Bukan Pandangan Pertama
Oktober 11, 2013Baca Juga
Saya tidak pernah begitu percaya dengan cinta pada pandangan pertama. Kenapa? Karena terkadang perasaan itu berbohong. Sejatinya, hanya sebatas perasaan suka semata. Kita menganggap indah di awalnya, tanpa menyadari segala hal yang bersembunyi di belakangnya. Katanya, pandangan pertama itu nikmat, namun pandangan kedua itu syahwat. Mungkin saja, atas dasar itu, orang-orang ngotot untuk mempertahankan “pandangan pertama” mereka. Ngotot berkata, “Love is blind”.
Pandangan pertama terkadang menghanyutkan. Nyaris 100 persen orang yang jatuh cinta pada pandangan pertama hanya melihat rasa “suka” itu dari sisi “cover” saja alias penampilan. Ketika laki-laki itu berwajah ganteng, atau perempuan itu berwajah cantik, lantas orang-orang akan membenarkan dirinya untuk “jatuh cinta pada pandangan pertama”. Padahal mereka sendiri belum banyak mengubek-ubek isi dari “cover” itu seperti apa.
Saya tidak pernah begitu percaya dengan cinta pada pandangan pertama. Ketika melihat seseorang pertama kalinya, adalah hal wajar kita mengatakan, “Dia cantik,” atau “Dia manis,” atau, “Dia ganteng”. Pun wajar ketika kita langsung suka. Benar-benar suka. Akan tetapi, keliru ketika kita menyimpulkan perasaan suka itu menjadi “cinta”. Sebenarnya, ketika orang menyamakannya, apa kita sadar perbedaan antara “suka” dengan “cinta”?
Nah, perasaan-perasaan suka itulah yang kemudian mendorong kita untuk mendalami sisi lain orang itu. Entah pada akhirnya kita akan bertambah suka, atau kemudian ilfeel alias kehilangan perasaan itu. Karena pada dasarnya, memang, untuk membangun perasaan suka menjadi sayang menjadi cinta itu harus melalui banyak tahap. Saya tidak mengerti seberapa panjang tahap itu. Seberapa lama menanti waktu yang tepat…
Masih percayakah kita dengan “pandangan pertama” itu? Ayolah, tidak baik menilai segala hal itu dari pertama kali kita melihatnya. Sama halnya menilai orang lain itu pendiam ketika kita baru pertama kali bertemu dengannya. Padahal, ia akan banyak bicara ketika sudah berkumpul dengan orang-orang terdekatnya. Atau ketika kita menilai orang lain buruk hanya karena ia tak pernah menanggapi kita. Padahal mereka adalah orang-orang introvert, yang hanya bisa terbuka dengan orang-orang yang begitu dikenalnya. Come on, ada banyak hal dan orang di dunia ini yang sesungguhnya belum kita pahami secara jelas tanpa kita mau mendalaminya.
“Witing trisno jalaran soko kulino,” sedikit kalimat yang selalu terngiang-ngiang di kepala saya. Cinta tumbuh karena terbiasa. Mungkin hal yang berulang berlaku pada kehidupan saya…
Komitmen bisa terjalin ketika orang-orang sudah mengenal satu sama lain. Mungkin dalam waktu yang lama. Dalam intensitas yang tak sedikit pula. Buruk atau baik. Baik atau buruk. Perasaan yang sesungguhnya baru bisa dibangun dari sana; dari kebiasaan.
Saya memahami, bahwa perasaan sayang atau bahkan cinta itu tidak bisa terbangun secara instan melalui pandangan pertama. Orang tua kita tak pernah menyayangi kita dari pandangan pertamanya, bukan? Melainkan kebiasaan mereka menjaga kita dari masa ke masa. Tak peduli seberapa bandelnya kita. Tak peduli seberapa durhakanya kita, mereka selalu menjaga perasaannya buat kita. Karena kasih sayang orang tualah yang paling sejati…
Dan saya harus menerima, terkadang keyakinan tidak berbanding lurus dengan pengharapan… Mungkin, berbanding sangat terbalik malah… Atas dasar itulah, Tuhan selalu mengajarkan saya untuk belajar menerima dan perlahan melupakan.....
