Apa Kalian Merindukan?
Februari 23, 2014Baca Juga
“Apa kabar?”
Sejalin surat memang selalu diawali dengan kalimat sapaan itu, bukan? Atau memang sedari kecil kami diajarkan menulis surat dengan kalimat sapaan itu ya? Oleh karenanya tertanam hingga kini model surat seperti itu. Yah, sebagaimana generasi kami selalu diajarkan menggambar dengan pola yang sama; gunung, matahari, jalanan, dan persawahan. Itu-itu saja.
Tapi, serius, saya ingin tahu kabar kalian disana. Berapa lama kita tak bertemu? Sebulan? Dua bulan? Tiga bulan? Ah, tak terhitung saya yang menenggelamkan diri dalam rutinitas-rutinitas seorang mahasiswa. Maafkan saya yang tiap waktu hanya menjawab pertanyaan-pertanyaan kalian dengan ungkapan “tidak tahu”.
“Kapan lagi ke Pangkep, Kak?”
“Kak jalan-jalan lagi ke Pangkep nah, Kak?”
Dan beberapa pernyataan lain yang bakal berujung pada pertanyaan-pertanyaan serupa.
Yah, saya sendiri harus berpikir keras seperti apa harus memecahkan kerinduan untuk melihat tawa kalian lagi. Ah ya, saya ingat tawa yang kalian kembangkan di kelas setiap kali saya harus mengajar. Tawa penerimaan kalian setiap kali saya hanya bermodalkan sandal(?) membagi cerita-cerita (ma'do) untuk kalian. Bahkan, tawa yang kalian alamatkan pada seseorang yang hingga kini masih dekat di hati saya. Apa kalian ingat bagaimana bersemu wajahnya kala itu? Akh, saya ketinggalan momen itu, dan sekali waktu saya ingin melihat wajahnya merona, membekukannya.
Semoga apa yang pernah kalian doakan pada kami bisa dirapalkan malaikat dan dikirimkan kepada sang Pencipta. Yang tersisa, menanti tanda tangan Sang Pencipta jika tiba waktunya. ;)
Akankah kalian menganggap momen yang kita lalui adalah yang paling menyenangkan?
Saya ingat, betapa kalian membanding-bandingkan kami dengan mahasiswa-mahasiswa yang menggantikan peran kami disana. Betapa kalian mengeluh dan berharap bertemu kami kembali. Mm….entah seberapa banyak kalian merindukan kami. Tapi biarkan saja rindu yang berat ini kami tanggung untuk kalian. Kalian, belajarlah yang giat. Tak usah memikirkan rindu yang masih belum sampai waktunya itu.
Saya suka ketika kalian bercerita banyak hal kepada saya. Rasa-rasanya saya kembali dan hadir menyaksikan kalian dari dekat. Sebagaimana kalian bercerita tentang mahasiswa yang melanjutkan PPL kami disana. Kalian bercerita banyak tentang se-menyebalkan-nya mereka.
“Mereka menyebalkan. Tidak mau kompromi. Kalau di dalam kelas, ya kita cuma bisa diaaam saja,” curhat beberapa orang dari kalian yang selalu antusias menyampaikan selentingan kabar maya untuk saya di percakapan jejaring sosial.
Hahaha….saya membayangkan, bagaimana diamnya si Ayu di Kelas Einstein (Bewohner!) yang biasanya ngoceh sana-sini, bahkan dulu sampai merampok posisi duduk teman kelasnya di depan ketika saya mengajar. Sayangnya, ia hanya ingin serius melihat (saya) dan tertidur, bukannya menyimak atau belajar. Ckck….malah saya juga mendengar Ayu sudah enggan duduk di depan lagi ya?
Saya membayangkan pula bagaimana diamnya si Ade di Kelas Aljabar (Alvalor!) yang terkenal dengan suara cemprengnya. Semoga dengan suara itu ia bisa meraih impiannya, minimal mendirikan sekolah, katanya. Mungkin, ketika disuruh untuk diam oleh kakak-kakak itu, mukanya ditekuk saja, dilipat-lipat, diam, puasa bicara. Hahaha…
Betapa hebatnya mereka membuat kalian semua terdiam. Psst! Jujur, saya tidak bisa loh hanya untuk membuat kalian diam. Untuk marah kepada kalian saja, tak pernah sampai hati. Setiap kali saya harus jengkel dan marah kepada kalian, saya hanya bisa diam dan memasang tampang menyeramkan. Toh, ketika saya memasang muka itu, kalian malah tertawa. Meskipun saya merasa tersanjung dengan tawa kalian. Artinya, saya memang orang terlucu di dunia. :D
“Kak Imam kalau marah mukanya tidak meyakinkan,” sambil diringi derai tawa dari teman-teman lainnya.
