Mari Berterima Kasih
Januari 19, 2015Baca Juga
Designed by me. |
Acap kali membeli barang keperluan di warung dekat kost, saya kerap dibuat terharu (yah, paling tidak saya sangat-amat tergugah) oleh empunya warung. Pemilik sekaligus penjaganya yang merupakan seorang ibu paruh baya, berusia di atas 50 tahun, senang sekali berterima kasih kepada pembelinya. Yah, berterima kasih, yang secara harfiahnya memang betul-betul mengucapkan “terima kasih”.
Ummi, sapaan akrab yang diberikan mahasiswa-mahasiswa sekitar kompleks per-kost-an, tak segan pula berterima kasih dengan caranya yang lain,
“Kita’ terus ji itu yang kasih laku kopiku, nak,” ujarnya setiap kali saya membeli cappuccino sachetannya. Saya hanya membalasnya dengan mengobrol ringan.
Saya takjub sekaligus heran mendengar Ummi sebagai orang yang lebih tua tak segan-segan menunjukkan rasa terima kasihnya kepada orang lain. Tak peduli seberapa jauh rentang usia yang menjembatani. Ummi memang selalu ramah kepada siapa saja. Dan lagi, hal-hal itu terkadang bagi saya dan orang awam lainnya dianggap tak perlu mendapatkan ucapan terima kasih. Kalau dipikir-pikir, seberapa besar pengaruh saya yang hanya membeli 2 sachet barangnya jualannya saban hari?
Mengucapkan terima kasih memang sederhana. Dua patah kata saja. Namun pada kenyataannya, orang-orang nyaris lupa bahkan enggan mengucapkannya hanya karena menganggap hal-hal tertentu memang sudah sewajarnya dilakukan. Atau belakangan sebagian dari mereka menganggap bahwa transaksi dalam bentuk jual-beli, ucapan “terima kasih” sudah tergantikan dengan pembayaran sejumlah uang.
Membeli sesuatu? Untuk apa? Kita kan membayar. Menumpang pete-pete (angkutan kota, red)? Kita juga membayar kok. Orang tua di kampung mengirimi uang saku tiap bulan? Hm..itu kan sudah kewajibannya. Dosen memberikan tugas mata kuliah di luar kesanggupan? Ah, ini justru mempersulit bukannya membantu. Orang lain memberikan barang yang diinginkan? Nah, ini baru “terima kasih”.
Kita kerap melupakan esensi pertolongan itu sendiri. Dikotak-kotakkan dalam kategori; mengharapkan imbalan atau tanpa pamrih. Mungkin, kita tak lepas berpikir bahwa orang-orang yang mengharapkan imbalan (hingga bayaran) atas bantuan yang diberikannya tak pantas dihadiahkan terima kasih. Sementara mereka yang tanpa pamrih, diganjar ucapan terima kasih ala kadarnya.
Kita membeli barang lantas dilayani dengan sepantasnya, bukankah sudah sewajarnya kita berucap terima kasih?
Turun dari pete-pete selepas diantarkan ke tempat tujuan, bukan hal yang buruk untuk mengucapkan terima kasih, sembari mengangsurkan uang. Bersyukurlah kalau digratiskan.
Kiriman orang tua tiba tepat waktunya, tanpa kita pernah tahu, sekali-dua kali, mereka berutang sana-sini. Akh, betapa durhakanya kita melewatkan ucapan terima kasih untuk keduanya.
Pun, ketika dosen menugaskan “tugas-di-luar-batas-kemampuan-hambanya”, kita cukup berterima kasih karena ia telah percaya dan mampu memaksa kita untuk berusaha jauh lebih giat lagi.
Saya terkadang geli sendiri melihatnya. Orang-orang lupa caranya berterima kasih. Bahkan cara paling sederhana dalam upaya melisankannya. Sementara beberapa dari kita kolot menuntut orang lain menghargai bantuan yang telah diupayakan sepenuh hati. Ada kalanya kita enggan mengucapkannya hanya karena dibatasi gengsi. Alangkah lucunya manusia ciptaan.
“Biasakan untuk mengatakan terima kasih. Untuk mengekspresikan apresiasi anda, dengan tulus dan tanpa harapan imbalan apa pun. Anda akan menemukan bahwa Anda memiliki lebih dari itu.” –Ralph Marston, The Daily Motivator
Sejatinya, menyampaikan terima kasih bisa memperbaiki perilaku dalam hubungan antar-manusia. Penelitian yang dilakukan Florida State University, Tallahasse menunjukkan bahwa terima kasih, ketika disampaikan, meningkatkan kekuatan komunal. Mereka yang menyampaikannya, akan memusatkan pada ciri-ciri baik pemberinya. Merasa bertanggung jawab. Sementara mereka yang diberikan ucapan terima kasih, akan membalasnya dengan niat baik, antusias, merasa dihargai, dan terdorong melakukan hal yang sama.
Betapa Ummi yang tak pernah lupa mengucapkan, “Terima kasih di’, nak,” benar-benar menyentuh. Saya merasa dihargai, meskipun untuk hal-hal yang tak seberapa berharga bagi saya. Kadangkala hal-hal yang kita anggap tak seberapa menjadi tak ternilai bagi orang lain. Karenanya, sebagus apa pun cappuccino oplosan yang ditawarkan warung lain, saya lebih memilih membeli di warung Ummi, yang hanya berjarak satu rumah. Ada penghargaan sederhana, yang tanpa sadar, selalu dibiasakannya. Dan kami, para pembeli, meraa dihargai.
Bagi saya, cara paling sederhana untuk menghargai setiap hal yang dilakukan orang lain adalah dengan mengucapkan terima kasih. Apalagi untuk hal-hal yang memang dilakukan tanpa pamrih. Dorongan untuk melisankan terima kasih seharusnya tak begitu berat dilakukan. Sederhana saja.
“Mengucapkan terima kasih bukan sekadar sikap yang baik, tapi spiritualitas yang baik,” –Alfred Painter
Saya tak ingin lupa caranya mengucapkan dua kata sederhana nan penting itu...
Merci beaucoup.
Sas efharisto.
Dank je.
Danke.
Shukriya.
Xie-xie.
Gracias.
Gamsa hamnida.
Arigato gozaimasu.
Syukron.
Thank you.
Terima kasih.
--Imam Rahmanto--
10 comments
ada postingan baru, dan nampaknya sdh punya domain sendiri. cieee...
BalasHapusHm...kalau namanya menulis, gatal terus tangan kalau barnag seminggu tidak dikerja. :)
HapusAnd about my domain-name, saya rasa perlu betul2 menasbihkan ruamh saya di dunia maya. ;)
tapi tidak harus dengan beli domain untuk menasbihkan. *pembelaan yang belum punya, meskipun ingin
HapusHahahaha...ini namanya diresmikan. :P
Hapusmauta juga punya domain :p irita mi gang
HapusHahaha...gampang kok. Apalagi kalau Dwi, banyak ji kenalannya orang yang pintar website di majalahnya. Tinggal "mau"nya saja yang perlu dibenarkan. ;)
Hapusciew...domain baru..hihihi
BalasHapusAh, emm...siapa dulu dong...yang bayarin. :p
HapusAku suka tulisannya. Simpel, tapi bikin mikir. Seharian ini aku udah ngucapin terima kasih berapa kali yak..
BalasHapusHayooo....udah seberapa banyak nih kamu ngucapin terima kasih? :D
Hapus