Memajang Tulisan di Etalase Kompasiana

Desember 02, 2013

Baca Juga

Sumber: Goodreads.com
Satu lagi buku dari Bang Pepih Nugraha yang nangkring di tangan saya setelah beberapa hari harus “mupeng” di jejaring Kompasiana. Apalagi dengan digelarnya kompetisi me-review buku besutan pendiri Kompasiana tersebut.

Sejujurnya, mendengar nama Pepih Nugraha, pikiran saya langsung tertuju pada Kompasiana. Tak bisa dipungkiri, jatuh-bangunnya Bang Pepih mendirikan dan mengembangkan social blog itu telah memberikan brand image tersendiri bagi dirinya. Tidak heran ketika kita lebih mengenal Bang Pepih di sisi Kompasiana-nya tinimbang sisi Redaktur Pelaksananya, jabatan yang kini diemban di Kompas.com.

Sial bagi saya, karena baru mendapatkan pinjaman bukunya setelah beberapa hari buku tersebut beredar luas di pasaran. Saya merasa ketinggalan momen sepersekian waktu. Itupun karena saya sedikitnya berhasil mempengaruhi (tak kasat mata) teman saya untuk menjadikannya sebagai salah satu koleksi perpustakaan redaksi lembaga kami. Selain karena tingkat proximity saya juga yang cukup besar dengan jejaring Kompasiana.

Buku Kompasiana Etalase Warga Biasa nampaknya menjadi buku kesekian kalinya yang berhasil ditelurkan secara tak langsung dari Kompasiana. Sepengetahuan saya, Bang Pepih sendiri sebagai pendiri Kompasiana sudah menghasilkan 5 buku semasa hidupnya. Beberapa kali ia juga menjadi penyunting atau editor dari buku-buku yang diterbitkan lewat bundling artikel di Kompasiana.

Sejujurnya, saya suka gaya bertuturnya yang renyah dan tidak begitu formal. Flow. Amat berbeda dengan buku-buku serupa yang selama ini saya jumpai. Meskipun lebih banyak saya mengonsumsi novel.

Dalam buku setebal282 halaman ini, secara umum menceritakan tentang pergulatan bagaimana mendirikan sebuah media sosial yang mengusung tema: Menulis. Semua warga harus menulis. Meski secara generalisasi orang-orang menyebutnya sebagai citizen journalism, akan tetapi pada kenyataan dan prakteknya di dunia maya, Kompasiana tidak hanya lahir sebatas media “laporan warga”. Melainkan ia berkembang menjadi media bagi warga yang gemar menulis dalam menyampaikan opini/ pendapat, laporan kejadian, atau bahkan karya sastra.

“Kompasiana adalah media sosial khas Indonesia dengan platform tegas: MENULIS dan tagline jelas “Sharing & Connecting”. Di dalamnya termasuk menulis berita peristiwa yang disebut sebagai citizen journalism, menulis opini, menulis catatan harian, dan bahkan menulis fiksi. Semua konten berupa karya tulis itu diproduksi dan diciptakan sendiri oleh warga pengguna Kompasiana.” --Kompasiana--

Dengan berbekal ilmu ekonomi dan marketing yang dimilikinya, Bang Pepih membangun Kompasiana. Melalui buku ini, saya memahami bahwa ternyata pendiri Kompasiana adalah benar-benar orang yang sangat paham dengan manajemen marketing. Secara tak langsung, saya sebagai pembaca diajarkan bagaimana cara mem”promosi”kan dengan benar. Beberapa istilah-istilah marketing yang selama ini baru saya "kenal-malu-malu", sedikitnya tergambarkan lewat usaha melahirkan bayi blog sosial yang pernah dinobatkan sebagai Kanal Blog Citizen Journalism Terbaik dari Pesta Blogger 2010 dan Markeeters Netizen Champion.

Saya kemudian berpikir, di samping paham tentang kaidah-kaidah jurnalistik (yang akhirnya didobrak sendiri), seorang Pepih Nugraha juga banyak mengetahui seluk-beluk IT, internet, dan marketing. Lewat pengetahuannya itulah yang mengawalinya untuk menelurkan ide tentang konsep blog sosial.

