19# Kebut Saja
September 24, 2014Baca Juga
Sudah nyaris dua minggu saya tak berkunjung sembari “meneguk cappuccino” di “rumah” ini. Perasaan saya rasanya diliputi kegelisahan jikalau sekali saja, dalam seminggu, tak pulang ke tempat ini. Sebagai tempat pulang, “rumah” memang menawarkan banyak kerinduan. Ketenangan. Kedamaian.
Sebelum mengisinya lagi, saya harus membenahi sudut-sudut “rumah”. Membersihkannya. Menambahinya perabot-perabot baru. Saya kok jadi kepengen tidur.
Hm…memang sih beragam kesibukan dan pikiran membelit di kepala. Termasuk, deadline tugas akhir kuliah yang seminggu belakangan ini harus dikebut. Padahal, tak jarang ada beberapa ide pula yang tetiba melintas di kepala, berharap sekecil apapun disetor ke “rumah” ini. Efek sok-tak-punya-waktu.
Beruntung, saya telah menyelesaikan proposal penelitian yang menjadi awal penyelesaian tugas akhir kuliah. Sesuai target, minggu ini saya sedang menyelesaikan proses konsultasinya. Kedua pembimbing sudah saya hampiri untuk proses tersebut. Hanya saja, agak kurang seru menurut saya. Pasalnya, keduanya nampak tidak begitu banyak mencoret-coret print-out proposal saya.Saya berharap mendapatkan banyak perbaikan. Pembimbing pertama justru hanya menekankan pada “ruh” proposal saja.
“Soal tata penulisan dan skemanya, tidak perlu saya perbaiki. Saya cuma butuh kita diskusi soal ruh penelitianmu. Intinya adalah isinya. Itu saja,” tuturnya. Ia malah siap kapan saja meng-acc-kan proposal yang baru minggu kemarin saya garap.
Bagi sebagain orang, semakin cepat proses accepted proposal oleh pembimbing, maka semakin baik. Saya cuma khawatir, jalan menuju ujian proposal terlalu mudah. Jangan-jangan, saya mesti bersiap-siap "dibantai" di ruang ujian oleh para penguji, yang hingga kini saya belum tahu siapa orangnya. Dari pembicaraan dengan teman-teman, kami sangat menghindari salah seorang dosen “killer” untuk menjadi penguji dalam ujian nanti.
Proses kebut-kebutan ini, sungguh di luar dugaan. Saya butuh pembimbing lainnya untuk mengecek kebenaran karya-tulis-ilmiah-menjemukan itu. Seperti halnya beberapa orang teman, yang akhir-akhir ini saya todong untuk mengoreksi kesalahan-kesalahan yang didapatinya dalam karya-tulis-ilmiah-menjemukan itu. Tak perlu heran ketika saya menyebutkan jumlah pembimbing: ada banyak. Hahaha…
Tahu tidak, melalui urusan tugas akhir ini, saya semakin percaya bahwa tekad atau kemauan keras itu memang selalu membuahkan proses yang baik. Dalam perjalanannya, saya banyak memperoleh bantuan “tak kasat mata”. Bisa dibilang, keajaiban kecil. Anggap saja seperti itu. Disadari atau tidak, manusia memang sejatinya selalu menjadi musabab atas keajaiban-keajaiban yang ada. Oleh karena itu, untuk siapa saja yang merasa “tak-mungkin” atas segala hal, selalu ada celah “pasti-bisa” di dalamnya. Bukannya Tuhan sudah menegaskan dalam ayat-Nya, “Bersama kesulitan, selalu ada kemudahan”?
Di samping urusan tugas akhir, saya masih ingat, ada urusan lain yang mesti diselesaikan dan dipenuhi. Ini urusan hidup. Dan juga urusan masa depan. Bagaimanapun, saya tak ingin berakhir kuliah seperti teman-teman lainnya, yang hanya menyandang status kelulusannya, dan masih bingung mencari “arah”. Luntang-lantung tak tentu melangkah kemana.
Untuk saat ini, mereka cukup beruntung. Atas keputusan pemerintah memalui beberapa kementeriannya, mereka bisa sedikit bernapas lega. Pemerintah sedang membuka peluang untuk menjadi pegawainya a.k.a Pe-en-es. Entah kenapa, saya justru tidak begitu tertarik menjadi bagian dari itu. I am not a mainstream.
Urusan pekerjaan, ya selalu menjadi tolok ukur bagaimana menghargai hidup. Kata orang tua, kita takkan pernah tahu rasanya hidup sebelum kita mampu menghidupi diri sendiri maupun orang lain. Simpelnya, cari uang sendiri. Ugh, saya sudah paham rasanya, sedikit. Lebih jauh, tentu saja untuk menikahi seorang gadis, kita butuh penghasilan yang memadai. #ehh??
Hadduh, apaan ini? Ngelantur ya?
Pokoknya, sebulan ke depan, saya akan menenggelamkan diri dalam beberapa kesibukan. Saya butuh “obat bius” itu. Untuk sementara, proses tugas akhir yang sedang berjalan, lancar-lancar saja kok. Nothing to worried. Hanya soal penundaan-penundaan pribadi saja yang terkadang masih mencemari usaha itu.
Karenanya, terima kasih bagi siapa saja yang telah memanjatkan doanya dalam urusan ini. Diam-diam atau terang-terangan. Secara langsung maupun tak langsung. Karena tak ada doa yang dipanjatkan, menguap sia-sia. Semoga doa itu masih terus menggema di sekeliling saya hingga prosesnya berakhir. Tengkyu.
Ps: Saya kini punya barang ke(saya)ngan tambahan. Seminggu yang lalu, saya memperoleh hadiah jam tangan dari seseorang, yang juga baru saya kenal sebulan belakangan ini. Ia, bukan orang istimewa. Pemberiannya itu justru mungkin hanya sebatas balas budi untuk secuil bantuan yang saya berikan.
