Teman Saya dan Keajaibannya
Oktober 17, 2013Baca Juga
Pagi tadi, saya memulai kembali sedikit dari aktivitas kuliah saya. Untuk semester ini, saya hanya memprogramkan dua mata kuliah yang salah satunya harus saya hadiri setiap Kamis pukul 10.00. Yah, saya katakan harus hadir! Karena sudah tiga kali pertemuan saya absen dari pengamatan dosen pengampu mata kuliah tersebut. Ini mah ulahnya si KKN, dan sebagian ketidaktahuan saya juga sih….
Nyaris saja saya telat menghadiri perkuliahan tadi pagi. Menjelang pukul sepuluh, saya masih bersantai sembari menyeruput “teman” pagi saya, Cappie. Ditemani oleh salah seorang teman yang juga banyak bercerita kepada saya tentang masalah hatinya. Yah, ketika kita bisa berbagi rahasia kepada orang lain, maka orang lain pun akan melakukan hal yang sama dengan kita. Ia bercerita tentang kegundahan-kegundahannya dengan pasangannya. Di samping itu, saya heran, saya yang sebenarnya belum pernah menjalani seperti dia kok saya sok-sok jadi pendengar yang baik ya?? Sementara kan saya mengalami hal yang…ehem…agak "complicated" juga. #eaaa
Akan tetapi, saya tidak ingin bercerita tentang rahasia teman saya itu. Bukan, bukan. Saya ingin bercerita tentang seorang teman lainnya, yang ternyata semakin membenarkan kepercayaan saya terhadap keajaiban Tuhan. Bahwa setiap manusia, bisa menciptakan keajaibannya sendiri. Bahwa keajaiban adalah perwujudan dari tekad dan usaha yang kuat. Tak peduli seberapa sulit dan impossible-nya hal itu.
Adalah hal beruntung ketika saya tak lagi telat masuk kelas pagi. Terhitung lewat beberapa menit saja, maka salah satu dosen saya itu akan mencoret nama saya dari absensinya. Akan tetapi, sungguh tidak beruntungnya saya, mengikuti mata kuliah yang hanya sekadar melihat selintas pemaparan slide-slide yang ditampilkan oleh dosen tersebut. Seperti biasa, jadilah saya“penonton” yang baik. #membosankan
Akan tetapi, saya menemukan pelajaran berharga hari ini. Bukan tentang perkuliahan yang saya jalani di dalam kelas. Lebih dari itu. Saya bertemu kembali dengan salah seorang teman kelas saya (sesama angkatan 2009) yang juga ikut mengulang pada mata kuliah yang sama. Betapa bahagianya saya mempunyai teman senasib-sepenanggungan di mata kuliah ulangan. Hahaha…
Di samping bahagia karena tidak merasa tua sendiri di kelas yang sama, saya juga senang sekaligus bangga dengannya. Ada hal-hal yang berubah darinya. Ternyata, selentingan kabar tentang dirinya yang telah menyelesaikan seminar proposal – tahap awal menyelesaikan skripsi – bukanlah kabar angin semata. Ia memang benar-benar telah menyelesaikannya. Dan tentunya, dengan perjuangan yang tak mudah pula.
“Bayangkan bagaimana sulitnya saya menyelesaikan semuanya. Berulangkali saya konsultasi dengan pembimbing saya,” ia bercerita di tengah-tengah perkuliahan kami. Maklum, saya dan dia mengambil kursi agak belakang sehingga tidak begitu menarik perhatian dosen yang sementara menerangkan materinya.
“Bahkan saya pernah berganti pembimbing. Beruntung pembimbing saya sekarang lebih kooperatif dan mau membantu. Jadinya, meskipun saya masih banyak tuntutan SKS yang belum selesai, saya sudah menyelesaikan Seminar Proposal saya,” lanjutnya.
Ya, setahu saya, siapa saja yang berniat untuk melaksanakan seminar proposal, harus memenuhi jumlah kelulusan SKS minimum. Akan tetapi, dia benar-benar menembus “batas” itu. Tanpa perlu mencukupkan jumlah SKS yang diperlukan. That's true! That’s the point!
