Mendewasalah
Januari 21, 2015Baca Juga
Ada hal-hal yang tidak bisa dilalui. Ada hal-hal yang bisa diakali. Ada yang selalu mengada-ada dan tidak nyata. Namun tak ada sesuatu yang tak bisa dilalui. Yang dilakukan cukup percaya pada diri sendiri.
Orang-orang boleh kehilangan kepercayaan pada saya. Namun saya tak boleh (dan takkan pernah kehilangan kepercayaan pada diri sendiri. Saya meyakininya sejauh ini.
Suatu waktu, di kala saya harus menahan kantuk di sebuah rapat pertanggungjawaban lembaga pers kampus, beberapa dinamika terjadi di dalamnya. Dinamika yang selalu menguatkan mereka yang tahu artinya berorganisasi dan bersosialisasi.
Saya benci ketika orang lain berbohong. Namun tak seberapa bencinya saya dengan mereka yang kehilangan harapan untuk terus maju dan memantaskan diri.
Sekali waktu, dalam rutinitas tiap triwulan itu, saya menyaksikan salah seorang teman hendak menyudahi perjuangannya. Kata “tidak”, yang memang dari lubuk hatinya secara terang-terangan menunjukkan keletihannya dalam menjalani kehidupannya disana. Setelah berpikir beberapa jenak, kata itu meluncur begitu saja menikam setiap orang yang selalu mempercayainya. Sungguh memilukan.
Entah dia, atau bersama teman-temannya yang lain, terantuk pada kenyataan bahwa mengemban amanah itu memang memberati nyaris sebagian hidup. Setengah kehidupan seolah direnggut demi mempertahankan amanah yang setiap saat siap menggerogoti alur berpikir di dalam kepala. Kepala hanya dilengkapi tengkorak, yang tidak siap menahan serangan ke arah hati yang menyakiti. Bukankah sakit di ulu hati lebih “sakit” ketimbang sakit di dalam kepala?
“Saya ketakuran setengah mati tak bisa melakukan yang terbaik bagi semuanya,” ujarnya di depan semua orang-orang yang harus disuapi kebenaran.
Ah ya, ketakutan itu selalu ada. Bahkan sering kali, ketakutan-ketakutan yang muncul hanyalah sebentuk representasi dari hal-hal yang sebenarnya tak pernah ada. Kepala kita terlalu sibuk memintal ketakutan itu, dan mengandaikannya. Sehingga kita terlanjur takut terhadap apa yang sebenarnya tak kita ketahui atau tak dipahami.
Mari membalik keadaan dimana saya pun mengalaminya…
Rapat pertanggungjawaban tiba. Pekerjaan selama tiga bulan dilalui dengan perasaan tertahan. Keletihan tanpa ujung yang selalu dinilai keliru para penguji dan pengawas. Dalam hal ini, mereka yang mempercayai saya, meski dengan caranya yang berbeda. Kerja keras tak ada apa-apanya. Jawaban hanya sekadar alasan untuk mengalihkan kesalahan. Akh, benar-benar tak ada yang mengesankan dari pekerjaan selama tiga bulan.
Komentar bertubi-tubi, yang jauh dari kesan layak, dilayangkan terang-terangan. Di depan peserta lainnya yang sebagian besar tak tahu apa-apa. Sebagian lainnya pura-pura tak tahu apa-apa. Sebagian lagi, mereka yang hendak dilindungi karena telah memberikan kepercayaannya pada saya.
Jauh di dalam hati, saya tahu, kesan serba salah di mata para senior sebenarnya bukan tanpa andil apa-apa. Saya paham betul, ada hal yang ingin diajarkan tanpa terang-terangan disebutkan; mental pejuang. Terlalu banyak pujian terkadang hanya akan melenakan dan tak akan membuat seseorang berkembang lebih jauh.
“Kau tidak melindungi mereka. Padahal kau pemimpin mereka!” jauh hari kata-kata itu terngiang di kepala. Sudah lama sekali.
Sejujurnya, saya kerap kali berpikir,
“Saya tak kuat lagi. Saya sampai disini saja.” Kalimat itu terngiang bergantian di kepala. Sungguh naas, pekerjaan saya dianggap remeh begitu saja.
Namun, pikiran sehat menunjukkan, saya masih punya alasan untuk terus berjuang sampai akhir. Saya memandangi orang-orang di sekeliling sana, dan memastikan bahwa merekalah orang-orang yang membuat saya tetap berjuang. Ya, benar. Karena saya tak sendirian.
Dan seharusnya, saya melihat hal serupa di malam yang sungguh mengecewakan itu…
Orang-orang boleh kehilangan kepercayaan pada saya. Namun saya tak boleh (dan takkan pernah kehilangan kepercayaan pada diri sendiri. Saya meyakininya sejauh ini.
