Masa Depan itu Dirahasiakan
Oktober 16, 2013Baca Juga
Lagi, saya telat merapal doa di kala mentari tepat beranjak dari persembunyiannya. Saya baru terjaga menjelang pukul setengah tujuh pagi.
Sebenarnya sedari pukul lima pagi saya telah bangun dan merasakan hawa-hawa sejuk di sekitar saya. Hanya saja, yang namanya malas selalu saja memiliki muatan lebih besar ketimbang mata membuka kelopaknya. Apalagi ketika saya tak punya motivasi apa-apa lagi untuk bangun di waktu sepagi itu…
Saya tak ingin mengingat hal-hal yang akan membuat saya terpuruk. Karena itu sebenar-benarnya luka; membiarkannya bersarang dalam hati.
“Hei, bangun! Belum shalat Subuh, kan?” ujar salah seorang kakak senior mengingatkan saya. Ia sejak semalam belum terlelap. Menjadi kebiasaannya, begadang hingga pagi. Mengganti waktu tidurnya di siang hari. Baru terbangun ketika ia akan beranjak kerja. Sungguh kebiasaan yang buruk.
Ah ya, menjadi kebiasaan buruk pula bagi saya tak lagi bangun di subuh hari. Padahal, sebelumnya saya selalu menghabiskan sisa peraduan malam dengan berjalan-jalan di pagi hari. Yah, saya terbiasa meniti jalan raya yang masih lengang dari arus kendaraan. Sunyi. Hanya nampak satu dua orang maupun kendaraan yang melintas mengejar waktunya di pagi hari. Saya selalu menyukainya.
Saya ingat, kemarin adalah perayaan Idul Adha. Ia berlalu. Berlalu begitu saja. Yang tertinggalkan hanya rasa-rasa daging dan makanan yang menjadi suguhan teman-teman saya di rumahnya masing-masing. Maklum, saya dan beberapa teman-teman yang lainnya memutuskan beranjangsana, kemarin. Hanya dua rumah. Dan jaraknya, ckckck….ditempuh seharian.
Tak butuh waktu lama, saya menyeduh cappuccino yang menjadi teman di pagi ini…
***
Apa yang kita ketahui tentang orang lain belum tentu sepenuhnya benar. Kita tak akan pernah benar-benar bisa memahami orang lain jika kita belum menjadi orang itu. Segala prasangka-prasangka kita bercampur baur dan menyimpulkan tentang orang lain. Seorang Psikolog sekalipun belum tentu tahu secara pasti bagaimana kepribadian objeknya.
Beberapa hari yang lalu, saya sempat mempertaruhkan perasaan saya. Yah, benar-benar mempertaruhkan semuanya. Hehe… saya, yang sejak dulu tidak pernah tahu cara mengungkapkan yang benar, hanya berusaha menjawab ketidakpastian itu sejujur-jujurnya.
Sebenarnya, jikalau boleh memilih, saya tak pernah ingin menyampaikan sesuatu yang menurut saya benar-benar penting hanya lewat tulisan. Sehebat-hebatnya seseorang dalam menulis, butuh keberanian lebih hebat lagi untuk berkata lisan di depan orang lain tentang sesuatu yang ingin dituliskannya, di samping butuh keberanian hanya sekadar memandang wajahnya…
Saya agak menyesal menyampaikan kejujuran itu. Jika saja tak menyampaikannya bisa tetap membuat saya dalam ketidakpastian dan membuat saya leluasa untuk terus bergerak, saya lebih memilih demikian. Ketidakpastian itu, membuat saya terus berusaha meski sebatas menduga-duga. Ketidakpastian itu membuat saya terus berusaha untuk memperoleh apa yang saya harapkan tanpa perlu diracuni praduga-praduga atas usaha itu.
Ibarat masa depan. Mengapa Tuhan memilih untuk tidak memperlihatkan masa depan tiap manusia? Karena Tuhan menginginkan agar setiap manusia berusaha di jalannya masing-masing dengan perkiraan terbaik yang mampu diimajinasikannya.
Seandainya saja kita diizinkan Tuhan untuk melihatnya, baik atau buruk, maka kita akan menjadi manusia yang hanya terpaku pada masa depan itu. Kita takkan pernah menghargai proses yang kita jalani.
