Mengenal Musik Fantasy
Januari 02, 2015Baca Juga
Sumber: Goodreads |
“Apakah kamu tahu bagaimana Mozart menciptakan Piano Sonata for Two Pianos?” –hal.83
Saya tak pernah menyangka akan membaca (lagi) buku ber-genre metropop. Setahu saya, sebagian besar metropop mempunyai alur kisah yang selalu berputar pada persoalan khas remaja; cinta. Pokoknya, all about love. Saya cenderung risih dengan romantisme dalam buku maupun film-film, khususnya film K-Pop. Kisah percintaannya terlalu digambarkan dengan hyperbolic-romantism.
Oke, mari membahas buku ini.
Buku yang kemudian saya baca rentang dua hari itu, nyatanya memberikan persepsi yang cukup berbeda. Darinya, saya memperbaharui, atau lebih tepatnya, mengawali pengetahuan tentang musik klasik. Tentang Mozart, Beethoven, Scubert, Strauss, Haydn, Igor, dan kawan-kawannya. Tentang komposisi musik, partitur, concerto, orchestra, dan segala hal yang erat kaitannya dengan musik klasik. Saya cukup menikmati membaca buku ini. Sedikit-sedikit, penasaran dengan judul musik klasik yang disebutkan.
Secara umum, buku yang ditulis Novellina A ini mengacu pada cerita kehidupan tiga tokoh sentralnya, yakni Davina, Armitha, dan Awang. Ketiganya terlibat dalam konflik asmara yang lumrah ditemukan di kisah-kisah lainnya.
Bagaimana Awang mencintai Davina, dan berhasil menjadi pacarnya. Armitha, yang merupakan sahabat Davina, juga diam-diam menyukai Awang. Hingga ia rela belajar piano dan berangsur-angsur menyukai musik klasik karena ingin selalu dekat dengan Awang.
“Mungkin, jalan terbaik untuk tidak merasakan kesedihan adalah dengan tidak memikirkannya, menjauh dari kenangan, bahkan jika perlu meninggalkan semuanya untuk memulai hidup baru.” –hal.121
Pada akhirnya kehidupan mereka bertiga “dipercepat” di masa menginjak usia dewasa, dimana Awang telah meninggalkan Indonesia demi impiannya menjadi pianis internasional. Ia telah berkeliling dunia bersama tim orkestranya. Sementara Armitha, yang berasal dari sekolah musik yang sama di masa SMA, juga melalui jenjang pendidikan musik klasiknya di Paris.
Davina, yang berprofesi sebagai jurnalis majalah internasional akan bertemu dan mewawancarai Awang di salah satu perhelatan musik klasik Tokyo. Pada kenyataannya, selain membawa misi liputan, Davina ternyata juga membawa misi lain menemui Awang yang sudah 7 tahun tak ditemuinya. Ia ingin menemui Awang demi sahabatnya, Armitha. Di sisi lain, Awang masih mencintai Davina.
Disini lah kemudian kita akan menemukan konflik cerita yang secara berangsur disampaikan penulis. Davina bermaksud berkorban demi rasa bersalah sekaligus rasa sayang pada sahabatnya sendiri. Sementara Awang, masih mencintai Davina seperti saat pertama kalinya mereka bertemu. Ia memang mencintai Armitha, namun dalam “cara” yang berbeda di hatinya.
“Seperti itulah cinta. Kepercayaan total meskipun dia tidak pernah tahu apakah bisa bersamamu lagi. Pengorbanan bukan hanya tentang tindakanmu tetapi juga perasaanmu. Saat kamu memutuskan pergi, maka yang harus kamu lakukan hanyalah pergi selamanya. Jangan berani-berani kamu kembali,” –hal.281
Cerita dalam buku ini cukup menghibur dan membelajarkan, khususnya pengetahuan mengenai musik klasik. Penulis nampaknya cukup mahir menuliskan deskripsi permainan musik piano, yang berpindah dari satu komposisi ke komposisi lainnya. Beberapa istilah tentang musik klasik juga baru saya temukan dalam buku ini. Termasuk judul-judul musik klasik yang diciptakan komposer-komposer legendaris seperti Beethoven. Sama halnya dengan jenis piano; upright piano, yang baru saya tahu dari buku ini. Ternyata saya sering melihat piano sejenis namun tidak tahu namanya secara spesifik.
