Rumah yang Tertinggalkan
Maret 21, 2015Baca Juga
Ada sebuah rumah. Tak berbilang tua. Tak berbilang muda. Terusir penghuninya. Tertinggalkan pemiliknya. Terabaikan tetangganya. Tertanggalkan masanya.
Diantara jejeran rumah, ia mendesak di ujung kompleks. Jaraknya hanya sepelemparan batu dari pintu gerbang, yang terkadang menyesatkan para pencari alamat. Apa pasal?
Ternyata para pencari alamat bersangkutan, menyangka kompleks perumahan itu bukan bagian dari kompleks perumahan yang dicarinya.
“Akh, pintu masuk kompleks ini memang ada di ujung sana, agak jauh. Gerbang ini bisa dibilang ‘pintu belakang’ saja,” ujar setiap orang yang selalu berseliweran di sepanjang jalan kompleks itu. Satu-dua merupakan penghuni rumah itu, yang menyetia selama 4 tahun.
Tersedialah sebuah masjid. Ladang ibadah bagi penjaga amaliah. Masjid yang berseberangan-belakang dengan rumah yang terpinggirkan itu saban hari meraup wajah-wajah penuh hikmah. Halamannya lapang. Dipagari, baru beberapa bulan kemarin.
Saban sore, di depan pagar masjid yang belum menutup, seorang padagang bakso menanti pelanggan. Penghasilannya kemarin tak serumit sekarang. Ia masih ingat, dan akan selalu ingat, riuh rendah penghuni rumah di seberang matanya. Kala saatnya tiba, ia akan mendengar suara-suara meninggi yang menjelma rezeki dari rumah itu…
Tanpa henti siang-malam, seorang penjaga tua terpaku di tempatnya. Tepat di sisi pagar masjid yang belum menutup. Tugasnya sederhana. Menjaga keamanan dan membuka-tutup portal, yang baru dibangun jelang beberapa bulan kemarin. Mungkin, sesekali, ia pun merindukan suara-suara sengau para aktivis di ujung kompleks. Tak peduli siang, atau malam, warga selalu mengeluhkannya. Sementara sepanjang tugasnya, ia ingat para aktivis itu tak pernah luput sekadar berbagi cemilan malam buatnya. Yah, dari rumah itu juga…
Kini, rumah itu kosong. Meninggalkan suka. Melehkan duka. Merapalkan ingatan setiap orang, yang pernah berdiam di dalamnya.
Kami menyebutnya redaksi. Sapaan akrab bagi kami mahasiswa yang bergelut di dunia jurnalistik. Sebuah rumah sempit, tepat di ujung jalan. Rumah yang sejak awal dikenalkannya, menampung para pegiat jurnalistik kampus. Para aktivis yang terusir dari kampusnya sendiri. Pegiat fakta bagi orang-yang orang lemah, katanya.
Kosong. Tak ada lagi kepala-kepala yang saban hari berteriak dan diteriaki. “Deadline!” Tak ada lagi tangis yang disembunyikan di bilik-bilik ruang. Tetangga sebelah tak bakal lagi menggugat lantaran suara musik sampai ubun-ubun di lelap gulita. Sungguh keterlaluanlah kami. Tak pernah tidur sepanjang malam. Meramu dan mengolah tulisan untuk dikabarkan. Sesekali hanya mengobrol di depan rumah, menjaring pagi. Atau beradu status di jejaring sosial yang menggantung di langit-langit rumah.
Tentang langit-langit rumah, takkan ada lagi pemuda-pemuda nekat yang suka memanjat atap rumah dengan beragam alasan. Membetulkan atap rumah, mendirikan penyangga antena (Psstt…tak usah bercerita tentang kejadian mistis di atap rumah itu), atau menjemur pakaian. Bahkan, di kala bulan memantulkan sinar merahnya, sekumpulan anak muda duduk dan berdiri di atas sana hanya untuk mengabadikannya. Beruntunglah mereka tak diteriaki tetangga dan komplotannya.
