Mencintai dan Memahami Butuh Waktu

Januari 20, 2014

Baca Juga

(Sumber: google.com)
Apa yang kita ketahui tentang cinta? Setidaknya ketika kita mengajukan pertanyaan itu kepada setiap orang di dunia, tentu jawabannya akan berbeda-beda. Setiap orang punya pandangannya tentang rasa itu. Setiap orang punya nilai tentang rasa itu, yang dipengaruhi oleh segala hal yang pernah ditelikungnya.

#saya numpang tersenyum dan menghela napas sebentar

Saya mempelajari tentang perasaan itu tempo hari, dari ayah dan ibu saya. Sesuatu yang dari dulu menjadi pangkal kebencian terhadap ayah saya, perlahan memudar. Sementara saya mati-matian ingin menghapuskannya, namun ibu saya justru menerimanya. Bahkan hingga kini, ia dengan setia merawat ayah yang tak bisa lagi menggerakkan setengah sel saraf tubuhnya. Sungguh, melihat hal demikian, perlahan saya harus melepaskan onak itu dalam kepala saya.

Mungkin, seperti itulah cinta yang digariskan untuk kedua orang tua saya, eh secara umum semua orang tua di dunia ini. Komitmen terpatri dalam benak setiap pasangan. Bagaimanapun kehidupan yang akan dijalani, keduanya sudah berkomitmen (dalam hati masing-masing) untuk mempertahankan keluarga yang bahagia, utuh, dan membuah-hatikan keturunannya.

Mazmur dan ibunya. 
Pernah menyaksikan film Di Timur Matahari? Salah satu cuplikan filmnya benar-benar menggugah saya. Kemiripan dengan apa yang kerap saya alami dalam kehidupan keluarga saya membuatnya mengambil sedikit tempat dalam memory.

“Kenapa ibu tidak membalas?” tanya seorang anak bernama Mazmur ketika melihat ibunya menangis sendirian di dalam rumah usai dipukuli suaminya.

“Kasih itu tidak boleh membalas,” jawab ibunya perlahan sembari membelai Mazmur. "Laki-laki tidak boleh pukul perempuan. Perempuan juga tidak boleh pukul laki-laki, Mazmur."

“Tuhan bilang, perempuan diciptakan dari tulang rusuk laki-laki. Jadi kalau laki-laki sama perempuan baku pukul, itu sama saja kau sakiti diri sendiri,” tutur lembut ibunya.

Di tengah-tengah film, akibat konflik antar suku disana, ayah Mazmur meninggal. Sebegitu cintanya Ibu Mazmur kepada suaminya, ia sampai rela memotong salah satu jarinya (sesuai adat suku Dani di Papua). Jarinya, sebagai bukti kecintaannya terhadap suaminya, tanpa memandang kesalahan-kesalahan lalu.

Setiap orang punya pemahamannya masing-masing. Setiap orang punya kisahnya masing-masing.

Yah, karena komitmen dan masih dilandasi rasa sayang itulah sepertinya yang membuat ibu saya tetap meluangkan jiwa-raga untuk ayah saya. Sedikitpun ia tidak pernah memikirkan lelah yang menempanya. Mengeluh pun enggan. Kenangan-kenangan buruk masa lalu nampaknya tidak pernah dipendam ibu saya di dalam hatinya. Saya tidak butuh mengingat-ingat masa lalumu, karena saya ingin hidup denganmu yang sekarang dan yang akan datang.

Pun sebaliknya dengan ayah saya. Menurut apa yang diceritakannya (dan dibenarkan ibu), berkali-kali ayah pernah dekat dengan beberapa perempuan lain ketika sudah menikah dengan ibu. Hanya saja, ayah masih tetap kekeuh tidak ingin meninggalkan ibu.

“Begini-begini, banyak loh dulu yang kesemsem sama bapakmu. Cuman, saya masih pikir Ma’mu. Biar Ma’mu orangnya begitu, polos, tapi saya masih menerima apa adanya,” tutur ayah saya setengah bercanda. Mendengarnya, saya tersenyum sebentar. Saya teringat dengan sikap-sikap ibu yang dianggap ayah kurang baik.

Secara tersirat, sebenarnya ayah menyampaikan tentang prinsip penerimaan. Bahwa sejatinya kesempurnaan itu ketika seseorang mampu menerima ketidaksempurnaan pasangannya. Saling melengkapi. Saling mengingatkan. Saling memuliakan.

Tentu saja, proses yang dijalani kedua orang tua saya menuju tahap hubungan yang matang ini bukanlah waktu yang singkat seperti zaman modern kini. Yah, meskipun alkisah keduanya menikah di waktu yang belia. Namun mencapai tangga kematangan itu butuh proses yang lamaaa sekali.

