Dunia Tak Selebar Telapak Tangan
November 07, 2012Baca Juga
"Kamu tahu dia?"
"Ya, tentu saja. Dia kan penulis, ada banyak novelnya," ujarnya ringan.
Saya dibuat terkejut olehnya. Bukan main, saya yang baru mengenal penulis itu seminggu lalu dan dia ternyata sudah lama tahu mengenai Putra Gara. Ya, Putra Gara, yang ternyata merupakan salah satu tokoh penulis kawakan di Indonesia.
Saya merasa kecil. Selama ini ternyata saya hanya sibuk dengan dunia saya sendiri, hanya setitik bagian dari dunia yang maha luas ini. Penulis-penulis yang saya tahu selama ini ternyata barulah kulit luarnya saja. Di balik itu, masih banyak penulis-penulis kondang lainnya yang memang lebih "menjanjikan".
Kesenangan saya menikmati alam-alam di sekitar; barang menghirup udara pagi, berjalan kaki, jalan-jalan di tempat-tempat yang baru, meresapi tiap helaan napas, memang benar-benar belum cukup merangkum semua "kesimpulan dunia". Malah, semua itu hanya secercahnya saja. Bahkan seorang penulis pun senantiasa dituntut untuk menemukan dan belajar banyak hal-hal baru.
Terkadang untuk menciptakan ide-ide baru, kita dituntut untuk banyak melihat keluar. Sejenak, menjauhkan pikiran atau perasaan dari hal-hal yang sudah menjadi kebiasaan kita. Kita mesti keluar dari "zona nyaman" untuk menciptakan hal-hal baru. Dunia ini maha luas untuk ditelusuri dan dipelajari. Hanya saja, kita terbiasa mengikatkan diri pada keadaan yang sudah membuat kita nyaman.
Oh ya, saya teringat dengan sebuah kutipan dari ayat suci,
Oleh karena itu, amat dangkal lah rasanya jika kita selalu melakukan "itu-itu saja". Terpaku dengan kebiasaan. Tuhan menciptakan dunia ini begitu luas agar kita bisa banyak belajar dan menikmatinya.
Out of the Box! Lagi-lagi saya mesti menyerukan kalimat itu. Menulis pun butuh sesuatu yang baru. Lah, namanya juga orang belajar. Bukan namanya belajar kalau kita terus-terusan mempelajari hal yang sudah kita tahu. Belajar itu...dari tidak tahu menjadi tahu. Bukan urusan tua atau muda, sulit atau mudah. Selama kita berani menantang keluar dari kebiasaan, pertanda belajar, kita akan menemukan banyak pengalaman baru.
"Experience is the best teacher, forever,"
Selain butuh proses, ternyata menulis itu juga butuh lebih banyak berinteraksi dengan lingkungan. Menulis adalah membaca.
Membaca, tidak hanya sebatas membaca tulisan saja. Ada banyak kejadian, gerak alam, laju napas yang perlu kita jabarkan dengan membacanya melalui penglihatan kita. Banyak membaca, banyak ide, banyak menulis.
Tuh kan, ternyata dunia memang tak hanya selebar telapak tangan kita. Namun, yakinlah, tangan kita mampu menggenggam dunia yang luas itu.
"Ya, tentu saja. Dia kan penulis, ada banyak novelnya," ujarnya ringan.
Saya dibuat terkejut olehnya. Bukan main, saya yang baru mengenal penulis itu seminggu lalu dan dia ternyata sudah lama tahu mengenai Putra Gara. Ya, Putra Gara, yang ternyata merupakan salah satu tokoh penulis kawakan di Indonesia.
Saya merasa kecil. Selama ini ternyata saya hanya sibuk dengan dunia saya sendiri, hanya setitik bagian dari dunia yang maha luas ini. Penulis-penulis yang saya tahu selama ini ternyata barulah kulit luarnya saja. Di balik itu, masih banyak penulis-penulis kondang lainnya yang memang lebih "menjanjikan".
Kesenangan saya menikmati alam-alam di sekitar; barang menghirup udara pagi, berjalan kaki, jalan-jalan di tempat-tempat yang baru, meresapi tiap helaan napas, memang benar-benar belum cukup merangkum semua "kesimpulan dunia". Malah, semua itu hanya secercahnya saja. Bahkan seorang penulis pun senantiasa dituntut untuk menemukan dan belajar banyak hal-hal baru.
"Melihatlah keluar. Pandang kejadian di sekitarmu. Rasakan tiap langkah kaki yang kau ayunkan. Berinteraksi dengan orang-orang baru juga bakal menumbuhkan banyak ide-ide baru untuk menulis,"
--Nur Alim Djalil--
Terkadang untuk menciptakan ide-ide baru, kita dituntut untuk banyak melihat keluar. Sejenak, menjauhkan pikiran atau perasaan dari hal-hal yang sudah menjadi kebiasaan kita. Kita mesti keluar dari "zona nyaman" untuk menciptakan hal-hal baru. Dunia ini maha luas untuk ditelusuri dan dipelajari. Hanya saja, kita terbiasa mengikatkan diri pada keadaan yang sudah membuat kita nyaman.
Oh ya, saya teringat dengan sebuah kutipan dari ayat suci,
Sesuatu yang kita suka belum tentu menjadi sesuatu yang baik bagi kita. Malah, terkadang sesuatu yang kita suka itu adalah sesuatu yang buruk untuk diri kita. Begitupun sebaliknya.
Oleh karena itu, amat dangkal lah rasanya jika kita selalu melakukan "itu-itu saja". Terpaku dengan kebiasaan. Tuhan menciptakan dunia ini begitu luas agar kita bisa banyak belajar dan menikmatinya.
Out of the Box! Lagi-lagi saya mesti menyerukan kalimat itu. Menulis pun butuh sesuatu yang baru. Lah, namanya juga orang belajar. Bukan namanya belajar kalau kita terus-terusan mempelajari hal yang sudah kita tahu. Belajar itu...dari tidak tahu menjadi tahu. Bukan urusan tua atau muda, sulit atau mudah. Selama kita berani menantang keluar dari kebiasaan, pertanda belajar, kita akan menemukan banyak pengalaman baru.
"Experience is the best teacher, forever,"
Selain butuh proses, ternyata menulis itu juga butuh lebih banyak berinteraksi dengan lingkungan. Menulis adalah membaca.
"Menulis tanpa membaca adalah bohong belaka. Rumusnya: M-M=0"
--S. Gegge Mappangewa--
Membaca, tidak hanya sebatas membaca tulisan saja. Ada banyak kejadian, gerak alam, laju napas yang perlu kita jabarkan dengan membacanya melalui penglihatan kita. Banyak membaca, banyak ide, banyak menulis.
Tuh kan, ternyata dunia memang tak hanya selebar telapak tangan kita. Namun, yakinlah, tangan kita mampu menggenggam dunia yang luas itu.
--Imam Rahmanto--
0 comments