Pandangan pertama terkadang menghanyutkan. Nyaris 100 persen orang yang jatuh cinta pada pandangan pertama hanya melihat rasa “suka” itu dari sisi “cover” saja alias penampilan. Ketika laki-laki itu berwajah ganteng, atau perempuan itu berwajah cantik, lantas orang-orang akan membenarkan dirinya untuk “jatuh cinta pada pandangan pertama”. Padahal mereka sendiri belum banyak mengubek-ubek isi dari “cover” itu seperti apa.
Saya tidak pernah begitu percaya dengan cinta pada pandangan pertama. Ketika melihat seseorang pertama kalinya, adalah hal wajar kita mengatakan, “Dia cantik,” atau “Dia manis,” atau, “Dia ganteng”. Pun wajar ketika kita langsung suka. Benar-benar suka. Akan tetapi, keliru ketika kita menyimpulkan perasaan suka itu menjadi “cinta”. Sebenarnya, ketika orang menyamakannya, apa kita sadar perbedaan antara “suka” dengan “cinta”?
Nah, perasaan-perasaan suka itulah yang kemudian mendorong kita untuk mendalami sisi lain orang itu. Entah pada akhirnya kita akan bertambah suka, atau kemudian ilfeel alias kehilangan perasaan itu. Karena pada dasarnya, memang, untuk membangun perasaan suka menjadi sayang menjadi cinta itu harus melalui banyak tahap. Saya tidak mengerti seberapa panjang tahap itu. Seberapa lama menanti waktu yang tepat…
Masih percayakah kita dengan “pandangan pertama” itu? Ayolah, tidak baik menilai segala hal itu dari pertama kali kita melihatnya. Sama halnya menilai orang lain itu pendiam ketika kita baru pertama kali bertemu dengannya. Padahal, ia akan banyak bicara ketika sudah berkumpul dengan orang-orang terdekatnya. Atau ketika kita menilai orang lain buruk hanya karena ia tak pernah menanggapi kita. Padahal mereka adalah orang-orang introvert, yang hanya bisa terbuka dengan orang-orang yang begitu dikenalnya. Come on, ada banyak hal dan orang di dunia ini yang sesungguhnya belum kita pahami secara jelas tanpa kita mau mendalaminya.
“Witing trisno jalaran soko kulino,” sedikit kalimat yang selalu terngiang-ngiang di kepala saya. Cinta tumbuh karena terbiasa. Mungkin hal yang berulang berlaku pada kehidupan saya…
Komitmen bisa terjalin ketika orang-orang sudah mengenal satu sama lain. Mungkin dalam waktu yang lama. Dalam intensitas yang tak sedikit pula. Buruk atau baik. Baik atau buruk. Perasaan yang sesungguhnya baru bisa dibangun dari sana; dari kebiasaan.
Saya memahami, bahwa perasaan sayang atau bahkan cinta itu tidak bisa terbangun secara instan melalui pandangan pertama. Orang tua kita tak pernah menyayangi kita dari pandangan pertamanya, bukan? Melainkan kebiasaan mereka menjaga kita dari masa ke masa. Tak peduli seberapa bandelnya kita. Tak peduli seberapa durhakanya kita, mereka selalu menjaga perasaannya buat kita. Karena kasih sayang orang tualah yang paling sejati…
(Sumber: googling) |
Dan saya harus menerima, terkadang keyakinan tidak berbanding lurus dengan pengharapan… Mungkin, berbanding sangat terbalik malah… Atas dasar itulah, Tuhan selalu mengajarkan saya untuk belajar menerima dan perlahan melupakan.....
--Imam Rahmanto--
0 comments