Dibandingkan dengan saya, IPK teman saya itu jauh di bawah standar. Mungkin, orang-orang tidak akan percaya tentang dia yang telah melaksanakan langkah awal itu. Namun itulah kenyataannya. Ia benar-benar mampu menembus mitos itu, dan melampaui saya yang hingga kini belum terpikirkan satu judul skripsi pun. :(
Sejujurnya, kalau saya bicara SKRIPSI yang terbayang dalam benak saya adalah ayam KRISPI sedang menari-nari di atas kertas kerja saya. #arghh
Disanalah keajaibannya. Dari cerita yang disampaikannya, tentu dengan bersemangat pula, saya bisa melihat tekad dan usaha yang benar-benar kuat dari dirinya. Ia benar-benar memanfaatkan setiap kesempatan yang dimilikinya. Setiap peluang, ia ambil. Setiap langkah, ia jalankan. Tak kenal menyerah. Jika gagal, ia mencoba lagi. Alhasil, ia bisa menjalani seminar itu lebih dulu ketimbang saya. Bahkan lebih dulu ketimbang menyelesaikan belasan mata kuliahnya yang akan dia ulang di semester-semester berikutnya.
“Pada intinya, setiap saya salah pasti saya perbaiki. Yang penting kita tidak lama-lama terpuruk di kondisi itu. Lagipula pembimbing saya juga yang selalu dorong saya,” lanjutnya lagi.
Saya benar-benar kagum dengannya. Apa yang selama ini dianggap remeh oleh teman-teman saya, bisa dibuktikannya. Ia membuktikan bahwa ia pun bisa menyelesaikan segala tuntutan kuliahnya yang dahulu terbengkalai. Ketika saya melihatnya pun, ia nampak lebih siap untuk menghadapi setiap mata kuliah yang diulanginya. Semangatnya telah bangkit. Niat, tekad, dan usahanya cukup untuk menciptakan “keajaiban-keajaiban” baru.
“Saya berpegang teguh, setiap kegagalan itu selalu ada hikmahnya. Yang penting kita bersabar. Tugas kita pula untuk menemukan hikmah yang terkandung di dalamnya. Tidak ada yang jelek buat kita,” tuturnya yang kemudian menularkan seraut senyum mengembang dari wajah saya.
“Ya, saya semakin percaya pada keajaiban-keajaiban yang bisa kita ciptakan dari tekad dan usaha yang kuat,” saya membenarkan ucapan teman saya yang juga termasuk salah satu aktivis Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) Makassar itu.
The point is…. Poin penting pada ayat (AlQuran) tersebut, di dalam setiap kesulitan ada kemudahan. Bukan malah setelah kesulitan baru ada kemudahan. Tidak! Tetapi, di setiap kesulitan yang datang menghadang, Tuhan telah menyediakan (jawaban) kemudahan di dalamnya. Dan kitalah yang seharusnya menemukannya. Bukan malah menunggu setelahnya... Setahu saya sih begitu…
Nah, ternyata Tuhan senantiasa menunjukkan kuasanya pada manusia lewat cara-cara yang tidak pernah kita duga-duga. Sejatinya, Tuhan yang manganugerahkan keajaiban itu. Dinilai dari niat, tekad, dan usaha yang dijalani oleh hamba-Nya. Sebesar dan selapang apa hati seorang manusia, Tuhan selalu tahu bagaimana cara mengukurnya. Keajaiban seperti apa, daalam kuantitas seperti apa. Usaha berbanding lurus dengan keajaibannya, yang berbanding lurus pula dengan hasil yang akan dicapai. Man Jadda Wa Jada!
Keajaiban.... adalah perwujudan dari tekad dan usaha kita. Saya percaya itu.
Semangat dan usaha yang dilakukan oleh teman saya itu patut dicontoh. Mungkin cara-cara "lolos”nya juga bisa dicontoh. #ehh??
