Witing Tresno Jalaran Soko Kulino

Februari 07, 2013

Baca Juga


“Ini artinya apa?” Seorang teman pernah bertanya pada saya.

Saya mengangguk karena tahu makna yang terkandung dalam ungkapan Jawa itu. Maklum, keluarga saya kan masih Jawa tulen. Se-tidak fasih-nya saya dalam berbahasa Jawa, saya masih tetap harus menjunjung bahasa keluarga saya itu. Makanya, hingga sekarang saya masih senang berkomunikasi dengan sesama orang Jawa. Sekalian memperfasih penggunaan tata bahasa Jawa saya. Hehe…
 

Witing tresno jalaran soko kulino…
 

“Cinta tumbuh karena terbiasa” sebenarnya bukan sebuah ungkapan basi juga dalam kehidupan sehari-hari. Karena pada kenyataannya, ada banyak orang kan yang akhirnya menjadi “korban” ungkapan ini. Nyaris persis dengan pepatah “alah bisa karena terbiasa”

Mungkin, semacam perasaan “suka” itu sudah tertanam semenjak seseorang telah menjalin hubungan pertemanan dengan orang lain. Awalnya hanya saling mengenal, sering bertemu di suatu tempat, atau pekerjaan yang mengharuskannya sering bertemu, dan lama-kelamaan muncul perasaan “suka” yang lebih. Oh ya, dalam hal ini ungkapan tersebut tentu saja mengabaikan istilah “cinta pada pandangan pertama.” Orang yang hatinya langsung deg-degan ketika bertemu pertama kali dengan orang lain, tentunya tak perlu lagi pembiasaan untuk bisa membangun rasa “suka” itu. Pengenalan lebih jauh, setidaknya hanya untuk sebatas mempertegas perasaannya itu.


Di sekitar saya pun banyak terjadi hal serupa. Tidak terlepas dari kehidupan pribadi. ^_^. Pengaruh “sering bertemu” dalam suatu pekerjaan atau organisasi yang sama membuat jalinan keakraban itu semakin erat. Malah, terkadang perasaan itu cenderung menjerumuskan diri sendiri dalam suatu ketidakpastian. Sekadar menerka-nerka.


“Apa dia juga suka sama saya ya?”


Come on, ada banyak gejala yang terkadang menunjukkan dengan jelas gelagat seseorang yang sedang fall in love.

 
Witing tresno jalaran soko kulino, terjadi dimana saja dan kapan saja…
 

Ketika SMA dulu, saya punya sepasang teman, anggap saja Kumbang dan Bunga. Keduanya adalah teman saya di bangku SMA, meskipun berbeda kelas. Salah satunya, si wanita alias Bunga, malah teman baik saya semenjak kecil hingga sekarang. 

Bunga sebenarnya tidak begitu suka dengan Kumbang. Ia pernah blak-blakan menyampaikannya pada kami, sahabat-sahabatnya. 


“Sumpah. Saya tidak suka dengannya,” ujarnya meyakinkan kami.


Karena ia tahu, Kumbang pernah mengejar-ngejar salah seorang teman baiknya (yang juga teman masa kecil saya). Akan tetapi, nasib berkata lain. Pada kenyataannya, Bunga kini justru berpacaran dengan Kumbang, tidak terlepas dari hubungan ketiganya yang masih terjalin baik hingga hari ini. Bahkan akrab sekali. 


Usaha Kumbang untuk meluluhkan hati Bunga memang tidak sia-sia. Berbekal ungkapan Cinta tumbuh karena terbiasa, maka nyaris setiap hari tanpa rasa sungkan, ia berkunjung ke rumah Bunga. Entah dengan alasan pinjam buku lah, kerja tugas lah, antar teman lah atau bahkan hanya sekadar bertamu saja di rumah Bunga. Pokoknya ia berharap bisa mengobrol atau berbincang lepas dengan Bunga. Hal itu ia lakukan selama beberapa bulan. Apalagi jika hari raya Lebaran tiba, menjadi kesempatan yang sangat baik bagi Kumbang untuk bertandang ke rumah Bunga. Tidak jarang, kami sebagai teman baik Bunga menjadi tameng Kumbang untuk menemaninya ke rumah Bunga. Luar biasa!

 
Bagaimanapun juga, sebagai pemilik rumah yang baik, Bunga hanya bisa selalu (terpaksa) menerima kedatangan Kumbang, apalagi jika ditemani oleh kami. Lambat laun, keterpaksaan itu berubah menjadi kerelaan yang kemudian menjelma menjadi perasaan rindu. Jika rindu sudah menyapa, maka perasaan “suka” bisa menjadi pemicu terbesarnya. Maka jadian-lah mereka…


Hingga kini, mereka masih langgeng meskipun beberapa kali sempat “rujuk”. 


Witing tresno jalaran soko kulino…
 

Namanya juga “suka”. Satu hal itu memanglah manusiawi. Terbiasa melihat wajahnya akan menimbulkan efek-efek rindu. Terbiasa mendengar suaranya bakal membuat telinga hafal persis sumber suaranya. Terbiasa melihat senyumnya yah akan membuat jantung berdetak lebih keras dari biasanya. Terbiasa ngobrol dengannya akan menimbulkan dampak Hukum Relativitas Einstein. Bahkan terbiasa melihatnya ngambek saja membuat kita tak pernah lepas memikirkannya... Sungguh, pepatah kuno itu telah dipelajari bertahun-tahun oleh orang tua kita.
 

Jadi, tak perlu malu untuk mengakuinya atau sekadar meluruskan perihal perasaan itu. Just to talk, just wait the answer. Justru orang yang paling bodoh saja yang tak pernah berani mengakui perasaannya. :( Yah, meskipun terkadang kita butuh beberapa alasan dan WAKTU untuk mempertegas gelagatnya. Overall, don’t be afraid!

*Meramaikan bulan Februari, yang katanya penuh kasih sayang. Hope there, I will get it…


 

--Imam Rahmanto--

You Might Also Like

0 comments