dengan saya. Dari atas tembok batu, matahari yang tergelincir di cakrawala tak jelas nampaknya. Terhalang oleh bangunan kafe di depan sana. Hanya bias cahaya senja yang berburu dengan waktu berbuka puasa.
"Cari tempat berbuka yuk!" ajak saya. Pencarian yang berakhir pada dua botol minuman dingin. -_-"
--Imam Rahmanto--
0 comments