Sayangnya, ia masih belum bisa meninggalkan kebiasaan lamanya; playboy. Namun ia mengaku, persoalan pacar, tidak pernah menjadi beban pikiran sekaligus hambatan bagi kuliahnya. Inginnya, saya membenarkannya pula. Tak lupa, ia bahkan tanpa malu-malu memperlihatkan saya coretan-coretan kecil di handphonenya soal kriteria cewek yang harus didapatkannya. Dimulai dari proses koleksi, seleksi, hingga penyisihan dan kriteria lainnya. Ckckckk….. #tepok jidat.
Nyaris saja saya telat menghadiri perkuliahan tadi pagi. Menjelang pukul sepuluh, saya masih bersantai sembari menyeruput “teman” pagi saya, Cappie. Ditemani oleh salah seorang teman yang juga banyak bercerita kepada saya tentang masalah hatinya. Yah, ketika kita bisa berbagi rahasia kepada orang lain, maka orang lain pun akan melakukan hal yang sama dengan kita. Ia bercerita tentang kegundahan-kegundahannya dengan pasangannya. Di samping itu, saya heran, saya yang sebenarnya belum pernah menjalani seperti dia kok saya sok-sok jadi pendengar yang baik ya?? Sementara kan saya mengalami hal yang…ehem…agak "complicated" juga. #eaaa
Akan tetapi, saya tidak ingin bercerita tentang rahasia teman saya itu. Bukan, bukan. Saya ingin bercerita tentang seorang teman lainnya, yang ternyata semakin membenarkan kepercayaan saya terhadap keajaiban Tuhan. Bahwa setiap manusia, bisa menciptakan keajaibannya sendiri. Bahwa keajaiban adalah perwujudan dari tekad dan usaha yang kuat. Tak peduli seberapa sulit dan impossible-nya hal itu.
Adalah hal beruntung ketika saya tak lagi telat masuk kelas pagi. Terhitung lewat beberapa menit saja, maka salah satu dosen saya itu akan mencoret nama saya dari absensinya. Akan tetapi, sungguh tidak beruntungnya saya, mengikuti mata kuliah yang hanya sekadar melihat selintas pemaparan slide-slide yang ditampilkan oleh dosen tersebut. Seperti biasa, jadilah saya“penonton” yang baik. #membosankan
Akan tetapi, saya menemukan pelajaran berharga hari ini. Bukan tentang perkuliahan yang saya jalani di dalam kelas. Lebih dari itu. Saya bertemu kembali dengan salah seorang teman kelas saya (sesama angkatan 2009) yang juga ikut mengulang pada mata kuliah yang sama. Betapa bahagianya saya mempunyai teman senasib-sepenanggungan di mata kuliah ulangan. Hahaha…
Sumber: googling |
“Bayangkan bagaimana sulitnya saya menyelesaikan semuanya. Berulangkali saya konsultasi dengan pembimbing saya,” ia bercerita di tengah-tengah perkuliahan kami. Maklum, saya dan dia mengambil kursi agak belakang sehingga tidak begitu menarik perhatian dosen yang sementara menerangkan materinya.
“Bahkan saya pernah berganti pembimbing. Beruntung pembimbing saya sekarang lebih kooperatif dan mau membantu. Jadinya, meskipun saya masih banyak tuntutan SKS yang belum selesai, saya sudah menyelesaikan Seminar Proposal saya,” lanjutnya.
Ya, setahu saya, siapa saja yang berniat untuk melaksanakan seminar proposal, harus memenuhi jumlah kelulusan SKS minimum. Akan tetapi, dia benar-benar menembus “batas” itu. Tanpa perlu mencukupkan jumlah SKS yang diperlukan. That's true! That’s the point!