Kini, rumah itu tak memantulkan sinar apa-apa. Kelam. Tertinggalkan. Mungkin, kursi-kursinya semakin lapuk ditetesi hujan dari atap yang bocor. Gudang belakangnya tak lagi berisi barang bekas atau koran peninggalan zaman dulu. Kamar mandinya masih tak tergugat oleh kloset yang menghadap ke arah orang beribadah. Entahlah, pemiliknya berpikir apa ketika membangunnya. Sama ketika pemiliknya menetapkan rumah itu telah jatuh tempo.
Orang-orang lewat akan bertanya, “Kemana orang yang pernah tinggal disini?” Kami tak pernah bisa membayangkan arah jawabannya. Harus yang menyenangkan atau mengesalkan? Harus tersenyum atau datar saja? Toh, tetangga hanya mengenal kami dari mulut ke mulut atau sekadar membaca papan nama redaksi kami.
Penjaga tua takkan bertemu lagi dengan lelaki muda yang saban pagi berjalan menembus portal sembari melemparinya senyum. Ia mungkin takkan pernah tahu, pemuda itu bangun pagi-pagi sekadar menikmati hangatnya mentari sembari menyeruput cappuccino kesukaannya.
Pedagang bakso takkan bertemu lagi rezekinya yang menjelma dari rumah itu. Sekali waktu, ia hanya bisa melepas rindu dengan satu-dua orang dari mereka. “Saya biasa beli bakso disana sore-sore. Itung-itung lihat kondisi rumah dan beramah-tamah dengan Mas-nya,” tutur salah seorang teman. Akh, sungguh rumah itu pernah menjadi bagian kehidupan kami.
Oiya, hampir lupa, pencuri-pencuri di sekitar kompleks tak perlu lagi repot mengamati rumah itu dari jauh. Rumah tak berpenghuni, tak menggugah nafsu buat dicuri.
Pandangan saya selalu tertuju pada rumah kusam itu. Setiap kali melewati jalan raya di ujung gerbang, ada ingatan yang mendesak keluar bahwa, “Kami pernah disini.”
Lulus kuliah seperti berpindah dari rumah lama ke rumah baru. Kita harus siap beradaptasi dengan rumah baru yang akan menampung di bagian hidup selanjutnya. Rumah lama, mungkin akan menjadi persinggahan sementara, sekadar mengenang dan menampung masa yang telah berlalu.
Diantara jejeran rumah, ia mendesak di ujung kompleks. Jaraknya hanya sepelemparan batu dari pintu gerbang, yang terkadang menyesatkan para pencari alamat. Apa pasal?
Ternyata para pencari alamat bersangkutan, menyangka kompleks perumahan itu bukan bagian dari kompleks perumahan yang dicarinya.
“Akh, pintu masuk kompleks ini memang ada di ujung sana, agak jauh. Gerbang ini bisa dibilang ‘pintu belakang’ saja,” ujar setiap orang yang selalu berseliweran di sepanjang jalan kompleks itu. Satu-dua merupakan penghuni rumah itu, yang menyetia selama 4 tahun.
Tersedialah sebuah masjid. Ladang ibadah bagi penjaga amaliah. Masjid yang berseberangan-belakang dengan rumah yang terpinggirkan itu saban hari meraup wajah-wajah penuh hikmah. Halamannya lapang. Dipagari, baru beberapa bulan kemarin.
Saban sore, di depan pagar masjid yang belum menutup, seorang padagang bakso menanti pelanggan. Penghasilannya kemarin tak serumit sekarang. Ia masih ingat, dan akan selalu ingat, riuh rendah penghuni rumah di seberang matanya. Kala saatnya tiba, ia akan mendengar suara-suara meninggi yang menjelma rezeki dari rumah itu…
Tanpa henti siang-malam, seorang penjaga tua terpaku di tempatnya. Tepat di sisi pagar masjid yang belum menutup. Tugasnya sederhana. Menjaga keamanan dan membuka-tutup portal, yang baru dibangun jelang beberapa bulan kemarin. Mungkin, sesekali, ia pun merindukan suara-suara sengau para aktivis di ujung kompleks. Tak peduli siang, atau malam, warga selalu mengeluhkannya. Sementara sepanjang tugasnya, ia ingat para aktivis itu tak pernah luput sekadar berbagi cemilan malam buatnya. Yah, dari rumah itu juga…
Kini, rumah itu kosong. Meninggalkan suka. Melehkan duka. Merapalkan ingatan setiap orang, yang pernah berdiam di dalamnya.
