Berpikir Fokus Lebih

Maret 27, 2013

Baca Juga

Aduh, ini surat yang kesekian kalinya ya, Tuhan? Maaf. Tapi, aku pastikan, kali ini bukan keluhan yang sampai padaMu, melainkan aku ingin bercerita layaknya seorang teman padaMu. Itu menandakan aku masih dekat denganMu.

Tuhan, ada berapa banyak waktu yang Engkau anugerahkan kepada kami, manusia? Menurut perhitungan kami sih 24 jam sehari. Oleh karena itu, sebanyak apapun aktivitas yang kami pilih untuk digeluti, sebanyak itu pula kami harus cerdas membaginya, pandai memilahnya. Bahkan, kalau perlu “licik” mengakali tiap waktu itu.
(google.com)

Aku seringkali merasakannya, Tuhan. Bagaimana ketatnya waktu yang Kau hadiahkan untuk kami. Banyaknya pekerjaan yang harus dijalani dalam sehari terkadang memaksa otakku untuk berpikir lebih dari satu fokus. Ketika aku menjalani aktivitas “A”, aku sedikitnya harus pandai mencuri waktu untuk memikirkan rencana untuk aktivitas “B”. Ketika menjalani yang “B”, kalau ada waktu luang ya berpikir lagi untuk rencana selanjutnya. Pokoknya, sepandai-pandainya tupai melompat, akhirnya aku harus pandai mengatur waktu juga. :)

Aku ingin bercerita, Tuhan…

Seperti pagi ini, ketika aku salah memakai shampoo di kepalaku. Saking kerasnya berpikir hal-hal lain, aku sampai tidak sadar memandikan kepalaku dengan sabun mandi cair yang seharusnya diusapkan di seluruh tubuh. Aku baru menyadari “shampoo asal” itu ketika selesai membilas kepalaku dan sadar sesuatu yang aneh dengan rambutku.

Lha, kok rambutku agak keset ya? Bukannya malah halus,…” gumamku. 

Hahaha…barulah pikiranku kembali pada dunianya sesaat dan mengetahui “shampoo” yang barusan aku gosokkan di kepalaku itu adalah sabun mandi. Konyol! Hahaha….

Akan tetapi, sedikit demi sedikit, aku mulai belajar bagaimana caranya berpikir dan memanfaatkan waktuMu, Tuhan. Seketat-ketatnya waktu yang ku-pola-kan untuk hari-hariku, aku selalu berusaha untuk membaginya dalam ritem-ritme tertentu. Oleh karena itu, tak perlu heran kalau ada banyak pekerjaanku yang dikerjakan secara mepet dan kepepet. Mepet dan kepepet itu yang kemudian mengajarkan kita untuk berpikir secara taktis. Dalam hal lain, mungkin, sedikit “licik” yang kooperatif. Hehe..

Hari ini aku merasakannya. Bagaimana Engkau memudahkan setiap jalan yang kulalui. 

Ada satu hal yang kemudian menjadi pertanyaanku, Tuhan? Mengapa semenjak aku membiasakan diri (baru sekitar dua hari yang lalu) membaca kitabMu, Al-Quran, setiap usai shalat, selalu saja ada kemudahan-kemudahan yang Kau jatuhkan untukku. Kata orang, kebetulan? Tapi, bagiku, itu kenyataan. Ada hal-hal “magis” yang diluar perkiraanku yang selalu bisa memudahkan kesulitanku.

Oh ya, maaf, aku baru mulai membiasakan diri membaca kitabMu beberapa hari ini, meski hanya satu-dua halaman tiap usai shalat . Masih ingat, kan saat-saat bulan Ramadhan aku selalu menghabiskan waktu Dhuhur-Asharku dengan kedua orang temanku di rumahMu? Kalau tidak mengaji (sebentar) ya tidur siang – bersih-bersih – adzan. Yah, aku sadar, meskipun aku tak se-alim orang-orang di luar sana yang selalu beribadah padaMu. Maaf, …

Dan semakin aku membacanya, semakin yakin pula aku akan bantuanMu. Yah, beragam bentuknya. Bagaimana Engkau mengatasi rasa kelaparanku (maklum anak kost), bagaimana Engkau menunjukkan jalan untuk aktivitasku, bagaimana Engkau memudahkan urusanku.

Dari segala keruwetan berpikir itu, Engkau mengajariku sejak dini agar bisa mengatasi segala pekerjaan yang dibebankan padaku. Aku tahu, Engkau mungkin saja menyiapkanku untuk menghadapi dunia luar nanti. Kau memompa pikiranku, keluar dari “zona nyaman”ku hanya untuk menunjukkan bahwa, “Seperti inilah yang namanya Kerja Keras,” maka semakin ku menyadari betapa berharganya setiap pemberian orang tua. 

“Darimana datangnya semangat itu?” Engkau bertanya melalui pikiranku.

Pikiranku lantas merespon, “Dari setiap orang yang selalu percaya padaku dan untuk orang yang selalu menjadi bagian atau cabang-cabang hidupku,” Nah, aku hanya bisa mengangguk.

Tuhan, ada pula namanya bersyukur. Lagi-lagi aku harus bersyukur bagaimanapun keadaan yang menimpaku. Trus, ada pula yang namanya berbagi. Apapun bentuknya, materi maupun non-materi, Engkau mengajarkanku untuk selalu membaginya. Like it!

Akhirnya, aku harus tersenyum dan meyakininya usai menjalani proses peliputanku siang tadi dengan salah satu petinggi kampus. Aku tersenyum lebar, sumringah. 

Rezeki, anugerah, kemudahanMu selalu ada untuk orang yang mau gigih berusaha. Keras, sekeras-kerasnya. Terima kasih.


--Imam Rahmanto--


You Might Also Like

0 comments