Ketika masa depan yang diperlihatkan baik, kita menjadi manusia yang pongah. “Masa depan saya baik. Saya tidak perlu melakukan usaha terlalu keras,”
Ketika masa depan kita nampak buruk, maka setiap usaha kita akan selalu terbayang hasilnya, “Saya melakukan ini pun tidak ada hasilnya. Toh, hasilnya sudah ketahuan buruk.” Secara tak langsung, kita akan menjadi manusia yang minim usaha. Jikalaupun kita ingin berusaha keras, hasil akhir itu akan terus menghantui semangat kita.
Biarkan saja berlalu. Saya tidak ingin menjadi orang yang benar-benar menyakiti diri sendiri dengan memendam luka. Kesabaran itu, saya akan memilikinya sebanyak yang dibutuhkan. Hingga kini, saya telah banyak belajar dari segala hal yang berlaku dalam hidup saya. Meskipun, saya sadar, jawaban di akhir itu adalah pertanda jika saya mungkin bukan orang yang tepat buatnya.
“Dalam cinta, jangan menunggu orang yg tepat menghampiri hidupmu. Lebih baik jadilah orang yg tepat yg menhampiri hidup seseorang.eaeaaaeaeaaea,,,,,”
Saya meng-copy-nya langsung dari inbox akun sosmed milik saya. Lama terpendam dalam inbox itu, saya mengacuhkannya. Saya tak pernah menyangka, seorang remaja laki-laki yang agak acuh sepertinya langsung mengirimi saya ungkapan demikian. Akan tetapi, saya hanya bisa tersenyum-senyum melihat tingkah mereka. Ah ya, benar-benar tersenyum setulusnya untuk mereka. Bahkan ketika menampilkan inipun saya masih puas tersenyum-senyum sendiri mengingat-ingatnya.
Hmm…untuk seorang adik yang pernah berbagi pelajaran di sekolah, saya benar-benar menghargai ucapan kala itu. Terima kasih atas semangatnya. Kita seharusnya sadar bahwa rumus kehidupan selalu tak pasti ketika kita tak tahu seperti apa masa depan atau hasilnya. Kadang harapan berbanding lurus dengan kenyataan. Namun, bersiaplah untuk menemukan kemungkinan bahwa kerap kali harapan akan berbanding terbalik dengan kenyataan.
Albert Einstein yang seorang ilmuwan pun pernah mengatakan,
“Gravitation is not responsible for people falling in love”
Benar. Bahkan gravitasi pun tak berlaku, maka saya tak mungkin memaksakannya juga, kan? Namanya hati tak bisa dipaksakan. Apalagi ketika kita sadar tak ada hal-hal yang pantas dipaksakan dari diri sendiri. Ketika seorang wanita benar-benar mengerahkan seluruh perasaannya untuk berpikir, berpikir, dan terus berpikir. Laki-laki takkan bisa memaksakannya dengan logika. Sedikitnya, butuh waktu untuk mencerna. Perlahan...
Segalanya, yang berlaku di dunia ini adalah atas usaha kita. Kita yang membangun takdir kita. Kuasa Tuhan yang mengarahkannya. We can create our own detiny. Oleh sebab itu, Tuhan berlaku adil dengan tidak memperlihatkan masa depan setiap manusia. Tuhan berharap, manusia mampu belajar untuk menjadi lebih baik. Berimajinasi bahwa hasilnya selalu baik untuknya. Berusaha semaksimal mungkin. Kalau jatuh, maka bangkit berdiri. Sekali lagi, kita bisa membentuk takdir kita sendiri.
Nah, apapun yang telah terjadi, saya hanya bisa belajar. Sejatinya belajar menjadi lebih baik.
“Learn from yesterday, live for today, hope for tomorrow. The important thing is not to stop questioning” – Albert Einstein.
