Homesick
Juni 15, 2013Baca Juga
Ada hal-hal yang tak pernah terukur oleh mata, ada hal-hal yang tak pernah terukur oleh telinga, namun hal-hal tersebut selalu terukur oleh hati. Ya, hati yang bersih tentunya.
Beberapa waktu yang lalu, saya berniat untuk pulang ke kampung. Tapi, bukan kampung halaman saya. Hanya saja, ayah, ibu, dan adik saya berdomisili disana. Kepulangan itu sekaligus untuk menghadiri pernikahan salah seorang teman SMA saya yang juga menjadi teman sepermainan dan se-geng sejak kami duduk di bangku sekolah dasar.
Akan tetapi, niat yang menggebu-gebu itu mendadak batal oleh telepon dari ayah saya.
“Kalau kamu mau pulang hanya sehari saja seperti itu, mending tidak usah! Buat apa kamu pulang kalau hanya nyetor muka disini. Alasan kangen, sementara di rumah tidak sampai 24 jam lamanya,” tegas ayah saya di seberang sana. Padahal, beberapa hari sebelumnya saya telah mempersiapkan driri untuk pulang. Dan lagi, saya tidak mungkin juga terang-terangan menyampaikan alasan lainnya saya menggebu-gebu untuk pulang; menghadiri pernikahan teman. Toh, mereka disana tentu saja tahu tentang acara tersebut tanpa perlu saya beritahu.
Alasan kangen. Saya mengungkapkannya kepada ayah saya semata-mata karena hal seperti itulah yang kemudian saya rasakan. Nyaris setahun lamanya saya tidak pernah lagi bersua dengan keluarga kecil saya. Jikalaupun sempat, saya hanya bertemu di saat-saat lebaran Idul Adha kemarin. Tentu saja, kesibukan di luar kuliah terkadang menjadi penghalang nomor satu. Ayah saja (memaksa diri) untuk mengerti tentang hal itu. Meskipun, saya tahu, dalam hatinya ia selalu merutuki saya sebagai anak yang tidak punya kedekatan dengan keluarganya.
Sumber: favim.com |
Yah, saya bukanlah seorang anak yang akrab dengan ayahnya. Justru, saya cenderung menghindarinya. Bahkan untuk berlama-lama di rumah sendiri, saya merasa risih, apalagi harus bertatap, duduk bersama - berbicara panjang lebar dengan ayah saya. Dalam benak saya telah terpatri; ayah akan mengomeli saya.
“ Jadi, kamu ndak bisa ikut pulang Jawa di bulan Puasa nanti?” tanya ayah saya lewat telepon suatu waktu kemarin. Saya hanya bisa menggeleng.
“Maaf, Pa’. Aku ndak bisa. Soale aku harus nyelesein KKNku dulu. Dan pasti aku tidak diperbolehkan pulang atas alasan itu,” Sesal di sebagian hati saya. Akan tetapi, entah mengapa, di hati yang lain merasa tenang.
Mungkin, setahun lagi, saya harus berusaha untuk menjadi orang yang kesepian dari keluarga saya. Bukan tak mungkin, jika saya sudah tidak bisa lagi merasakan kedekatan dengan keluarga kecil saya itu. Pengalaman-pengalaman pahit di masa silam, tentang keluarga dan ayah saya, sebagian besar telah menyesak dalam kepala saya. Terlanjur permanen dan takkan bisa dihapus.
Saya teringat tentang buku yang baru saja saya baca. Lontara Rindu. Buku yang berkisah seorang anak bernama Vito yang memiliki saudara kembar Vino. Akan tetapi, kedua orang tuanya telah lama berpisah, dan Vino ikut dengan ayahnya. Cerita yang berlatar salah satu daerah di Sulsel ini banyak menggambarkan bagaimana kerinduan itu benar-benar menyiksa perasaan Vito yang rindu akan sosok ayahnya dan saudara kembarnya. Pengalaman kelam tentang keluarganya, membuat ibunya memendam kebencian yang dalam terhadap ayahnya, namun tidak pada anaknya.
Rindu, bukanlah hal yang mudah diungkapkan begitu saja. Ia tak terukur oleh mata. Tidak sebatas lama tak melihat orang lain berada di sekitar kita. Tak terukur pula oleh telinga. Seolah-olah lama tak mendengar kabar tentang orang lain. Pada dasarnya, rindu itu adalah keinginan hati untuk menyatu lagi. Perasaan itu hanya bisa diukur dengan perasaan lain, yang mungkin kadarnya sama atau malah lebih besar.
Dan rutinitas saya hari ini dan seterusnya, hanyalah pembeku paling setia bagi perasaan itu. Layaknya es, yang bisa mencair dan meleleh kapan saja…
--Imam Rahmanto--
0 comments