Aku dan Segelas Cappuccino
Oktober 20, 2012Baca Juga
"Nice moment," Aku berkata pelan seraya menyeruput minumanku. Hangat. Harganya memang tidak sebanding dengan sajian di kafe-kafe yang selama ini jadi ritual kunjunganku. Cappuccino ini hanya sebatas seduhan sachet di pinggir-pinggir jalan. Akan tetapi, kualitas momen inilah yang sangat aku rindukan. Suasana-suasana yang membebaskan dari rutinitas keseharianku.
Waktu menjelang tengah malam, aku tak pernah menyangka masih banyak orang-orang yang berkumpul di depan Benteng Rotterdam. Tua-muda, laki-laki-perempuan menempati masing-masing kursi yang disediakan oleh warung-warung terbuka di sepanjang jalan. Sebagiannya lagi masih kosong. Tidak jelas apa yang diperbincangkan oleh mereka. Suara musik yang disetel para penjual beradu memecah suara-suara mereka dan mengusir kesunyian di depan benteng kebanggaan kota Makassar ini.
"Makanya tiap harinya jangan cuma seputar kost-kampuus terus. Sekali-kali ke tempat-tempat seperti ini kan asyik," tutur Haru. Ia sejak tadi ternyata memperhatikan gerak-gerikku yang sibuk mengamati sekeliling. Ia tahu betul, aku tak pernah berkunjung ke tempat ini setiap malam. Dan dialah yang memutuskan untuk mengajakku malam ini.
"Aku pikir, umm....mungkin kamu mau jalan-jalan keluar malam ini,"
"Aku bingung sendiri melihatmu mengurung diri di dalam kamar beberapa minggu ini-,"
"Namanya juga tugas kuliah. Tau dosen ngasihnya kebanyakan. Bikin tiap malam harus begadang menyelesaikannya," potongku.
Haru terdiam. Ia lalu menyeruput minumannya.
Ia kemudian banyak mengajakku bercerita. Darinya, aku semakin yakin tentang hidupnya yang selama ini ternyata begitu bahagia, dalam ukuran keluarga. Ia dibesarkan dalam keluarga yang benar-benar tenteram. Orang tuanya betul-betul mengerti bagaimana cara berkomunikasi yang baik dengan anak-anaknya. Selain guru, bagi Haru, orang tuanya adalah motivator andalannya. Pantas saja, aku melihat keseharian Haru yang sangat jarang membelitkan dirinya dalam sebuah masalah.
Rutinitasnya sebenarnya tidak jauh beda denganku. Kuliah di universitas yang sama. Ngekos di pondokan yang sama. Namun, untuk menutupi kebutuhanku, aku mesti mencari pemasukan tambahan di luar uang kirimanku tiap bulan. Haru? Ah, dia tidak pernah pusing soal kebutuhan hidup. Ia berkecukupan. Terkadang malah ia berbaik hati membagi makanannya denganku. Temanku satu ini mengerti tentangku. Bahkan, mungkin tentang hidupku. Aku tak pernah sungkan jika harus bercerita padanya.
Oleh karena itu, ia mafhum jika semester lalu aku abai terhadap beberapa rutinitas kuliahku hanya gara-gara waktu yang tidak relevan dengan pekerjaan paruh waktuku.
"Aku masih agak sulit beradaptasi dengan kondisiku sekarang. Mungkin butuh waktu lama untuk bisa menyesuaikan kembali ritme kuliahku yang dulu sempat terabaikan," Aku menghela napas.
"Pelan-pelan saja dulu. Lagipula aku percaya, kamu pasti bisa. Hanya soal kehadiran saja yang selama ini menghalangimu,"
Aku tersenyum kecut mendengarnya. Minuman di tanganku masih mengepul-ngepulkan asap halus. Pertanda hangatnya lekas menyatu dengan udara di sekitarku.
"Nah, bersantai seperti ini yang rasa-rasanya bisa melepaskan beban masalah. Kita menyaksikan orang-orang di sekitar kita bercengkerama, melepas senyum, tertawa tanpa ada kerut-kerut masalah di wajahnya. Kita yang menyatu di tengah-tengah mereka tentunya tidak ingin juga menampilkan wajah-wajah berkeluh kesah kita, bukan? Maka dengan terpaksa namun menyenangkan tentunya, kita ikut larut dalam aura-aura kehangatan seperti ini," ujar Haru.
"Terima kasih telah mengajakku kemari. Aku senang menghabiskan waktu seperti ini. Menyaksikannya saja, aku merasa damai,"
"Tentu saja. Seperti ketika kau menyeruput Cappuccino kesayanganmu, kan?"
Aku mengangguk-angguk. Tanganku tetap memegang gelas yang belum melepaskan kehangatannya. Riuh pengunjung lain masih mewarnai suasana malam ini.
"Iya, benar. Apalagi ketika aku menjalani kegemaranku menulis. Rasanya, ada banyak hal yang kemudian merasukiku untuk kemudian dituliskan,"
Haru juga tahu, aku banyak menghabiskan waktuku di malam hari untuk menulis. Tak jarang malah ia menawarkan sebuah cerita padaku untuk ditulis. "Terserah bagaimana jalan ceritanya yang akan kau buat," katanya. Kata orang, itu tak ada gunanya. Akan tetapi, kepentinganku menulis hanya karena ingin membekukan waktu beserta kejadian-kejadiannya itu dalam sebuah tulisan.
"Oh iya, kenapa tidak kamu coba untuk bergabung dengan salah satu lembaga penulisan di kampus kita? Jurnalistik mungkin?" Ia mengusulkan.
Aku mengerutkan keningku.
"Dari sana kamu mungkin bisa belajar menuliskan sejarah..."
Aku menghentikan mulutku yang nyaris menyentuh bibir gelas. Berpikir sejenak. Pandanganku berganti menatap ke arahnya. Sesuatu terlintas di kepalaku. Voila!
Makassar, 20 Oktober 2012
--Imam Rahmanto--
0 comments