***
Beberapa kali melihat semangat seorang teman saya, yang juga akhirnya mulai menenggelamkan diri dalam beberapa tulisannya, membuat saya terpacu untuk mengisi “rumah” lagi. Sayangnya, teman saya itu memulainya tepat ketika hati yang dicintainya memutuskan untuk pergi dari kehidupannya… *sungguh tragis. Haha...peace! ^_^.V
Sebenarnya sedari pukul lima pagi saya telah bangun dan merasakan hawa-hawa sejuk di sekitar saya. Hanya saja, yang namanya malas selalu saja memiliki muatan lebih besar ketimbang mata membuka kelopaknya. Apalagi ketika saya tak punya motivasi apa-apa lagi untuk bangun di waktu sepagi itu…
Saya tak ingin mengingat hal-hal yang akan membuat saya terpuruk. Karena itu sebenar-benarnya luka; membiarkannya bersarang dalam hati.
“Hei, bangun! Belum shalat Subuh, kan?” ujar salah seorang kakak senior mengingatkan saya. Ia sejak semalam belum terlelap. Menjadi kebiasaannya, begadang hingga pagi. Mengganti waktu tidurnya di siang hari. Baru terbangun ketika ia akan beranjak kerja. Sungguh kebiasaan yang buruk.
Ah ya, menjadi kebiasaan buruk pula bagi saya tak lagi bangun di subuh hari. Padahal, sebelumnya saya selalu menghabiskan sisa peraduan malam dengan berjalan-jalan di pagi hari. Yah, saya terbiasa meniti jalan raya yang masih lengang dari arus kendaraan. Sunyi. Hanya nampak satu dua orang maupun kendaraan yang melintas mengejar waktunya di pagi hari. Saya selalu menyukainya.
Saya ingat, kemarin adalah perayaan Idul Adha. Ia berlalu. Berlalu begitu saja. Yang tertinggalkan hanya rasa-rasa daging dan makanan yang menjadi suguhan teman-teman saya di rumahnya masing-masing. Maklum, saya dan beberapa teman-teman yang lainnya memutuskan beranjangsana, kemarin. Hanya dua rumah. Dan jaraknya, ckckck….ditempuh seharian.
Tak butuh waktu lama, saya menyeduh cappuccino yang menjadi teman di pagi ini…
***
Apa yang kita ketahui tentang orang lain belum tentu sepenuhnya benar. Kita tak akan pernah benar-benar bisa memahami orang lain jika kita belum menjadi orang itu. Segala prasangka-prasangka kita bercampur baur dan menyimpulkan tentang orang lain. Seorang Psikolog sekalipun belum tentu tahu secara pasti bagaimana kepribadian objeknya.
#menghela napas
Beberapa hari yang lalu, saya sempat mempertaruhkan perasaan saya. Yah, benar-benar mempertaruhkan semuanya. Hehe… saya, yang sejak dulu tidak pernah tahu cara mengungkapkan yang benar, hanya berusaha menjawab ketidakpastian itu sejujur-jujurnya.
Sebenarnya, jikalau boleh memilih, saya tak pernah ingin menyampaikan sesuatu yang menurut saya benar-benar penting hanya lewat tulisan. Sehebat-hebatnya seseorang dalam menulis, butuh keberanian lebih hebat lagi untuk berkata lisan di depan orang lain tentang sesuatu yang ingin dituliskannya, di samping butuh keberanian hanya sekadar memandang wajahnya…
Saya agak menyesal menyampaikan kejujuran itu. Jika saja tak menyampaikannya bisa tetap membuat saya dalam ketidakpastian dan membuat saya leluasa untuk terus bergerak, saya lebih memilih demikian. Ketidakpastian itu, membuat saya terus berusaha meski sebatas menduga-duga. Ketidakpastian itu membuat saya terus berusaha untuk memperoleh apa yang saya harapkan tanpa perlu diracuni praduga-praduga atas usaha itu.
Ibarat masa depan. Mengapa Tuhan memilih untuk tidak memperlihatkan masa depan tiap manusia? Karena Tuhan menginginkan agar setiap manusia berusaha di jalannya masing-masing dengan perkiraan terbaik yang mampu diimajinasikannya.
Seandainya saja kita diizinkan Tuhan untuk melihatnya, baik atau buruk, maka kita akan menjadi manusia yang hanya terpaku pada masa depan itu. Kita takkan pernah menghargai proses yang kita jalani.