Suatu waktu, di kala saya harus menahan kantuk di sebuah rapat pertanggungjawaban lembaga pers kampus, beberapa dinamika terjadi di dalamnya. Dinamika yang selalu menguatkan mereka yang tahu artinya berorganisasi dan bersosialisasi.
Saya benci ketika orang lain berbohong. Namun tak seberapa bencinya saya dengan mereka yang kehilangan harapan untuk terus maju dan memantaskan diri.
Sekali waktu, dalam rutinitas tiap triwulan itu, saya menyaksikan salah seorang teman hendak menyudahi perjuangannya. Kata “tidak”, yang memang dari lubuk hatinya secara terang-terangan menunjukkan keletihannya dalam menjalani kehidupannya disana. Setelah berpikir beberapa jenak, kata itu meluncur begitu saja menikam setiap orang yang selalu mempercayainya. Sungguh memilukan.
Entah dia, atau bersama teman-temannya yang lain, terantuk pada kenyataan bahwa mengemban amanah itu memang memberati nyaris sebagian hidup. Setengah kehidupan seolah direnggut demi mempertahankan amanah yang setiap saat siap menggerogoti alur berpikir di dalam kepala. Kepala hanya dilengkapi tengkorak, yang tidak siap menahan serangan ke arah hati yang menyakiti. Bukankah sakit di ulu hati lebih “sakit” ketimbang sakit di dalam kepala?
“Saya ketakuran setengah mati tak bisa melakukan yang terbaik bagi semuanya,” ujarnya di depan semua orang-orang yang harus disuapi kebenaran.
Ah ya, ketakutan itu selalu ada. Bahkan sering kali, ketakutan-ketakutan yang muncul hanyalah sebentuk representasi dari hal-hal yang sebenarnya tak pernah ada. Kepala kita terlalu sibuk memintal ketakutan itu, dan mengandaikannya. Sehingga kita terlanjur takut terhadap apa yang sebenarnya tak kita ketahui atau tak dipahami.
Mari membalik keadaan dimana saya pun mengalaminya…
Rapat pertanggungjawaban tiba. Pekerjaan selama tiga bulan dilalui dengan perasaan tertahan. Keletihan tanpa ujung yang selalu dinilai keliru para penguji dan pengawas. Dalam hal ini, mereka yang mempercayai saya, meski dengan caranya yang berbeda. Kerja keras tak ada apa-apanya. Jawaban hanya sekadar alasan untuk mengalihkan kesalahan. Akh, benar-benar tak ada yang mengesankan dari pekerjaan selama tiga bulan.
Komentar bertubi-tubi, yang jauh dari kesan layak, dilayangkan terang-terangan. Di depan peserta lainnya yang sebagian besar tak tahu apa-apa. Sebagian lainnya pura-pura tak tahu apa-apa. Sebagian lagi, mereka yang hendak dilindungi karena telah memberikan kepercayaannya pada saya.
Jauh di dalam hati, saya tahu, kesan serba salah di mata para senior sebenarnya bukan tanpa andil apa-apa. Saya paham betul, ada hal yang ingin diajarkan tanpa terang-terangan disebutkan; mental pejuang. Terlalu banyak pujian terkadang hanya akan melenakan dan tak akan membuat seseorang berkembang lebih jauh.
“Kau tidak melindungi mereka. Padahal kau pemimpin mereka!” jauh hari kata-kata itu terngiang di kepala. Sudah lama sekali.
Sejujurnya, saya kerap kali berpikir,
“Saya tak kuat lagi. Saya sampai disini saja.” Kalimat itu terngiang bergantian di kepala. Sungguh naas, pekerjaan saya dianggap remeh begitu saja.
Namun, pikiran sehat menunjukkan, saya masih punya alasan untuk terus berjuang sampai akhir. Saya memandangi orang-orang di sekeliling sana, dan memastikan bahwa merekalah orang-orang yang membuat saya tetap berjuang. Ya, benar. Karena saya tak sendirian.
Dan seharusnya, saya melihat hal serupa di malam yang sungguh mengecewakan itu…
Kedewasaan itu diukur dari sejauh mana kita berpikir. Bukan berpikir tentang diri sendiri. Melainkan berpikir tentang orang lain. Tentang apa yang bisa dilakukan untuk orang lain. Perihal berguna bagi orang lain dan kebanyakan yang lainnya.
--Imam Rahmanto--
5 comments
Ini keren! *harldy able to speech anything*
BalasHapusHm...bisa dishare mungkin. Agar kalian tahu namanya "berjuang" dan "pantang surut". :)
BalasHapusSaya suka ini. Hebat memang Mas Anto. Hehe
BalasHapusSaya cukur rambutmu nanti itu, Ari.. -_-"
HapusPiss kak. hhe
Hapus