Sesekali, pria yang berulang kali menginjakkan kakinya di kota Makassar ini menyelipkan selingan “motivasi” dalam beberapa bab bukunya.

“Sebenarnya saya ingin menunjukkan kekuatan dari sebuah olok-olok dari orang lain, yang saya tangkap sebagai energy positif yang luar biasa bagi kreativitas, kekuatan yang tak terkirakan dalam menumbuhkan semangat kerja demi mencapai prestasi yang saya tidak tahu persis seperti apa bentuknya.”

Salah satu kutipan artikel tersebut menjadi penanda bahwa Kompasiana memang dibangun dengan susah payah dan penuh tantangan. Hal ini membuktikan, apa yang diusahakan tak selamanya mendapatkan tempat yang cocok di hati orang lain. Blog sosial yang kini harum namanya dimana-mana ternyata dibangun pula dengan cibiran-cibiran dari para pakarnya. Meskipun demikian, saya cukup bangga dengan sikap ”See what other people doesn’t see” pendirinya itu. Excellent!

Artikel-artikel yang pernah dimuat di Kompasiana, baik miliknya maupun postingan Kompasianer lain tak luput menjadi pelengkap bukunya. Hal itu dimaksudkan sebagai bahan rujukan berdasarkan topik yang dibahas oleh setiap bab. Namun, beberapa pemikiran saya yang berkelebat menganggap naskah-naskah itu hanya persoalan taktisi halaman. Bagi Kompasianer yang sudah pernah membacanya, kemungkinan akan melompati naskah yang didapuk dari postingan Kompasiana itu. Saya pribadi tetap membacanya, karena belum pernah membaca semua postingan yang di relaunch di buku ini, meskipun beberapa kali sempat mendengar riuh-rendahnya di perbincangan para Kompasianer.

Etalase Warga Biasa, bukanlah buku how to tentang Kompasiana. Melainkan buku yang menceritakan tentang “babak-belur” Kompasiana semenjak dibenihkannya. Bermula dari blog tampilan “abal-abal” yang hanya menghimpun penulis dari jurnalis Kompas dan blogger tamu. Para jurnalis media itu diharapkan mampu menuangkan cerita “tak tersampaikan” di balik berita yang mereka sajikan ke publik.

Semakin membanjirnya pembaca dan pengunjung Kompasiana, menggunungnya antusiasme pembaca dalam berkomentar, mendorong perubahan yang radikal dalam pengelolaan Kompasiana. Dari “khusus untuk jurnalis” beralih ke “umum bagi siapa saja yang mau menulis”. Tentunya diiringi dengan perubahan sana-sini di sisi tampilannya, publikasinya, lahirnya Freez, dan penerbitan postingan-postingan beberapa Kompasianer dalam bentuk buku.
***

Mengamati dan menyimak kisah yang dituturkan secara mengalir oleh Bang Pepih membuat saya banyak berpikir. Keinginan yang sebenarnya telah lama tercetus di kepala saya.

“Kenapa tidak mengajak teman-teman di redaksi pewarta kampus saya untuk menulis tentang cerita ‘behind the scene’ di balik berita yang mereka liput?”

Tentu menjadi cerita yang menarik sekaligus unik membaca sendiri kisah-kisah mereka dalam menghadapi narasumber yang notabene pejabat-pejabat di kampus. Menulis tanpa perlu diseragamkan oleh editing redaksi tentunya akan menggambarkan ciri khas tersendiri bagi mereka. Selain itu, ada hal-hal melegakan ketika menuliskan sesuatu yang tidak bisa diceritakan langsung lewat berita yang akan diterbitkan di media cetak.

“…berita di balik berita, jauh lebih menarik ketimbang berita itu sendiri.” --Kompasiana--

Yah, saya terinspirasi oleh buku ini untuk bisa menerapkan hal serupa. Sedikitnya, membangun budaya tulis dan ngeblog di tengah-tengah rutinitas liputan. Saya penasaran dan bakal tersenyum-senyum sendiri membayangkan bagaimana teman-teman saya bakal bercerita dengan gaya bahasa sendiri tentang behind the scene liputan di blognya masing-masing. Wish it!



--Imam Rahmanto--

You Might Also Like

0 comments