Karena sejatinya jodoh memang harus ditemukan, bukannya ditunggu, maka butuh waktu untuk mencarinya. Tidak sebentar loh menciptakan hubungan yang dewasa. Malah, hubungan yang lekat hanya dibangun dari pondasi yang kuat. Tidak asal jadi saja. Kita butuh waktu untuk tahu lebih banyak tentang perasaan pasangan masing-masing. Satu bulan, dua bulan, tiga bulan, hingga setahun lamanya, maybe.

Perjalanan yang dimulai dengan lapang akan menghasilkan hubungan yang matang. Dari sekian banyak teman saya, mereka yang berpacaran hanya dari kenalan seminggu atau sebulan saja tidak bakal bertahan lama. Sebaliknya, teman saya yang berpacaran dari proses pedekate yang lama, bisa bertahan sampai hari ini. Hm…bahkan nampaknya beberapa teman saya tinggal menunggu selesai kuliah saja untuk naik pelaminan. Hahaha…

Pa’e dulu ya begitu. Suka sama Ma’mu waktunya lama. Kalau ada waktu ya ngapel, dijamu sama radio yang gedenya segini,” cerita ayah saya sambil mengukurkan kedua tangannya dan melirik pada ibu. Kisahnya puluhan tahun berselang sebelum saya hadir menjadi anak pertamanya.

Tentang kakak sepupu saya, yang gagal di kehidupan rumah tangganya, dianggap hal yang wajar oleh ayah. Lebih dari setahun silam saya terakhir kali bertemu dengan sepupu yang tiga tahun lebih tua dari saya itu. Ia belum pernah menceritakan sedikitpun perihal kekasihnya, bahkan teman dekatnya sekalipun. Eh, baru saja saya mendengar kembali kabar tentangnya, ia malah sudah bercerai. Ckckck….

“Ya begitu itu, karena sudah dirasa cocok Cakmu dan dianggap baik oleh Pakdemu, makanya langsung dinikahkan. Cakmu nurut wae. Apalagi yang wanitanya juga seorang biduan. Padahal baru dua minggu loh dia kenalan,” kisah ayah saya geleng-geleng kepala.

Kedua orang tua saya pun mengaku pernah dijenguk oleh kakak sepupu saya itu ketika dirawat di RS Wahidin, sekira dua-tiga bulan lalu. Ia yang waktu itu masih langgeng bersama istrinya datang langsung dari Jawa hanya untuk melihat keadaan ayah saya. Akh, saya tiba-tiba kembali dibalut perasaan bersalah…. Hanya berselang minggu, kabar tentang perceraiannya tiba di telinga ayah saya.

“Salah Cakmu sendiri tah. Masa’ iya ngenal perempuan itu cuma dua minggu saja? Memangnya untuk tahu luar-dalamnya bisa sesingkat itu?” ujar ayah saya. Setahu saya, ayah memang dekat pula dengan kakak sepupu saya yang satu itu. Bahkan, bisa dikatakan, kakak sepupu saya itu lebih nurut ke ayah dibanding ke Pakde.

Hm, apa yang dikatakan ayah memang benar. Mengenal seseorang itu tidak seperti membeli barang dagangan di pasar, yang cukup menawar sebentar lalu dibeli sesuai dengan kecocokannya. Jodoh adalah persoalan seumur hidup, maka perlu dipikirkan matang-matang. Need time to know. Need time to love.

Setiap orang hidup digariskan untuk menemukan jodohnya. Entah seperti apa pertemuannya. Romantis. Menyenangkan. Menyebalkan. Memuakkan. Dikenalkan teman. Entah seperti apa proses yang bakal dijalaninya. Saling menyukai diam-diam. Saling memusuhi. Atau biasa-biasa saja. Hingga sampai di kehidupan rumah tangga, yang tersisa adalah mempertahankannya. Memegang teguh komitmen masing-masing. Komitmen untuk berkeluarga utuh.

“Namanya jodoh ya memang begitu. Setiap orang harus saling menerima apa yang dimiliki pasangannya. Kalau punya kriteria, ya silakan dicari pada pasangannya. Kalau ndak nemu, ya cari lagi. Tapi jangan harap bakal nemu semua kriteria yang diharapkan. Jodoh itu, asal kriterianya sudah cocok, emm… minimal 80 persen lah sudah cukup. Sisanya tinggal saling melengkapi dan memperbaiki,” pesan ayah saya.

So sweet banget sih nih gambar.... -_-" (Sumber: google.com)
***


Hei, yang selalu keras kepala...

Aku menemukanmu dalam keadaan telah tersimpul oleh tawamu. Tak pernah sedikit pun aku mengasihani jalur air matamu. Bukan karena engkau menangis maka aku menyayangimu melebihi ketakutanku sendiri. Melainkan, karena aku menyayangimu, maka takkan kubiarkan engkau menangis.


--Imam Rahmanto--

You Might Also Like

0 comments