Seberapa Besar Kita Menghargai Janji itu?

Oktober 09, 2013

Baca Juga

“Kalau saya sedang tidak enak mood atau kehilangan semangat, maka saya memutuskan membaca sekumpulan kertas ‘cita-cita dan impian’ yang saya kumpulkan dari kalian. Setidaknya, saya harus lebih baik dari cita-cita yang tak malu-malu kalian tuliskan untuk saya,” #super_serius

***

Beberapa waktu lalu, saya hendak menyelesaikan tugas akhir dari Program Pengalaman Lapangan (PPL). Tahu sendirilah, khasnya dari tugas akhir itu seperti apa. Yeah, laporan yang tebalnya nyaris mengalahkan ketebalan novel-novel yang seringkali saya baca. Ribetnya lagi, saya harus bolak-balik mengumpulkan tanda tangan sebagai salah satu persyaratannya.

Meskipun “pengabdian” saya di tanah KKN dan PPL telah berakhir, namun masih saja ada kerinduan yang membuncah. Akhirnya, saya berkesempatan untuk bersua kembali dengan nuansa SMAN 2 Pangkajene yang menjadi “teaching area” saya tempo hari. Especially, my happily class, Aljabar and Einstein! #prok-prok!! Di samping saya harus menyiapkan paper yang super tebal semalaman suntuk, beberapa pemberitahuan dari adik-adik siswa disana sudah menumpuk perihal kedatangan kami.

Hm…adalah hal wajar ketika masa-masa “labil” seperti mereka begitu antusias dengan kehadiran kami, mahasiswa-mahasiswa yang sebelumnya telah menjadi guru sementara mereka. Bahkan, lebih parahnya lagi, seorang teman saya mendapatkan penghargaan “hall of fame” sebagai  kakak ter-cakep (ceilahh) di mata mereka. Tak tanggung-tanggung, sebuah fans-grup facebook nyaris dibuat oleh mereka. Ckck…saya tak habis pikir, jiwa labil mereka masih menggebu-gebu.

Akan tetapi, seyogyanya, se”labil” apapun tingkah mereka, bukan menjadi satu alasan untuk menganggap setiap ucapan atau omongan mereka adalah basa-basi semata. Siapapun di dunia ini; anak kecil-orang dewasa, tua-muda, laki-laki -perempuan, pandai-terbelakang, pantas untuk memperoleh perhatian dan penghargaan dari kita. Bahkan, untuk setiap janji yang kita ucap pada keterbukaan hati mereka…

Yah, saya baru-baru saja menanggung beban “dosa” atas pengharapan mereka. Ucapan-ucapan kami yang menyiratkan perihal kedatangan kami di sekolah mereka, menjadi pengharapan bagi mereka untuk pertemuan kembali. Dan mungkin, sedikit kejutan yang telah lama mereka persiapkan. Saya tak mungkin menyangkalnya, ada beberapa orang teman saya yang kehadirannya begitu dibutuhkan di sekolah itu. Dielu-elukan malah. Namun, kenyataannya, hal itu tidak menjadi motivasi bagi mereka untuk memenuhi setiap janji yang telah mereka bangun sendiri.

Ketika pengharapan mereka sirna atas “kuasa” kami sebagai mahasiswa dan si pembuat janji. Bukan hanya sekali, melainkan beberapa kali.

“Kenapa tidak datang, Kak?”

Dan betapa mudahnya saya menyaksikan kalimat-kalimat pembelaan meluncur dari mulut kami.

“Gampang. Bilang saja pada mereka seperti biasa. Pasti mereka mengerti, kok,” ujar salah seorang teman saya, ketika untuk ke sekian kalinya kami batal melakukan perjalanan kesana.



Bagaimana ketika janji itu dilanggar? Saya tak pernah tahu, hukuman apa yang akan menimpa. Atau dosa sebesar apa yang akan menjadi tanggungan kita, meskipun itu sebatas berjanji pada anak-anak kecil. Mungkin, sebagian dari kami menganggap mereka adalah anak kecil, yang masih belum banyak tahu apa-apa tentang kehidupan. Masih sebatas remaja yang belum mengenal seperti apa kesibukan-kesibukan orang dewasa. Namun, saya tetap ingin menghargai setiap ucapan yang telah saya rapalkan dari mulut saya.

Mungkin bagi orang lain, hal seperti itu, adalah hal-hal sepele. Hal-hal yang bisa ditinjau berulang-ulang kali. Akan tetapi, bagi saya, kepada siapapun kita mengucapkan janji, kewajiban kita untuk memenuhinya. Bukan soal kita menepatinya atau tidak, melainkan jauh lebih penting pertanggungjawaban kita kepada Sang Maha Pencipta. Setiap ucapan adalah doa, bukan?

Janji, seperti apapun bentuknya, kepada siapapun ditujukan, menjadi suatu kewajiban untuk dipenuhi. Tuhan menilainya. Setiap sikap dan perbuatan kita, Tuhan mengonversinya. Secara Matematis, malaikat-malaikat disana menghitungnya. Menjumlahkan, mengurangkan, mengalikannya. Untuk suatu saat nanti, setiap sikap dan perbuatan yang telah dihitung itu akan kembali kepada kita. The Law of Atrraction.

“Promise ya, Kak…” sedikit pesan singkat yang benar-benar menggugah hati saya. Bukan tanpa alasan pesan itu muncul di layar handphone saya. Beberapa pengharapan dari mereka yang sebelumnya telah dilanggar menjadi “bad effects” bagi mereka. Tidak salah ketika mereka meminta kepastiannya.

Hai, kepada kalian yang telah memenuhi kepalanya dengan pengharapan atas kedatangan kami. Maafkan atas waktu yang sebenarnya berharga bagi kalian. Penantian yang sebenarnya kalian harapkan. Mm…sungguh, tak ada maksud mempermainkan setiap pengharapan kalian. Hanya, saya sebatas orang biasa yang tak punya kekuasaan apa-apa. Terkadang, mengikuti apa yang menjadi kemauan orang banyak menutup setiap inisiatif-inisiatif yang sebenarnya ingin kita jalani lebih baik. Tak peduli benar atau salah.

Hari itu, saya sadar bahwa sesungguhnya kepedulian kita terhadap perjalanan hidup ini dinilai dari seberapa jauh kita mampu menghargai setiap hal yang pernah kita singgahi. Orang. Benda. Pengalaman. Perasaan. Waktu. Ilmu. Seremeh-temeh apapun, selalu ada bagian-bagian terpenting untuk kita memetik pelajaran. Selalu.

Terima kasih atas hadiahnya. Saya menyukai kalian menuliskannya. Mungkin, kelak kalian akan
berkirim surat saja, ya? :D




--Imam Rahmanto--

Ps: Dan pagi ini, lagi, saya lupa atas janji kecil yang saya buat...

You Might Also Like

0 comments