Sedekah Itu Bisnis

Mei 23, 2013

Baca Juga

(sumber: google.com)
Salah satu bagian penting yang dituliskan oleh salah seorang kakak senior saya tentang rincian perencanaanya adalah “sedekah”. Ya, saya sedikit terhenti sesaat dari aktivitas membaca. Ada sesuatu yang terbetik di kepala saya yang kemudian membawa pada kata sederhana itu.

Tidak perlu banyak bertanya lagi bagi saya untuk kemudian menyadari alasan peletakan kata itu dalam perencanaan usaha tersebut. Segala potongan-potongan ingatan saya tentang “sedekah” menyatu kemudian membentuk ruangnya tersendiri dalam pemahaman saya.

Dalam banyak buku-buku yang beredar di pasaran, ada banyak yang mengulas keunggulan dari bersedekah itu sendiri, terlebih dari sisi agama Islam. Bahwa sedekah akan semakin memperbanyak harta kita. Dalam Matematika Sedekah pun, setahu saya,tidak berlaku  nilai pengurangan seperti “1 – 1 = 0”, melainkan yang tersusun kemudian adalah “1 – 1 = 2”. Secara kasat mata, uang ataupun barang yang disedekahkan memang berkurang. Akan tetapi, dalam perjalanannya, uang atau barang tersebut menjadi “tabungan” untuk kelipatan rezeki kita kelak.

Saya selalu percaya itu. Siapa pun tentu percaya, apalagi bagi orang-orang yang lebih banyak hidup di lingkungan komunitas maupun organisasi. Pribadi mereka telah ditempa untuk menjadi orang-orang sosial, yang harus peduli dengan orang lain. Kata orang-orang sih, “Mendahulukan kepentingan kelompok dibanding kepentingan pribadi.”

Tahu tidak, setiap perusahaan besar dan berkembang di belahan dunia manapun menerapkan prinsip "sedekah" dalam pengelolaan dan pengembangan usahanya. Tidak peduli umat Islam ataupun bukan. Sedekah sudah menjadi bahasa universal.

Saya seringkali menemukan, perusahaan-perusahaan yang telah berjaya di bidangnya masing-masing membentuk suatu yayasan amal untuk mewadahi dana-dana kemanusiaannya. Dalam bahasa sederhananya, apa yang mereka lakukan adalah sedekah. Dan semakin mereka menyisihkan pendapatan untuk “program sedekah” itu, justru kondisi perusahaan mereka akan semakin membaik. Tengok saja yayasan yang didirikan oleh mantan presiden RI, B.J. Habibie, atau perusahaan-perusahaan yang dipimpin oleh tokoh besar Sulawesi Selatan, Jusuf Kalla yang juga merupakan mantan wakil Presiden RI. Bahkan perusahaan yang dibentuk dari penjualan buku-buku laris luar negeri Chicken Soup for The Souls selalu menyisihkan uang hasil penjualan setiap bukunya ke yayasan-yayasan amal tertentu. Nah, mereka bukan orang Islam, tapi tetap mempercayai hakikat “berbagi” itu.

Saya sendiri mempercayai, entah di sekolah-sekolah ekonomi atau bisnis manapun, prinsip berbagi itu menjadi salah satu strategi pengembangan perusahaan. Apakah itu dipelajari dalam satu mata kuliah tertentu, atau hanya disisipkan, karena saya tidak pernah belajar bisnis. Intinya, ada-ada saja prinsip "sedekah" yang diterapkan oleh perusahaan-perusahaan besar manapun.

Percaya atau tidak, seburuk-buruknya kas keuangan saya akhir-akhir ini, ada saja hal-hal yang kemudian membuatnya menjadi sedikit lebih baik. Sedikit bernapas lega. Se-sengsaranya saya, selalu saja ada jalan yang memudahkan saya untuk kembali bangkit persoalan keuangan. Semelarat-melaratnya saya, saya masih beruntung punya teman-teman sekaligus keluarga yang bisa menjadi lahan untuk berbagi. Benar kata salah seorang senior saya, “Rezeki itu selalu ada. Kita saja yang tidak akan menduga datangnya darimana. Dan salah satu pemancingnya, ya sedekah itu,”

Saya semakin percaya,  setiap sedekah yang dikeluarkan dalam bentuk apapun, akan melipatgandakan tabungan rezeki kita di kemudian hari. Sedekah itu adalah bahasa universal. Berbicaranya tidak hanya lewat uang semata. Malah, di kalangan kami mahasiswa, sedekah dalam bentuk makanan atau sekadar traktiran lebih berharga ketimbang diberikan uang secara langsung. Beneran?? 

“Hei, traktir, dong!” ucapan ringan ini biasanya meluncur begitu saja. Kami tidak meminta uang darimu. Cukup dengan kerelaan hatimu membagi rezeki dengan mengisi perut kami, atau sekadar membuat kami tertawa dengannya. ^_^.

“Percaya saja, akan selalu ada rezeki buat kita,” Yah, saya percaya, kok. Dan selalu percaya! Seringkali pula mengalaminya. Dan ingin selalu mengulanginya…

Bukankah menyenangkan pula melihat senyum sumringah dari orang lain ketika memperoleh "sedekah" kita?

“Satu hal yang biasa diingatkan oleh ibu saya ketika ia menelepon dari kampung; Kalau punya uang, nak bagi-bagi rezekimu untuk orang lain, bersedekahlah, terutama lagi kepada keluargamu disana,” ujar salah seorang teman saya menirukan ucapan ibunya di telepon. Benar! Sangat benar! Saya setuju! Sangat setuju!

Nah, dimulai dari sekarang, kenapa tidak kita menyisihkan beberapa dari hasil pendapatan kita untuk dibagikan kepada orang lain? Tulus. Meskipun sedikit, tapi bakal dilipat selangit.

Kelak, kita akan tahu seberapa banyak Tuhan mengalikan pemberian kita itu untuk dikembalikan kepada kita. Itulah sebenar-benarnya “bank" bagi manusia. Percayalah! Just Believe it!


--Imam Rahmanto-- 

You Might Also Like

0 comments