Ketika masa depan yang diperlihatkan baik, kita menjadi manusia yang pongah. “Masa depan saya baik. Saya tidak perlu melakukan usaha terlalu keras,”
Ketika masa depan kita nampak buruk, maka setiap usaha kita akan selalu terbayang hasilnya, “Saya melakukan ini pun tidak ada hasilnya. Toh, hasilnya sudah ketahuan buruk.” Secara tak langsung, kita akan menjadi manusia yang minim usaha. Jikalaupun kita ingin berusaha keras, hasil akhir itu akan terus menghantui semangat kita.
Biarkan saja berlalu. Saya tidak ingin menjadi orang yang benar-benar menyakiti diri sendiri dengan memendam luka. Kesabaran itu, saya akan memilikinya sebanyak yang dibutuhkan. Hingga kini, saya telah banyak belajar dari segala hal yang berlaku dalam hidup saya. Meskipun, saya sadar, jawaban di akhir itu adalah pertanda jika saya mungkin bukan orang yang tepat buatnya.
“Dalam cinta, jangan menunggu orang yg tepat menghampiri hidupmu. Lebih baik jadilah orang yg tepat yg menhampiri hidup seseorang.eaeaaaeaeaaea,,,,,”
Saya meng-copy-nya langsung dari inbox akun sosmed milik saya. Lama terpendam dalam inbox itu, saya mengacuhkannya. Saya tak pernah menyangka, seorang remaja laki-laki yang agak acuh sepertinya langsung mengirimi saya ungkapan demikian. Akan tetapi, saya hanya bisa tersenyum-senyum melihat tingkah mereka. Ah ya, benar-benar tersenyum setulusnya untuk mereka. Bahkan ketika menampilkan inipun saya masih puas tersenyum-senyum sendiri mengingat-ingatnya.
Hmm…untuk seorang adik yang pernah berbagi pelajaran di sekolah, saya benar-benar menghargai ucapan kala itu. Terima kasih atas semangatnya. Kita seharusnya sadar bahwa rumus kehidupan selalu tak pasti ketika kita tak tahu seperti apa masa depan atau hasilnya. Kadang harapan berbanding lurus dengan kenyataan. Namun, bersiaplah untuk menemukan kemungkinan bahwa kerap kali harapan akan berbanding terbalik dengan kenyataan.
Albert Einstein yang seorang ilmuwan pun pernah mengatakan,
“Gravitation is not responsible for people falling in love”
Benar. Bahkan gravitasi pun tak berlaku, maka saya tak mungkin memaksakannya juga, kan? Namanya hati tak bisa dipaksakan. Apalagi ketika kita sadar tak ada hal-hal yang pantas dipaksakan dari diri sendiri. Ketika seorang wanita benar-benar mengerahkan seluruh perasaannya untuk berpikir, berpikir, dan terus berpikir. Laki-laki takkan bisa memaksakannya dengan logika. Sedikitnya, butuh waktu untuk mencerna. Perlahan...
Segalanya, yang berlaku di dunia ini adalah atas usaha kita. Kita yang membangun takdir kita. Kuasa Tuhan yang mengarahkannya. We can create our own detiny. Oleh sebab itu, Tuhan berlaku adil dengan tidak memperlihatkan masa depan setiap manusia. Tuhan berharap, manusia mampu belajar untuk menjadi lebih baik. Berimajinasi bahwa hasilnya selalu baik untuknya. Berusaha semaksimal mungkin. Kalau jatuh, maka bangkit berdiri. Sekali lagi, kita bisa membentuk takdir kita sendiri.
Nah, apapun yang telah terjadi, saya hanya bisa belajar. Sejatinya belajar menjadi lebih baik.
“Learn from yesterday, live for today, hope for tomorrow. The important thing is not to stop questioning” – Albert Einstein.
***
Beberapa kali melihat semangat seorang teman saya, yang juga akhirnya mulai menenggelamkan diri dalam beberapa tulisannya, membuat saya terpacu untuk mengisi “rumah” lagi. Sayangnya, teman saya itu memulainya tepat ketika hati yang dicintainya memutuskan untuk pergi dari kehidupannya… *sungguh tragis. Haha...peace! ^_^.V
--Imam Rahmanto--
0 comments