Kangen Rasa Bermain (2)

Januari 27, 2015

Baca Juga

Tulisan sebelumnya, bisa dilihat DISINI.

#Ketapelan
(Sumber: googling)

Permainan satu ini agak berbahaya kalau disalahgunakan. Lihat saja, di kampus-kampus yang sering bentrokan, termasuk kampus saya, mahasiswa kerap menggunakannya sebagai senjata. Pelurunya dari anak panah kecil atau biasanya busur. Akh, siapa yang tidak ngeri?

Ketapel sederhana terbuat dari kayu berbentuk huruf “Y”. Bahan paling kuat biasanya kami ambil dari pohon jambu biji. Lalu kedua ujungnya dililit karet pentil ban sepeda. Pelurunya, tentu dari batu kerikil. Pernah suatu kali saya begitu polosnya meraup kotoran kambing kering karena mengiranya batu kerikil. 

Di masa kecil dulu, kami menggunakan patta’ (bahasa daerah) tersebut sebagai senjata untuk menangkap burung. Alih-alih menangkap burung, kami justru membidik buah mangga di kebun tetangga. 

Hahaha…meskipun demikian, senakal-nakalnya masa itu, kami tidak pernah kok saling menembakkan ketapel satu sama lain. Amat jauh beda dengan mahasiswa-mahasiswa sekarang yang suka mengancam dengan ketapel busurnya. #miris 

#Pletokan
(Sumber: googling)
Sebelum pistol-pistolan Omega beredar di pasaran, anak-anak banyak mengenal permainan dari bambu ini. Di daerah domisili saya, dikenal dengan nama tembak-tembak. Pelurunya hanya berbahan kertas basah yang diremas-remas. Kalau mau agak “modern”, bisa menggunakan biji tanaman semak (entah apa namanya). Kami biasa menyebutnya biji kere’-kere’

Saya dan teman-teman biasa memainkannya di sekitar rumah. Berburu dan menembak. Keputusan menang atau kalah tidak ditentukan oleh seberapa banyak tembakan yang mengenai sasaran lawan. Melainkan seberapa lelah kami bermain dan terkena tembakan. Lagipula tembakannya tidak sakit-sakit amat. 

Hal yang paling menakutkan dari pletokan ini adalah teman-teman yang menggunakan biji kere’-kere’ sebagai peluru. Mau tidak mau, di awal pembagian regu, kami berbondong-bondong mengikut pada teman yang memiliki pletokan agak “modern” itu. 

#Mercon Bambu
(Sumber: googling)
Dikenal dengan nama Baraccung. Semacam meriam yang terbuat dari bambu besar dengan bahan bakar minyak tanah. Di masa-masa seperti ini, minyak tanah masih merajalela. Saya kerap kali membeli minyak tanah hanya sebotol sprite demi bisa bermain bersama teman-teman. Jikalau tak bisa membeli, maka kami akan mengambil “sedikit” persediaan minyak tanah di dapur rumah masing-masing. Pada akhirnya akan kena omelan dari orang tua.

Saya pernah mengalami kejadian menjengkelkan persoalan Baraccung ini. Gegara Baraccung milik teman saya tak mau bunyi, meskipun sudah beberapa kali disulut api.

“Imam, tolong dong dicek. Kayaknya buntu lubangnya,” pinta teman, yang lebih tua dua tahun dari saya.

Belum genap semenit saya mengintip lubang bambu di ujung mercon, tiba-tiba saja mercon itu meledak. Menyisakan alis mata dan sebagian rambut depan yang menggulung karena tertimpa panas dari tembakan mercon.

Karena tahu saya telah dikerjai, saya mengejar-ngejar teman yang tak habis tergelak itu. Saya hendak menimpuk kepalanya dengan botol minyak tanah. Beruntung, keinginan itu tak tersampaikan.

Kejadian paling seru dari bermain Baraccung tiba di bulan Ramadhan. Anak-anak sering membunyikannya hanya untuk mengundang perhatian tentara Koramil yang mencak-mencak melarang permainan itu di bulan Ramadhan.

#Mengadu Jangkrik

(Sumber: googling)
Ini ada musimnya. Kalau musimnya tiba, kami, anak-anak, suka berkumpul di pasar dan melihat-lihat jangkrik yang diperjualbelikan disana. 

Saya agak berbeda dengan teman lainnya. Kebanyakan teman-teman saya memelihara jangkrik untuk diadu dengan jangkrik lainnya. Sementara saya hanya memeliharanya untuk mendengar suaranya yang melengking di malam hari. Bahkan, saya membuatkannya kandang dari batang es Miami dengan model yang bertingkat-tingkat. 

Namun seberapa hebat pun kita memelihara jangkrik, tetap saja tidak bisa bertahan lama. Mau diberi makan sayuran kubis kek, tumbuhan liar kek, atau sayur kangkung sekali pun, mereka tidak akan hidup sampai 2 bulan. 

#Menangkap Capung
(Sumber: googling)
Hm…kalau diingat-ingat, Ini salah satu kegiatan bermain yang bertema “menyiksa binatang”. Percaya atau tidak, tujuan kami menangkap capung hanya untuk memotong ekornya dan menyambungnya dengan batang rumput. Lantas melepaskannya kembali. Ya Tuhan, ampunilah dosa semasa kecil kami!

Untuk menangkap tikke’ (bahasa daerah), alat yang digunakan tergolong kreatif.  Batang lidi dibentuk melingkar dan ditancapkan pada ujung kayu gamal – daunnya untuk makanan kambing. Nah, batang lidi yang telah dilingkarkan tadi diisi dengan jaring laba-laba. 

Kalau sudah menangkap banyak capung, semuanya akan dihias berdasarkan kreativitas masing-masing. Parah! Tak ada yang peduli, si Capung bakal bisa terbang jauh atau mati dalam perjalanannya. Ya Tuhan, lagi, ampunilah kami yang masih polos itu.

#Layangan
Permainan yang mengenal musim. Jika tiba musimnya, kami berlomba-lomba membuat layangan terbaik. Menghiasinya, dan mengadunya di atas langit. Hiasan paling mainstream, sih, memasangi ekor dari kertas koran, sepanjang-panjangnya. Biar efek berkibar di langit kelihatan sempurna.

Ah, yang paling mengesalkan jika lawan menggunakan benang khusus, namanya gallasa’. Katanya, benang yang terasah dari pecahan kaca itu bisa memotong setiap benang yang disilangnya. Layangan yang dibuat setengah mati bisa putus dan diterbangkan angin tanpa kemudi. Jadilah teman-teman akan berebut kepemilikan baru atas layangan yang sudah putus itu. Siapa cepat, dia dapat!

Oiya, beberapa permainan di atas benar-benar menggugah semangat masa kecil. Bagian paling seru di kala bersama-sama mencari bahan untuk membuat beberapa permainan itu, yakni bambu. Berbekal parang seadanya, kami menelusuri hutan dan kebun untuk membawa pulang sebatang bambu. Kerja sama. Persahabatan. Keakraban. Kemandirian. Kekompakan. Berbagi. Komunikasi. Secara tak langsung, kami mempelajarinya dari sana. 

“Nah, Cop!! Ini punyaku!”


...bersambung (lagi)


--Imam Rahmanto--

You Might Also Like

0 comments