Cappuccino, Soal Kualitas

Februari 26, 2013

Baca Juga

(google.com)
Wow, kebiasaan baru saya; tidur - pukul 3 dini hari dan bangun pagi – antara pukul 5 hingga 6 pagi. Great!!

Semalam saya menemukan sebuah situs yang banyak bercerita tentang kopi. All about coffee. Menarik. Langsung saja, saya sangat tertarik untuk menyambangi situs itu, mungkin. Terlebih dengan hobi saya meminum salah satu minuman ini, especially Cappuccino. ^_^.

Cappuccino. Entah sejak kapan saya tepatnya suka dengan  salah satu jenis kopi ini. Saya sebenarnya agak risih harus menyebutnya dengan “kopi”. Dalam benak saya, kopi adalah minuman “jahat” yang berwarna hitam pekat, terkadang pahit dengan ampas yang masih mengambang-ambang maupun mengendap di bawah gelas. Minuman “jahat”, karena seringkali membuat orang begadang tanpa alasan kuat. Padahal Rhoma Irama kan sudah melarang begadang. Apalagi, ayah saya sangat menyukai kopi. Saya cenderung selalu bertolak belakang dengan ayah saya…

Mungkin, bagi kebanyakan orang, cappuccino dan kopi itu sama saja. Tapi bagi saya, beda kok. Bedanya dimana? Pokoknya beda! Ya..beda. Nah loh?

Flashback:
Saya mengenal minuman satu ini dari salah seorang teman saya. Sebagai mahasiswa baru, kami kala itu masih sering “bareng” kesana-kemari. Ngobrol bareng. Kerja kelompok bareng. Nyari tugas bareng. Ngampus bareng. Pacaran bareng (ini bohong!). Nongkrong bareng, termasuk urusan nongkrong di salah satu kost-an salah seorang teman kami.

“Eh, Mam, mau kopi ndak?” tanya teman saya di tengah-tengah perbincangan hangat kami tentang perempuan.

“Hmm..saya ndak suka sama kopi,”

“Wah, ini bukan kopi biasa, kok,” Ia mengeluarkan beberapa sachet cappuccino, lantas menyerahkannya pada saya. Agak ragu, saya mencobanya. Selama ini saya lebih suka menikmati minuman semacam coffeemix. Jadi, agak kikuk dengan minuman baru seperti cappuccino.


Beberapa menit kemudian...

 
Lha, ini kok tidak ada rasanya?” protes saya agak kesal.

Teman saya yang melihat minuman di gelas saya tiba-tiba tergelak. 


“Mam, nyeduh minuman ini ndak seperti nyeduh minuman-minuman biasa yang lainnya, satu sachet = satu gelas. Justru yang satu ini beda. Kebanyakan air, rasanya malah hambar. Yang penting itu kualitasnya, bukan kuantitas,” sembari masih tetap tertawa.

Saya dan beberapa orang teman saya cuma bisa cengengesan karena sudah terlanjur “menyamaka-ratakan” minuman cappuccino dengan minuman-minuman yang lain. Maklum, kami kan pendatang baru di kota ini.
------

Beberapa bulan berikutnya, saya sudah mulai berteman dengan cappuccino. Saya sudah mulai terbiasa menikmatinya. Saya sudah mulai membiasakan diri begadang dengan ditemani olehnya. Bahkan, hingga saya lebih sering menghabiskan waktu di redaksi pers kampus kami, ia masih menjadi teman setia bagi saya. Di saat kondisi uang saya menipis pun, saya selalu bela-belain bisa menikmatinya. Saya sudah terlanjur cinta dengannya. So addicted!

Bukan semacam kecanduan atau obsesi padanya, melainkan setitik ketenangan dari berbincang dengannya. Lha? Benar! Sedikit curhat dan sejenisnya. Jika tak ada tempat lain untuk mengeluh, saya tak jarang berbicara pada Cappie. Ada kualitas yang dibangun dari minuman itu, bukan kuantitas, seperti kata teman saya. ^_^. Tapi, berkomunikasi dengannya, tentu saja di saat saya sedang sendirian. Jika tidak, nanti malah dikira tidak waras oleh orang-orang di sekitar saya.

Meski cappuccino yang sering saya nikmati bukan minuman-minuman sekelas high-class; karena hanya diolah dengan 3S (Sachet – seduh –siap minum), namun saya masih tetap menyukainya. Ia, justru lebih enak ketika dinikmati sepenuh hati. Kesempurnaan itu ketika kita mampu menerima kekurangan yang ada. Cappuccino high-class yang disediakan di restoran-restoran ternama atau café memang cukup menggiurkan bagi saya. Tidak jarang terbersit keinginan saya untuk bisa sesekali mencoba salah satu coffee menu disana. Sedikit memperbandingkan cita rasanya. Next time, maybe...

Mengutip dari sebuah film, Milli dan Nathan, 


"Cinta itu kayak kopi/ cappuccino, enak pas panas tapi akan cepat habis diminum. Tapi kalo mau gak cepat habis minumnya perlahan-perlahan, tapi resikonya akan cepat dingin” 
 

cappuccino memang nyaman dinikmati ketika panas diselingi rerintik hujan di pagi hari...

Just a little cappuccino…

 
--Imam Rahmanto--


The 2nd post of #7day7post

You Might Also Like

2 comments

  1. Waw, keren nih, postingnya. Memang oasti ada cerita keren dari suatu hal, termasuk kopi/cappuccino. Sayangnya, aku lebih suka susu. Dan, kalau dijabarkan dengan tulisan, pasti akan sangat panjang.

    BalasHapus
  2. @Dian kurniati: makanya, jalani hidup itu gak cuma sekadar "jalan" saja. Ayo, bercerita!

    BalasHapus