Teman itu Peduli…

Desember 01, 2013

Baca Juga

Berteman itu adalah tentang saling mengerti, saling mengisi, saling mengawasi, dan saling mengasihi. 
Kehidupan yang kita jalani sekarang adalah tentang menjalin komunikasi dengan orang lain. Manusia adalah makhluk sosial, dengan konsekuensi tidak bisa hidup tanpa dukungan atau peran serta dari orang lain. Orang introvert sekalipun, tidak akan bisa hidup tanpa sokongan dari orang lain. Teman, menjadi penanda setiap orang yang ingin menjalin keakraban hubungan sosial itu.

“Bagi saya, teman itu luas. Siapa saja yang mengenal saya dan saya mengenalnya, saya menganggapnya teman. Saya tidak pernah peduli dengan anggapan dia itu junior atau senior saya,” teringat akan jawaban saya suatu waktu ketika mengobrol ringan dengan seseorang.

Yah, pada dasarnya, saya menganggap siapa saja yang menjadi “kenalan” saya adalah teman saya. Teramat jarang saya menyebut mereka “junior” atau “senior” atau bahkan “anggota” di tengah-tengah menyebutkan nama mereka kepada orang lain. Bagi saya, mereka adalah teman. Dan semoga apa yang menjadi anggapan kita kepada mereka dikembalikan pula kepada kita. Begitulah “The Law of Attraction” berlaku.

“Beda lagi dengan saya. Entahlah. Tapi, teman itu adalah orang-orang yang benar dekat dengan kita. Kita bisa mengharapkan apa saja dari mereka. Malah saya lebih dekat kepada mereka ketimbang pacar,” ungkap seorang teman mewakilkan perasaannya. “Malah saya bisa menuntut lebih banyak kepada seorang teman,” tambahnya lagi dengan menambahkan emoticon tawa.

Mungkin, “teman” yang dimaksudkannya lebih spesifik lagi, meski dalam pengertian banyak orang yang disebut dengan “sahabat”. Yah, meskipun ia tak ingin mengkotak-kotakkan yang mana sahabat, yang mana teman.

Apapun itu, definisi setiap orang berbeda-beda. Setiap orang memiliki pemikirannya masing-masing. Pemikiran itu tentu saja dibentuk dari pengalaman-pengalaman yang dijalaninya dalam kehidupan. Sama halnya ketika kita membicarakan “cinta”, ada beragam definisi yang akan beterbangan di atmosfer dunia kita.

Sumber: pinterest.com
Apapun itu, saya tidak mempedulikannya. Bagi saya, kenal dan saling mengenal sudah menjadikan orang lain sebagai seorang teman. Sebagaimana orang Jepang sangat menghargai pertemanan itu. Saya mempelajarinya, hampir semua anime (flm animasi), manga (komik) Jepang yang selalu mengajarkan tentang pertemanan itu. Segala cerita yang berkembang di dalamnya didasarkan pada konsep pertemanan itu sendiri.

“Teman adalah hal yang baik, bahkan jika mereka berjalan di arah yang berbeda.”--Naruto--
“Teman itu adalah sesorang yang akan menyelamatkanku dari neraka yang bernama kesepian.”--Naruto--
Bagaimanapun, film atau bacaan anak-anak itu dibuat tidak asal dibuat saja. Selalu ada nilai-nilai (atau doktrin) yang disisipkan di dalamnya. Tidak heran jika jepang meraup perkembangan  yang luar biasa dan diadulat sebagai negara maju.

Saya menemukan tentang pemahaman teman itu sendiri, kemarin. Di tengah-tengah rapat yang menjadi rutinitas mingguan di lembaga jurnalistik kami, air mata berderai. Saya mengamatinya, untuk pertama kalinya, bukan sebagai tangis atas kemarahan-kemarahan saya. Seperti yang biasa ditunjukkan oleh teman-teman (adik) di hadapan saya ketika saya sedang memarahi mereka. Tangis itu, lebih kepada tangis yang membuatnya sesak karena berusaha menegur seorang teman yang ia sendiri tak tega untuk menegurnya, sebagai seorang teman.

Sedikitnya, saya mengerti perasaan itu. Perasaan yang akhirnya tumpah. Begitu lama dipendam, baru sanggup mengatakannya. Begitu lama berkonflik dengan batinnya sendiri, apakah ia akan berbuat benar atau salah. Apakah ia akan menyakiti temannya atau tidak. Apakah ia akan lega atau tidak. Toh, pada dasarnya, teman yang tersakiti akan membuat kita ikut “sakit”. Dan kenyataannya, akan lebih sakit lagi jikalau kenyataannya yang membuatnya sakit adalah diri kita sendiri.

Tak ada maksud untuk menyakiti seorang teman dengan menegur kesalahan-kesalahan yang dianggap telah dilakukannya. Konsekuensinya, memang, kita akan menyakiti diri sendiri. Karena mau tak mau, kita akan menjadi orang pertama yang akan merasa tersakiti jika dirinya tersakiti atas ucapan dan teguran kita. Sebagai figur teman yang baik, kita memang seharusnya menjadi pengawas baginya. Itulah bentuk kita mengasihinya.

Sama saja dengan “menyembuhkan” penyakit. Untuk menyembuhkan, seseorang butuh obat. Pahit atau manis, harus dipaksakan. Imbasnya kan demi kesembuhan.

Saya yakin, hal semacam itu yang akan menembus batas-batas pertemanan yang selama ini masih memberikan dinding-dinding tak tampaknya. Dinding-dinding yang terkadang kita menganggapnya sesuatu yang tak boleh dilewati. Dinding yang seolah-olah bukan bagian kita untuk mengurusinya.

Sebagai bentuk kepedulian seorang teman, adalah wajar ketika saling menegur, saling memperbaiki. Kita tidak akan pernah benar-benar hidup jika tidak ada satupun orang yang mempedulikan kita. Marah, bukan pertanda seseorang membenci kita. Bukan. Marah, hanya sebatas bentuk penyampaian dan kasih sayang tak kasat mata kepada orang-orang yang masih kita pedulikan.

“Kapan seseorang akan mati? Saat dia terkena tembakan? TIDAK!! Saat dia terkena penyakit mematikan? TIDAK!! Saat dia meminum sup dari jamur beracun? Juga TIDAK..
Seseorang akan mati apabila dia telah dilupakan...” --Dr.Hiluluk, One Piece--


--Imam Rahmanto--

You Might Also Like

0 comments