Sebelum mengisinya lagi, saya harus membenahi sudut-sudut “rumah”. Membersihkannya. Menambahinya perabot-perabot baru. Saya kok jadi kepengen tidur.
Hm…memang sih beragam kesibukan dan pikiran membelit di kepala. Termasuk, deadline tugas akhir kuliah yang seminggu belakangan ini harus dikebut. Padahal, tak jarang ada beberapa ide pula yang tetiba melintas di kepala, berharap sekecil apapun disetor ke “rumah” ini. Efek sok-tak-punya-waktu.
Beruntung, saya telah menyelesaikan proposal penelitian yang menjadi awal penyelesaian tugas akhir kuliah. Sesuai target, minggu ini saya sedang menyelesaikan proses konsultasinya. Kedua pembimbing sudah saya hampiri untuk proses tersebut. Hanya saja, agak kurang seru menurut saya. Pasalnya, keduanya nampak tidak begitu banyak mencoret-coret print-out proposal saya.
“Soal tata penulisan dan skemanya, tidak perlu saya perbaiki. Saya cuma butuh kita diskusi soal ruh penelitianmu. Intinya adalah isinya. Itu saja,” tuturnya. Ia malah siap kapan saja meng-acc-kan proposal yang baru minggu kemarin saya garap.
Bagi sebagain orang, semakin cepat proses accepted proposal oleh pembimbing, maka semakin baik. Saya cuma khawatir, jalan menuju ujian proposal terlalu mudah. Jangan-jangan, saya mesti bersiap-siap "dibantai" di ruang ujian oleh para penguji, yang hingga kini saya belum tahu siapa orangnya. Dari pembicaraan dengan teman-teman, kami sangat menghindari salah seorang dosen “killer” untuk menjadi penguji dalam ujian nanti.
Proses kebut-kebutan ini, sungguh di luar dugaan. Saya butuh pembimbing lainnya untuk mengecek kebenaran karya-tulis-ilmiah-menjemukan itu. Seperti halnya beberapa orang teman, yang akhir-akhir ini saya todong untuk mengoreksi kesalahan-kesalahan yang didapatinya dalam karya-tulis-ilmiah-menjemukan itu. Tak perlu heran ketika saya menyebutkan jumlah pembimbing: ada banyak. Hahaha…
Tahu tidak, melalui urusan tugas akhir ini, saya semakin percaya bahwa tekad atau kemauan keras itu memang selalu membuahkan proses yang baik. Dalam perjalanannya, saya banyak memperoleh bantuan “tak kasat mata”. Bisa dibilang, keajaiban kecil. Anggap saja seperti itu. Disadari atau tidak, manusia memang sejatinya selalu menjadi musabab atas keajaiban-keajaiban yang ada. Oleh karena itu, untuk siapa saja yang merasa “tak-mungkin” atas segala hal, selalu ada celah “pasti-bisa” di dalamnya. Bukannya Tuhan sudah menegaskan dalam ayat-Nya, “Bersama kesulitan, selalu ada kemudahan”?
Di samping urusan tugas akhir, saya masih ingat, ada urusan lain yang mesti diselesaikan dan dipenuhi. Ini urusan hidup. Dan juga urusan masa depan. Bagaimanapun, saya tak ingin berakhir kuliah seperti teman-teman lainnya, yang hanya menyandang status kelulusannya, dan masih bingung mencari “arah”. Luntang-lantung tak tentu melangkah kemana.
Untuk saat ini, mereka cukup beruntung. Atas keputusan pemerintah memalui beberapa kementeriannya, mereka bisa sedikit bernapas lega. Pemerintah sedang membuka peluang untuk menjadi pegawainya a.k.a Pe-en-es. Entah kenapa, saya justru tidak begitu tertarik menjadi bagian dari itu. I am not a mainstream.
Urusan pekerjaan, ya selalu menjadi tolok ukur bagaimana menghargai hidup. Kata orang tua, kita takkan pernah tahu rasanya hidup sebelum kita mampu menghidupi diri sendiri maupun orang lain. Simpelnya, cari uang sendiri. Ugh, saya sudah paham rasanya, sedikit. Lebih jauh, tentu saja untuk menikahi seorang gadis, kita butuh penghasilan yang memadai. #ehh??
“Dan kau bekerja keras bukanlah untukku, tapi menunjukkan pada ayahku, bahwa putrinya berada dalam perlindungan pria tepat yang bertanggung jawab atas hidupnya.”
Hadduh, apaan ini? Ngelantur ya?
Pokoknya, sebulan ke depan, saya akan menenggelamkan diri dalam beberapa kesibukan. Saya butuh “obat bius” itu. Untuk sementara, proses tugas akhir yang sedang berjalan, lancar-lancar saja kok. Nothing to worried. Hanya soal penundaan-penundaan pribadi saja yang terkadang masih mencemari usaha itu.
Karenanya, terima kasih bagi siapa saja yang telah memanjatkan doanya dalam urusan ini. Diam-diam atau terang-terangan. Secara langsung maupun tak langsung. Karena tak ada doa yang dipanjatkan, menguap sia-sia. Semoga doa itu masih terus menggema di sekeliling saya hingga prosesnya berakhir. Tengkyu.
--Imam Rahmanto--
Ps: Saya kini punya barang ke(saya)ngan tambahan. Seminggu yang lalu, saya memperoleh hadiah jam tangan dari seseorang, yang juga baru saya kenal sebulan belakangan ini. Ia, bukan orang istimewa. Pemberiannya itu justru mungkin hanya sebatas balas budi untuk secuil bantuan yang saya berikan.
0 comments