Sungguh, saya merasa ruangan di dalam kelas kalian menjadi ruang saya melepaskan penat. Apa kalian tahu, betapa saya dulu menginginkan KKN saya berakhir dengan cepat? Saya sungguh dibuat kebingungan dan kelimpungan harus bolak-balik Makassar-Pangkep. Saya punya kewajiban dan tanggung jawab sebagai seorang mahasiswa sekaligus pewarta kampus. Bahkan, hanya gara-gara saya jarang terlihat di posko, teman-teman begitu mengabaikan saya.
Hanya saja, saya selalu berprinsip untuk menyelesaikan setiap apapun yang telah saya mulai. Oleh karena itu, bagaimanapun tak mengenakkannya atmosfer yang pernah saya rasakan, saya menjalaninya. Di akhir, saya menemukan kedekatan dengan mereka. Namun, kelas kalian selalu menjadi penghibur dan penyemangat bagi kehidupan saya disana. Jadi, kalian kini tahu kan kenapa saya begitu menghargai kalian? Karena kalian menghargai keberadaan saya, dan menganggap saya ada.
Ketika seseorang merasa dihargai, maka keberadaannya selalu dinanti.
Itu masa yang telah berlalu. Sekarang saya menantikan waktu bertemu dengan kalian. Terakhir kali saya mendengar kabar, kalian akan mengadakan pentas seni di sekolah ya? Wah, keren juga kalian. Seumur-umur, saya belum pernah menggelar pentas seni di sekolah saya dulu. Kalian hebat. Dan itulah yang saya suka dari kalian. Saya juga ingin menunaikan janji dari beberapa orang diantara kalian ketika kelak kita bertemu, sekadar mendendangkan sebait lagu. Sekolah kalian masih seumur jagung, tapi prestasi-prestasi yang ditorehkan sudah sepanjang jalan. Great!
“Saya masih belum tahu kapan bisa meluangkan waktu sekadar bertemu dengan kalian,” jawab saya selalu.
Meskipun mengawali tahun baru kemarin saya menyempatkan diri untuk bertemu dengan para “kurcaci” Einstein, namun hanya sebentar dan diiringi derai hujan. Akh, saya sudah jauh-jauh, kalian tidak banyak datang. Padahal, saya berniat untuk memberikan sedikit kejutan untuk kalian. Lha kok, justru saya-nya yang terkejut dengan kekosongan kalian? Ckck….
Ah, tapi sudahlah. Lain waktu saya ingin melihat keramaian seperti dulu saat saya mengajar kalian. Ada senyum malu-malu, senyum-tawa lebar, tawa melengking, teriakan huuu!, rahasia-rahasia kecil, janji-janji bersama, impian yang disembunyikan, cerita hantu di kelas, traktiran yang tertunda, dan tentu saja, rindu yang dipendam dalam diam.
Saya tetap seperti yang kalian kenal dulu. Saya masih merindukan kalian meski tak pandai menebar rindu. Saya masih ingin melihat wajah “menyebalkan” kalian. Tetap menghargai setiap kebersamaan yang kalian hadiahkan untuk saya. Bagi saya, kalian sudah menjadi puzzle kecil dalam hidup saya. Ada mata rantai yang mengaitkan kalian dengan kehidupan saya. Tunggu saja, saya percaya, akan bertemu lagi dengan kalian, “Einstein yang mempelajari rumus Aljabar”. #just believe it
Maka biarkan waktu berjalan sebagaimana mestinya. Tak ada yang mampu menghentikannya kecuali Sang Pencipta. Manusia, hanya bisa meng-capture dalam tulisan dan kenangannya. Sembari waktu terus berjalan bergerak beraturan, maka kita harus memanfaatkan setiap momen yang dihadiahkan Tuhan tanpa kita ketahui.
