Pantes, Ternyata Sudah Kering tah...

September 06, 2012

Baca Juga


Saya hanya mengangguk-angguk melihat berita-berita yang ada di televisi. Bagaimana tidak, informasi yang dikabarkannya belum genap sebulan yang lalu saya alami sendiri. Kabar-kabar terkait Jawa, khususnya Jawa Timur, melaporkan bencana kekeringan yang kini sedang melanda masyarakat pedesaan. Dan saya pun, belum genap sebulan yang lalu, baru saja merasakannya.

Cuaca di desa saya, Keting (Kec. Sekaran, Kab. Lamongan) ternyata jauh lebih panas dibanding cuaca di Makassar. Sepanas-panasnya cuaca di Makassar, saya tidak pernah bergantung pada kipas angin jika sedang berada di dalam rumah. Sangat berbeda ketika saya berada di Keting, yang cuacanya di siang hari sudah mampu membuat saya meneteskan peluh. Ya, mau tidak mau, saya mesti menggantungkan hidup pada kipas angin. Di Makassar saja, saya baru berkeringat ketika usai melahap makanan yang pedas-pedas. Hehehe…

Akan tetapi, anehnya bagi saya, cuaca panasnya pun hanya berlangsung di siang hari. Ketika malam hari menjelang, maka suhu udaranya pun berangsur-angsur mulai menurun. Hingga saya mesti meringkuk karena udara yang agak dingin. Heran?? Jangan bertanya pada saya, karena saya sendiri juga heran dengan cuaca disana. Makanya adalah hal wajar ketika saya yang berusaha bangun pagi disana (Keting, red) selalu saja merasa bangun kesiangan. Lah, masih pukul 5 subuh, matahari ternyata sudah begitu terangnya menyinari seisi desa. Kalau mau bangun pagi, harus lebih “lebih” dini lagi.

Selain itu, air bersih juga merupakan salah satu hal yang menjadi kesulitan bagi warga desa disana. Seperti yang terlihat di berita-berita tivi hingga hari ini, tanaman-tanaman warga desa terancam bakal kekurangan air. Oh ya, katika saya tiba disana, untung saja warga desa telah selesai memanen hasil sawahnya (padi).

Di Keting, warga desanya masih bisa bernapas lega. Untuk mengairi tanaman-tanaman di sawah, warga desa masih bisa memanfaatkan air dari bendungan sungai Bengawan Solo. Maklum, desa saya bersebelahan langsung dengan aliran sungai Bengawan Solo. Air dari bendungan tersebut dibagi menjadi beberapa kanal dan dialirkan ke sawah-sawah di sekitar desa. Sementara untuk persediaan MCK (Mandi, Cuci, kakus) warga, mereka lebih banyak menggunakan air sumur dibandingkan air PAM. Maka jangan heran ketika mandi menggunakan sabun merek apapun tidak bakalan menghasilkan busa sebanyak yang digembar-gemborkan iklannya. Lha wong, airnya mengandung banyak zat besi.

Akan tetapi, di daerah lain, seperti Mindu (desa kelahiran ayah saya), mereka sama sekali tidak memiliki banyak persediaan air untuk mengairi sawah-sawah (tanaman tembakau) mereka. Sumber pengairan mereka kebanyakan berasal dari Waduk Gondang yang sangat jauh dari daerah tempat tinggal mereka. Ketika berjalan-jalan disana, saya pun banyak menemukan tanah-tanah dengan permukaan yang retak dan menganga lebar. Wuih, benar-benar kering (dan berdebu), deh..
Kekeringan yang melanda daerah Kedungpring (bersebelahan desa Mindu) sudah sangat parah.
(Sumber: tribunnews.com)

Saya kini baru ngeh, ternyata kekeringan sudah melanda sejak lama. Bahkan, kekeringan seperti itu sudah dikategorikan sebagai “bencana”. Jika sudah seperti itu, berarti kekeringan yang melanda daerah di Jawa ternyata sudah memasuki fase-fase yang kritis. Imbasnya, beberapa sawah petani malah bisa terancam gagal panen.

Kekeringan tampaknya akan berlangsung cukup lama di Jawa. Hingga kini, tampaknya belum ada tanda-tanda akan turunnya hujan, meskipun kita sudah akan memasuki bulan-bulan penghujan. Beruntung, di Makassar kini, saya tidak begitu mengalami dampak kekeringan sama seperti ketika berada di Jawa. Di Makassar sendiri, tampaknya persediaan air sangat melimpah, apalagi jika sudah memasuki musim penghujan. Airnya benar-benar akan melimpah sampai meluber ke pelataran kost-an saya. hehe..

Lantas, kekurangan air seperti ini, kemudian menyadarkan saya kembali bahwa; Kita terkadang baru menyadari betapa berharganya sesuatu ketika kita telah kehilangannya.



--Imam Rahmanto--

You Might Also Like

0 comments