Ke(Saya)ngan

Desember 13, 2013

Baca Juga

Seiring kita memperjuangkan sesuatu, keinginan untuk mempertahankannya akan tumbuh sejalan dengan rasa menyayanginya. 

Saya memilikinya. Dalam perjalanan hidup yang mencapai 22 tahun ini, saya punya beberapa hal spesial. Seiring dengan saya menemukan orang-orang yang spesial bagi saya. Hal-hal itu tidak didapat begitu saja. Saya mengusahakannya, saya mendapatkannya, dan saya menghargainya. Seiring dengan penghargaan itu, saya benar-benar menjadikannya sebagai barang kesayangan saya.

Barang-barang ini menurut saya adalah spesial. Tentu saja, ini benar-benar secara harfiah “barang”. Bukan orang, apalagi binatang. Saya menganggapnya spesial karena telah lama menemani perjalanan hidup saya. Saya mendapatkannya dengan usaha dan jerih payah sendiri. Barang-barang yang menjadi penanda bahwa saya bisa mendapatkan sesuatu tanpa perlu merengek kepada orang tua. Barang sebagai identitas yang mungkin akan melekat pada pemiliknya.

Saya memilikinya, dan "mereka" adalah milik saya.

Ini dia!


Buku Kuliah/ Novel
Kegemaran saya membaca bermula dari majalah anak-anak fenomenal Bobo, yang nampaknya masih diterbitkan sampai sekarang. Di bangku sekolah dasar, saya mengoleksinya. Saya ingat betul, harganya kala itu berkisar Rp 5ribu – Rp 10ribu. Harganya melonjak mahal kalau mengikutsertakan semacam bonus di beberapa edisinya. Padahal, setahu saya ketika beranjak gede, seharusnya harganya tetap dipatok normal. Bonus itu hanya akal-akalan pedagang. Akh, dasar pedagang di daerah saya saja yang mau untung banyak.

Betapa saya memuja-muja majalah itu semasa kecil.  Demi bisa membeli majalahnya setiap minggu, saya selalu menyisihkan uang jajan yang hanya Rp 1000 tiap harinya. Saya bisa mendapatkan uang berlebih jikalau membantu ayah berjualan Es Teler di pasar yang hanya buka di hari pasar, Selasa dan Jumat. Usai membantu cuci-cuci mangkuk, saya akan diberikan imbalan Rp 5ribu-7ribu per harinya.

Saya juga beradu siapa-yang-koleksinya-paling-banyak dengan salah seorang teman. Eh, eh, tapi kalau saya atau dia tidak punya cukup uang untuk membeli majalah Bobo edisi khusus, saya akan patungan dengannya, membentuk kongsi. *Hehehe…dasar anak kecil, seperti apapun bermusuhan, bersaing, atau berkelahi, kembali akur dalam sekejap saja.

Semenjak menginjak bangku kuliah, apalagi di kota Makassar yang kaya dengan toko buku maupun perpustakaan, saya semakin suka membaca. Karenanya, saya kemudian tertarik untuk mengoleksi beberapa buku. Bahkan saya bermimpi untuk bisa memiliki perpustakaan kecil sendiri, dengan rak-rak uniknya. Untuk yang satu ini, saya harus dibuat cemburu oleh beberapa teman saya yang telah memiliki perpustakaannya sendiri. 

Kesempatan untuk mengoleksi buku itu pun tak terbendung lagi ketika saya mendapatkan pekerjaan sebagai guru privat di tahun kedua kuliah. Saya tak menyia-nyiakannya. Saya berkomitmen untuk menginvestasikan setiap honor mengajar saya, setiap bulan, untuk sebuah buku. Biasanya novel. Dalam rentang setahun itulah saya kemudian memiliki puluhan buku. Akan tetapi, sebagian buku itu hingga kini entah kemana rimbanya. Saya lupa kepada siapa pula meminjamkannya.

Sayangnya, kebiasaan itu berakhir seiring kesibukan tuntutan saya sebagai pewarta kampus. Saya memutuskan untuk berhenti dan tak lagi mengajar. Fokus pada passion utama saya, meliput menulis = reporting. Semenjak itu (sampai kini), kondisi pengadaan buku saya tak tentu lagi waktunya. Kalau ada uang berlebih, saya beli buku. Kalau uang pas-pasan, saya hanya bisa mengidam-idamkannya.


Gitar Akustik
Saya menganggapnya sebagai barang pertama yang benar-benar membetot perhatian saya. Meskipun saya tidak pandai-pandai amat dalam memainkan gitar, saya masih punya hobi untuk menyanyikan lagu kegemaran saya. Ehm…suara juga pas-pasan.

Bermula dari kekaguman saya ketika melihat seorang teman di bangku sekolah menengah dalam memainkan gitar. Saya juga ngebet untuk memiliki gitar sendiri. Ditambah lagi, dengan pandai memetik gitar, persentase “keren” akan meningkat drastis di hadapan cewek. Hahahahaha……

Awalnya, saya belajar darinya. Beberapa kunci nada, dan lagu-lagu yang memang tidak sulit-sulit amat untuk dimainkan. Bahkan, demi meluluskan keinginan saya belajar gitar itu, saya sampai rela menyalin seisi buku kord gitar yang dibeli teman saya. Pasalnya, saya tidak memiliki uang untuk membeli buku-buku semacam itu.

“Beli majalah Bobo saja agak diwanti-wanti, apalagi kalau saya sudah beli buku kord gitar begitu,” pikir saya.

Keinginan untuk memiliki gitar semakin besar ketika saya sudah mulai pandai memainkan gitar. Satu, dua, tiga, bahkan seisi buku saya hafal persis lagu dan kunci nadanya. Namun, keinginan saya itu tentu saja tidak begitu saja diluluskan oleh ayah saya. Ia menganggap, memainkan musik seperti itu hanya membuang-buang waktu. Maklum, ehem, waktu itu saya terkenal sebagai “anak pintar”. Bagi ayah saya, bermain gitar hanya pekerjaan orang-orang yang saban harinya nongkrong di pinggir gang tanpa melakukan apapun.

“Memangnya kau mau jadi apa kalau pandai main gitar?” tanya ayah saya.

Saya yang terbiasa patuh kepada ayah, tidak bisa menyanggah sepatah kata pun yang diujarkannya. Padahal saya ingin bilang, “Saya juga ingin terlihat keren, tidak melulu culun sebagai orang pintar.”

Meskipun dicekal, keinginan itu masih tetap tumbuh beberapa bulan lamanya. Saya tetap belajar memainkan gitar dengan bergerilya ke rumah teman saya.

Hingga tiba waktunya, saya akhirnya berjodoh dengan gitar. Saya menjuarai acara yang digelar oleh Dinas Pendidikan, Lomba Pelajar Teladan tingkat SMP. Sebagai hadiahnya, saya mendapatkan sejumlah uang dari Dinas Pendidikan selaku penyelenggara kegiatan. Saya ingat, pertama kalinya pula waktu itu saya memiliki rekening bank.

“Pa’, boleh kan saya beli gitar dengan uang saya sendiri?” pinta saya dengan ‘tumbal’ uang hadiah itu.

Tentu saja, meski berat hati, ayah meluluskan keinginan saya. Toh, uang itu adalah uang hasil jerih payah saya. Namun syaratnya, gitar tersebut tidak boleh mengganggu prestasi belajar saya selanjutnya, kata ayah saya. Pada kenyataannya, gitar itu memang tidak pernah mengubah elektabilitas presatasi saya, kok. Hehehe....

...to be continued##

--Imam Rahmanto--

You Might Also Like

0 comments