Listrik dan Malam
November 10, 2012Baca Juga
"Apa kau pernah melihat bulan seperti ini?" tanyanya padaku.
Pertanyaan yang sederhana, namun cukup untuk membuatku terdiam agak lama. Aku sendiri bingung, kapan terakhir kalinya bisa melihat bulan seterang dan secemerlang ini. Cahayanya yang lembut, menyebar di seantero kegelapan malam. Ruang-ruang sunyi di sekitar kompleks ini terasa hangat oleh temaram sinar yang menembus celah-celah jendelanya.
Akh, perasaan ini sungguh damai. Aku masih bingung, kapan terakhir kalinya aku menikmati malam yang sunyi seperti ini. Aku mengingat-ingatnya...
Lama, nyaris sepuluh tahun yang lalu aku pernah seperti ini. Duduk di depan beranda rumah. Bergantian, antara menghirup udara malam dan meneguk minuman hangat. Duduk bersama, bercerita, menerawang di langit-langit malam.
Aku mengangguk menjawab pertanyaannya.
Kakak perempuanku dulu sering membawaku ke kaki bukit di belakang rumah. Menjelang tengah malam, kami akan dijemput oleh ayah dan ibu sambil bersungut-sungut. "Apa kalian tidak ada kerjaan lain, selain tiap malam hanya nongkrong disini?" keluh Ibu. "Apalagi kamu Sinta. Kamu kan masih harus sekolah," Kakak yang mendapat omelan ibu hanya tersenyum-senyum kecil. Aku sedari tadi hanya memandanginya tak percaya.
"Sudahlah, Bu. Namanya juga anak-anak. Biarkan saja mereka meresapi alam yang Maha Indah ciptaan Tuhan," potong Ayahku bak sang penyair. Ibu membalasnya dengan tatapan tajam. Ayah hanya bisa berkelit sambil tertawa lepas.
Aku, selalu saja, tersenyum kala mengingat-ingatnya. Kakakku yang tak pernah sekalipun mau menjelaskan padaku alasannya selalu memandangi bulan di belakang rumah. Kakakku yang selalu menarik-narikku untuk ikut dengannya. Membawa seluruh perlengkapan belajarnya dan menyuruh ayah membangunkan kemah-kemah kecil di sana.
"Dimana?" tanya perempuan itu lagi.
Apa aku mesti bercerita padanya. Apa aku harus mengulang kembali memoriku yang telah kuputar itu?
"Di desa tempat tinggalku." Tidak, aku tidak perlu menceritakan semuanya. Biarkan di malam yang gelap ini aku menikmatinya sembari duduk bersamanya di depan teras rumah.
"Apa kau rindu keluargamu?" tanyanya lagi.
Akh, kenapa sedari tadi ia selalu saja bertanya. Apakah karena hanya aku dan dia yang sedang duduk disini? Tidakkah ia lihat aku sementara memandangi lekat-lekat bulan yang nyaris bulat sempurna itu? Tapi, nyatanya ia lekat-lekat memandangi wajahku yang diterpa sedikit cahaya bulan.
Aku mengangguk lagi. Aku menganggap jawaban itulah yang paling memuaskan baginya.
Aku menarik napas dalam-dalam. Menghembuskannya perlahan.
"Maaf, tapi seperti inilah aku," Aku tersenyum memandangi wajahnya.
"Aku tidak ingin terlalu jauh mengingat-ingat keluargaku. Melakukannya hanya akan membuat perasaanku sakit. Lebih sakit dari biasanya," tekanku sambil memaksakan tersenyum. Getir.
"Kenapa kau tidak mau --,"
Aku menggeleng memotong ucapannya. Ia tahu, akan tiba saatnya aku akan menceritakan semuanya, sejelas-jelasnya padanya. Ia memilih untuk ikut larut meresapi malam ini.
Seperti ketika aku akhirnya tahu alasan kakakku selalu memandangi langit malam di kaki bukit belakang rumah.
"Kakakmu suka memandangi langit di malam hari, apalagi ketika bulan muncul. Semenjak kamu lahir, ia melakukan hal itu setiap. Ia takut kehilangan adiknya," Ayahku bercerita.
Aku seharusnya lahir di sore itu, tepat ketika ibuku mengaduh kesakitan. Mengeluh anaknya akan lahir. Namun, kenyataannya, dukun beranak sudah bersiaga dan aku belum juga dilahirkan. Menjelang tengah malam, ibu kelelahan dan tak sadarkan diri. Kakakku menangis sesenggukan dalam pelukan ayah.
Nyaris ketika ayahku kehilangan harapan, suara tangisku memecah kesunyian malam itu. Cahaya bulan membias menerangi tubuh mungilku. Dan kakakku lah yang pertama kali memutuskan untuk menggendongku.
*****
"Sampai kapan ya pemadaman listrik ini? Kabarnya PLN di Tello terbakar dan pemadam masih berusaha memadamkannya," ujar salah seorang kawanku. Ia muncul dari dalam rumah dengan membawa nampan berisi minuman hangat.
Aku menggeleng, "Entahlah," seraya meraih gelas berisi Cappuccino-ku. Menyeruputnya perlahan.
Yah, bagaimanapun aku sudah terbiasa dengan kegelapan seperti ini. Keluargaku dulu tak pernah menikmati listrik. Di desa tempat tinggalku, kami hanya memanfaatkan pelita sebagai penerangan. Dan kenyataannya, pelita itu yang kemudian menyebabkan bencana besar di desaku. Di keluargaku. Pada ayahku, ibuku,dan kakakku.... (*)
--Imam Rahmanto--
Makassar, 9 November 2012
0 comments