Gaya penceritaannya juga menarik. Saya pernah menemukan yang serupa dari penulis yang berbeda. Saya menyukainya. Sudut penceritaan berganti-ganti melalui Davina dan Armitha. Keduanya dijadikan tokoh sentral point of view, sehingga dengan spesifik kamu bisa mendalami perasaan sang tokoh.
Akan tetapi, penceritaannya cenderung hanya mempertontonkan tiga tokoh sentral itu. Perasaan cinta. Perasaan menunggu. Obsesi pada mimpi. Apakah dalam rentang 7 tahun lamanya, kehidupan yang mereka lalui hanya berkutat pada pikiran, "all about love"? Oh, come on! Saya tak habis pikir, bahkan untuk orang secantik Davina yang memutuskan bekerja sebagai jurnalis, ia masih bisa diganggu perasaannya rentang bertahun-tahun lamanya. Pekerjaan jurnalis bisa dikatakan sebagai pekerjaan tersibuk yang "berhak" menyabotase segala bentuk perasaan lain.
Terlepas dari kisahnya yang berputar pada “bagaimana memenangkan hati Awang”, buku ini bisa menjadi sedikit referensi awal mengenal dunia musik klasik. Yah, cukup bagus sebagai bacaan di kala senggangmu sembari mendengarkan musik klasik dan menyeruput segelas cappuccino.
“Komposisi itu satu-satunya yang diciptakan Mozart untuk dua piano. Dia menciptakannya untuk muridnya?” ujarku, antara menjawab dan bertanya.
“Because by playing piano along with his pupils, he wanted to recall himself how to enjoy music purely,” Valenntina menjelaskan. –hal.83
***
"There is no burden in love, because love is always selfish." --hal.126
"Merantai kaki seseorang karena ketakutan kita bukanlah cinta melainkan keegoisan." --hal.126
"Tidak ada yang lebih menyedihkan selain saat seseorang kehilangan harapan. Ketika seseorang bahkan tidak sanggup memimpikan sesuatu. Ketika tidak ada keyakinan dalam dirinya sendiri bahwa akan ada hari esok, yang jauh lebih baik dari hari ini." --hal.133
"...mimpi bukanlah sesuatu yang tidak penting. Mimpi adalah inti dari kehidupan manusia." --hal.171
"Akan ada kemungkinan, walaupun sesaat, di dalam hati manusia, ruang singkat untuk kembali merindukan seseorang yang pernah hadir dalam hidupnya tidak peduli betapa pekatnya kebencian yang ia miliki." --hal.216
"Seseorang perlu orang lain untuk mendukungnya betapapun besar bakatnya." --hal.260
"Yang lucu adalah kita tidak memerlukan kesempurnaab untuk hidup bahagia, namun kita terus mencarinya bahkan rela mengorbankan jati diri untuk itu. Padahal yang dibutuhkan hanya satu, percaya." --hal.261
"Kamu tahu mengapa manusia begitu suka sulap?"
"..."
"Karena manusia hanya melihat apa yang ingin ia lihat. Dia tidak sadar bahwa bukan mata yang menipu, karena mata hanyalah alat. Pikiran kita sendiri lah yang menipu penglihatan kita." --hal.269-270
"Ada beberapa orang yang memilih untuk tidak menginginkan apapun. Bukan karena dia telah memiliki segalanya, namun karena dia takut jika nanti memilikinya, dia akan terluka saat kehilangan." --hal.270
--Imam_Rahmanto--
P.s: Tulisan ini diposting ulang (dengan editing seperlunya) di WebZine Revius.
0 comments