Ps: Saya, sebenarnya sangat menginginkan kalian menulis. Apa saja. Karena dengan menulis, kalian membekukan ingatan kalian, untuk saya dan siapa saja yang membacanya. Dengan menulis, ada banyak hal yang tak pernah terlintas di dalam benak kalian mendadak ingin dituangkan. Karenanya, menulis bisa menyemai suka dan mengobati luka.
Sejalin surat memang selalu diawali dengan kalimat sapaan itu, bukan? Atau memang sedari kecil kami diajarkan menulis surat dengan kalimat sapaan itu ya? Oleh karenanya tertanam hingga kini model surat seperti itu. Yah, sebagaimana generasi kami selalu diajarkan menggambar dengan pola yang sama; gunung, matahari, jalanan, dan persawahan. Itu-itu saja.
Tapi, serius, saya ingin tahu kabar kalian disana. Berapa lama kita tak bertemu? Sebulan? Dua bulan? Tiga bulan? Ah, tak terhitung saya yang menenggelamkan diri dalam rutinitas-rutinitas seorang mahasiswa. Maafkan saya yang tiap waktu hanya menjawab pertanyaan-pertanyaan kalian dengan ungkapan “tidak tahu”.
“Kapan lagi ke Pangkep, Kak?”
“Kak jalan-jalan lagi ke Pangkep nah, Kak?”
Dan beberapa pernyataan lain yang bakal berujung pada pertanyaan-pertanyaan serupa.
Yah, saya sendiri harus berpikir keras seperti apa harus memecahkan kerinduan untuk melihat tawa kalian lagi. Ah ya, saya ingat tawa yang kalian kembangkan di kelas setiap kali saya harus mengajar. Tawa penerimaan kalian setiap kali saya hanya bermodalkan sandal(?) membagi cerita-cerita (ma'do) untuk kalian. Bahkan, tawa yang kalian alamatkan pada seseorang yang hingga kini masih dekat di hati saya. Apa kalian ingat bagaimana bersemu wajahnya kala itu? Akh, saya ketinggalan momen itu, dan sekali waktu saya ingin melihat wajahnya merona, membekukannya.
Semoga apa yang pernah kalian doakan pada kami bisa dirapalkan malaikat dan dikirimkan kepada sang Pencipta. Yang tersisa, menanti tanda tangan Sang Pencipta jika tiba waktunya. ;)
Akankah kalian menganggap momen yang kita lalui adalah yang paling menyenangkan?
Saya ingat, betapa kalian membanding-bandingkan kami dengan mahasiswa-mahasiswa yang menggantikan peran kami disana. Betapa kalian mengeluh dan berharap bertemu kami kembali. Mm….entah seberapa banyak kalian merindukan kami. Tapi biarkan saja rindu yang berat ini kami tanggung untuk kalian. Kalian, belajarlah yang giat. Tak usah memikirkan rindu yang masih belum sampai waktunya itu.
Saya suka ketika kalian bercerita banyak hal kepada saya. Rasa-rasanya saya kembali dan hadir menyaksikan kalian dari dekat. Sebagaimana kalian bercerita tentang mahasiswa yang melanjutkan PPL kami disana. Kalian bercerita banyak tentang se-menyebalkan-nya mereka.
“Mereka menyebalkan. Tidak mau kompromi. Kalau di dalam kelas, ya kita cuma bisa diaaam saja,” curhat beberapa orang dari kalian yang selalu antusias menyampaikan selentingan kabar maya untuk saya di percakapan jejaring sosial.
Ada ketua kelas Cipul yang lucu dan selalu dikerjai teman- temannya. |
Saya membayangkan pula bagaimana diamnya si Ade di Kelas Aljabar (Alvalor!) yang terkenal dengan suara cemprengnya. Semoga dengan suara itu ia bisa meraih impiannya, minimal mendirikan sekolah, katanya. Mungkin, ketika disuruh untuk diam oleh kakak-kakak itu, mukanya ditekuk saja, dilipat-lipat, diam, puasa bicara. Hahaha…
Betapa hebatnya mereka membuat kalian semua terdiam. Psst! Jujur, saya tidak bisa loh hanya untuk membuat kalian diam. Untuk marah kepada kalian saja, tak pernah sampai hati. Setiap kali saya harus jengkel dan marah kepada kalian, saya hanya bisa diam dan memasang tampang menyeramkan. Toh, ketika saya memasang muka itu, kalian malah tertawa. Meskipun saya merasa tersanjung dengan tawa kalian. Artinya, saya memang orang terlucu di dunia. :D
“Kak Imam kalau marah mukanya tidak meyakinkan,” sambil diringi derai tawa dari teman-teman lainnya.