Dibandingkan dengan saya, IPK teman saya itu jauh di bawah standar. Mungkin, orang-orang tidak akan percaya tentang dia yang telah melaksanakan langkah awal itu. Namun itulah kenyataannya. Ia benar-benar mampu menembus mitos itu, dan melampaui saya yang hingga kini belum terpikirkan satu judul skripsi pun. :(
Sejujurnya, kalau saya bicara SKRIPSI yang terbayang dalam benak saya adalah ayam KRISPI sedang menari-nari di atas kertas kerja saya. #arghh
Disanalah keajaibannya. Dari cerita yang disampaikannya, tentu dengan bersemangat pula, saya bisa melihat tekad dan usaha yang benar-benar kuat dari dirinya. Ia benar-benar memanfaatkan setiap kesempatan yang dimilikinya. Setiap peluang, ia ambil. Setiap langkah, ia jalankan. Tak kenal menyerah. Jika gagal, ia mencoba lagi. Alhasil, ia bisa menjalani seminar itu lebih dulu ketimbang saya. Bahkan lebih dulu ketimbang menyelesaikan belasan mata kuliahnya yang akan dia ulang di semester-semester berikutnya.
“Pada intinya, setiap saya salah pasti saya perbaiki. Yang penting kita tidak lama-lama terpuruk di kondisi itu. Lagipula pembimbing saya juga yang selalu dorong saya,” lanjutnya lagi.
Saya benar-benar kagum dengannya. Apa yang selama ini dianggap remeh oleh teman-teman saya, bisa dibuktikannya. Ia membuktikan bahwa ia pun bisa menyelesaikan segala tuntutan kuliahnya yang dahulu terbengkalai. Ketika saya melihatnya pun, ia nampak lebih siap untuk menghadapi setiap mata kuliah yang diulanginya. Semangatnya telah bangkit. Niat, tekad, dan usahanya cukup untuk menciptakan “keajaiban-keajaiban” baru.
“Saya berpegang teguh, setiap kegagalan itu selalu ada hikmahnya. Yang penting kita bersabar. Tugas kita pula untuk menemukan hikmah yang terkandung di dalamnya. Tidak ada yang jelek buat kita,” tuturnya yang kemudian menularkan seraut senyum mengembang dari wajah saya.
“Ya, saya semakin percaya pada keajaiban-keajaiban yang bisa kita ciptakan dari tekad dan usaha yang kuat,” saya membenarkan ucapan teman saya yang juga termasuk salah satu aktivis Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) Makassar itu.
Fa Inaa ma’al usri yusra, inna ma’al usri yusra.
---Sesungguhnya bersama kesulitan ada kemudahan, bersama kesulitan ada kemudahan---
The point is…. Poin penting pada ayat (AlQuran) tersebut, di dalam setiap kesulitan ada kemudahan. Bukan malah setelah kesulitan baru ada kemudahan. Tidak! Tetapi, di setiap kesulitan yang datang menghadang, Tuhan telah menyediakan (jawaban) kemudahan di dalamnya. Dan kitalah yang seharusnya menemukannya. Bukan malah menunggu setelahnya... Setahu saya sih begitu…
Nah, ternyata Tuhan senantiasa menunjukkan kuasanya pada manusia lewat cara-cara yang tidak pernah kita duga-duga. Sejatinya, Tuhan yang manganugerahkan keajaiban itu. Dinilai dari niat, tekad, dan usaha yang dijalani oleh hamba-Nya. Sebesar dan selapang apa hati seorang manusia, Tuhan selalu tahu bagaimana cara mengukurnya. Keajaiban seperti apa, daalam kuantitas seperti apa. Usaha berbanding lurus dengan keajaibannya, yang berbanding lurus pula dengan hasil yang akan dicapai. Man Jadda Wa Jada!
Keajaiban.... adalah perwujudan dari tekad dan usaha kita. Saya percaya itu.
Semangat dan usaha yang dilakukan oleh teman saya itu patut dicontoh. Mungkin cara-cara "lolos”nya juga bisa dicontoh. #ehh??
Sayangnya, ia masih belum bisa meninggalkan kebiasaan lamanya; playboy. Namun ia mengaku, persoalan pacar, tidak pernah menjadi beban pikiran sekaligus hambatan bagi kuliahnya. Inginnya, saya membenarkannya pula. Tak lupa, ia bahkan tanpa malu-malu memperlihatkan saya coretan-coretan kecil di handphonenya soal kriteria cewek yang harus didapatkannya. Dimulai dari proses koleksi, seleksi, hingga penyisihan dan kriteria lainnya. Ckckckk….. #tepok jidat.
--Imam Rahmanto--
0 comments