Kami menyebutnya redaksi. Sapaan akrab bagi kami mahasiswa yang bergelut di dunia jurnalistik. Sebuah rumah sempit, tepat di ujung jalan. Rumah yang sejak awal dikenalkannya, menampung para pegiat jurnalistik kampus. Para aktivis yang terusir dari kampusnya sendiri. Pegiat fakta bagi orang-yang orang lemah, katanya.
Kosong. Tak ada lagi kepala-kepala yang saban hari berteriak dan diteriaki. “Deadline!” Tak ada lagi tangis yang disembunyikan di bilik-bilik ruang. Tetangga sebelah tak bakal lagi menggugat lantaran suara musik sampai ubun-ubun di lelap gulita. Sungguh keterlaluanlah kami. Tak pernah tidur sepanjang malam. Meramu dan mengolah tulisan untuk dikabarkan. Sesekali hanya mengobrol di depan rumah, menjaring pagi. Atau beradu status di jejaring sosial yang menggantung di langit-langit rumah.
Tentang langit-langit rumah, takkan ada lagi pemuda-pemuda nekat yang suka memanjat atap rumah dengan beragam alasan. Membetulkan atap rumah, mendirikan penyangga antena (Psstt…tak usah bercerita tentang kejadian mistis di atap rumah itu), atau menjemur pakaian. Bahkan, di kala bulan memantulkan sinar merahnya, sekumpulan anak muda duduk dan berdiri di atas sana hanya untuk mengabadikannya. Beruntunglah mereka tak diteriaki tetangga dan komplotannya.
Kini, rumah itu tak memantulkan sinar apa-apa. Kelam. Tertinggalkan. Mungkin, kursi-kursinya semakin lapuk ditetesi hujan dari atap yang bocor. Gudang belakangnya tak lagi berisi barang bekas atau koran peninggalan zaman dulu. Kamar mandinya masih tak tergugat oleh kloset yang menghadap ke arah orang beribadah. Entahlah, pemiliknya berpikir apa ketika membangunnya. Sama ketika pemiliknya menetapkan rumah itu telah jatuh tempo.
Orang-orang lewat akan bertanya, “Kemana orang yang pernah tinggal disini?” Kami tak pernah bisa membayangkan arah jawabannya. Harus yang menyenangkan atau mengesalkan? Harus tersenyum atau datar saja? Toh, tetangga hanya mengenal kami dari mulut ke mulut atau sekadar membaca papan nama redaksi kami.
Penjaga tua takkan bertemu lagi dengan lelaki muda yang saban pagi berjalan menembus portal sembari melemparinya senyum. Ia mungkin takkan pernah tahu, pemuda itu bangun pagi-pagi sekadar menikmati hangatnya mentari sembari menyeruput cappuccino kesukaannya.
Pedagang bakso takkan bertemu lagi rezekinya yang menjelma dari rumah itu. Sekali waktu, ia hanya bisa melepas rindu dengan satu-dua orang dari mereka. “Saya biasa beli bakso disana sore-sore. Itung-itung lihat kondisi rumah dan beramah-tamah dengan Mas-nya,” tutur salah seorang teman. Akh, sungguh rumah itu pernah menjadi bagian kehidupan kami.
Oiya, hampir lupa, pencuri-pencuri di sekitar kompleks tak perlu lagi repot mengamati rumah itu dari jauh. Rumah tak berpenghuni, tak menggugah nafsu buat dicuri.
***
Pandangan saya selalu tertuju pada rumah kusam itu. Setiap kali melewati jalan raya di ujung gerbang, ada ingatan yang mendesak keluar bahwa, “Kami pernah disini.”
***
Lulus kuliah seperti berpindah dari rumah lama ke rumah baru. Kita harus siap beradaptasi dengan rumah baru yang akan menampung di bagian hidup selanjutnya. Rumah lama, mungkin akan menjadi persinggahan sementara, sekadar mengenang dan menampung masa yang telah berlalu.
--Imam Rahamanto--
0 comments