Sungguh, saya merasa ruangan di dalam kelas kalian menjadi ruang saya melepaskan penat. Apa kalian tahu, betapa saya dulu menginginkan KKN saya berakhir dengan cepat? Saya sungguh dibuat kebingungan dan kelimpungan harus bolak-balik Makassar-Pangkep. Saya punya kewajiban dan tanggung jawab sebagai seorang mahasiswa sekaligus pewarta kampus. Bahkan, hanya gara-gara saya jarang terlihat di posko, teman-teman begitu mengabaikan saya.
Hanya saja, saya selalu berprinsip untuk menyelesaikan setiap apapun yang telah saya mulai. Oleh karena itu, bagaimanapun tak mengenakkannya atmosfer yang pernah saya rasakan, saya menjalaninya. Di akhir, saya menemukan kedekatan dengan mereka. Namun, kelas kalian selalu menjadi penghibur dan penyemangat bagi kehidupan saya disana. Jadi, kalian kini tahu kan kenapa saya begitu menghargai kalian? Karena kalian menghargai keberadaan saya, dan menganggap saya ada.
Ketika seseorang merasa dihargai, maka keberadaannya selalu dinanti.
Itu masa yang telah berlalu. Sekarang saya menantikan waktu bertemu dengan kalian. Terakhir kali saya mendengar kabar, kalian akan mengadakan pentas seni di sekolah ya? Wah, keren juga kalian. Seumur-umur, saya belum pernah menggelar pentas seni di sekolah saya dulu. Kalian hebat. Dan itulah yang saya suka dari kalian. Saya juga ingin menunaikan janji dari beberapa orang diantara kalian ketika kelak kita bertemu, sekadar mendendangkan sebait lagu. Sekolah kalian masih seumur jagung, tapi prestasi-prestasi yang ditorehkan sudah sepanjang jalan. Great!
“Saya masih belum tahu kapan bisa meluangkan waktu sekadar bertemu dengan kalian,” jawab saya selalu.
Meskipun mengawali tahun baru kemarin saya menyempatkan diri untuk bertemu dengan para “kurcaci” Einstein, namun hanya sebentar dan diiringi derai hujan. Akh, saya sudah jauh-jauh, kalian tidak banyak datang. Padahal, saya berniat untuk memberikan sedikit kejutan untuk kalian. Lha kok, justru saya-nya yang terkejut dengan kekosongan kalian? Ckck….
Ah, tapi sudahlah. Lain waktu saya ingin melihat keramaian seperti dulu saat saya mengajar kalian. Ada senyum malu-malu, senyum-tawa lebar, tawa melengking, teriakan huuu!, rahasia-rahasia kecil, janji-janji bersama, impian yang disembunyikan, cerita hantu di kelas, traktiran yang tertunda, dan tentu saja, rindu yang dipendam dalam diam.
Saya tetap seperti yang kalian kenal dulu. Saya masih merindukan kalian meski tak pandai menebar rindu. Saya masih ingin melihat wajah “menyebalkan” kalian. Tetap menghargai setiap kebersamaan yang kalian hadiahkan untuk saya. Bagi saya, kalian sudah menjadi puzzle kecil dalam hidup saya. Ada mata rantai yang mengaitkan kalian dengan kehidupan saya. Tunggu saja, saya percaya, akan bertemu lagi dengan kalian, “Einstein yang mempelajari rumus Aljabar”. #just believe it
Maka biarkan waktu berjalan sebagaimana mestinya. Tak ada yang mampu menghentikannya kecuali Sang Pencipta. Manusia, hanya bisa meng-capture dalam tulisan dan kenangannya. Sembari waktu terus berjalan bergerak beraturan, maka kita harus memanfaatkan setiap momen yang dihadiahkan Tuhan tanpa kita ketahui.
Ada kalian, Aljabar Alvalor! |
Juga Einstein Bewohner! |
--Imam Rahmanto--
0 comments