Kontradiktif Optimis - Pesimis

Juni 01, 2013

Baca Juga


"Langkah pertama kalau kita merencanakan sesuatu yang besar, adalah merumuskan ide,"

Saya mengutipnya dari seorang arsitek yang beberapa waktu lalu menyempatkan diri untuk menjadi narasumber saya. Tak hanya itu, ia pun banyak berdiskusi masalah lainnya di luar konteks liputan dengan saya, seorang teman saya, dan juga dua orang petinggi lainnya, yang mana menjadi pimpinan kami.

Saya cukup senang berbincang dengannya. Bukan karena ia juga mengaku berasal dari Surabaya, kedekatan sisi suku dengan saya, melainkan karena pembawaannya yang sangat lugas, terbuka, rendah hati dan selalu optimis.

Optimis. Ya, hal itu yang mesti saya garis bawahi. Saya malah perlu mencontoh pemikirannya yang cenderung optimis tanpa meninggalkan sisi-sisi kemanusiaannya. Apalagi, dialah salah satu pencetus konsep "hijau" di salah satu pengembang perumahan di Makassar.

"Masterplan pertama, tanah yang kita miliki hanya seluas 39 hektar. Akan tetapi, salah jika kita hanya memikirkan akan membangun seluas tanah itu. Kita harus sedari dini memikirkan lebih luas dari itu. Dan kala itu, saya optimis dan merancangnya seluas 300 hektar lebih," ujarnya santun. Menurutnya, ilmu yang dipelajarinya pun mencontohkan demikian. Dan nyatanya, apa yang dicita-citakannya, diimpikannya dulu, yang menurut sebagian besar orang "tidak mungkin", terealisasi hingga hari ini.

Akan tetapi, hal yang kontras saya temukan di malam harinya, hanya berselang enam jam. Tidak pada ranah peliputan saya.

Seorang teman saya, justru beralih menjadi orang yang pesimistis. Saya pada hari itu merasa dihadapkan pada dua hal yang kontradiktif, sekaligus. Sangat pesimistis malah. Baginya, semua orang tak lagi menyukainya. Membencinya. Ia merasa, setiap waktu harus menjadi orang lain untuk menutupi kegelisahannya itu.

"Saya merasa semua orang disana membenci saya. Saya tidak tahu kenapa. Tidak satu pun yang baik pada saya. Bahkan, orang yang dulu selalu dekat dengan saya mulai menjauhi saya...." ungkapnya.

Segalanya ia anggap "momok" yang membencinya. Pandangannya seolah-olah menjadikan dunia ini betul-betul tidak bersahabat dengannya. Akibatnya, ia jatuh. Ia merasa tak kuat lagi. Berharap tidak akan kembali lagi. Seakan-akan tak ada lagi masa depan untuknya.

"Tidak. Itu hanya pandanganmu saja. Sebatas persepsi yang kemudia merefleksikan apa yang kau pikirkan. You are what you think." Apapun yang coba saya katakan pada dasarnya tidak membuatnya lebih baik. Justru membuatnya lebih sakit, dan....menangis

Akh, mengingat kedua hal itu, rasa-rasanya saya (tidak) kebetulan ditunjukkan dua hal yang kontradiktif tersebut. Saya membedakan keduanya. Antara sifat-sifat optimis dan pesimis.

Mereka yang optimis, tentunya berpikiran terbuka. Memandang segala hal di sekelilingnya sebagai hal baik. Jikalaupun tak baik, ia akan menganggapnya sebagai tantangan. Yah, tantangan yang akan meningkatkan levelnya ke tingkat yang lebih tinggi.

Akan tetapi, berbeda halnya dengan orang-orang yang selalu pesimis. Mereka memandang dunia berlaku tak adil pada mereka. Seakan-akan tak ada lagi kesempatan bagi mereka untuk terlihat baik. Segala peluang mereka anggap ancaman. Segala hal tak baik, dianggap penderitaan. Padahal, jikalau saja mereka ingin mengubah sedikit pandangan mereka, maka dunianya pun berubah.

Bagi saya, prinsip "You are what you think" selalu berlaku dimana saja. Selebihnya, biarkan "The Law of Attraction", Hukum Tarik Menarik bekerja untuk kita. Kita positif ke lingkungan = lingkungan positif ke kita.

Hei, engkau yang merasa dirinya tidak lagi dicintai dunia, kita tak bisa menuntut perjalanan hidup kita terangkai dengan sempurna. Karena kita pula yang menjadi ketaksempurnaan itu. Segala hal di sekeliling kita juga (perlu dimaklumi) penuh dengan ketaksempurnaan. Akan tetapi, bukankah kesempurnaan itu sejatinya adalah menerima ketaksempurnaan yang terjadi pada kita?

Segala hal diciptakan Tuhan berpasang-pasangan. Baik, buruk. Hitam, putih. Atas, bawah. Sedih, gembira. Suka, benci. Sempurna, tak sempurna....

Dengan menerima ketaksempurnaan itu sebagai bagian dari "pewarna" hidup kita, saya yakin, bakal membawa kita pada esensi kehidupan yang lebih baik. Kita tersenyum pada dunia, dunia melakukan hal yang sama pada kita. :)

***

*Saya senang, perjalanan saya beberapa minggu ini membawa saya pada beragam karakter individu yang menarik. Setiap individu adalah unikum. Saya pun selalu belajar, belajar dari pengalaman orang lain. Belajar untuk terus hidup...


--Imam Rahmanto--

You Might Also Like

0 comments