DEADLINE (Part 3)
Juni 13, 2012Baca Juga
Lengang. Rumah itu, seperti biasa ditinggalkan para penghuninya ke kampus masing-masing. Namun seorang lagi penghuninya masih berdiam diri di dalam kamarnya. Berpikir. Bersemedi. Merenung. Meratapi nasib. Antara ya dan tidak. Antara hidup dan tak mati.
Dulu, ia sebenarnya telah berniat untuk melakukannya lebih awal, sebelum ia terlalu tua setahun. Akan tetapi, mendadak ia sakit. Tidak mungkin baginya untuk turut serta dalam kegiatan dengan kondisi tubuh seperti itu. Padahal keinginannya sudah bulat. Sebulat-bulat bumi, masih lebih bulat lagi tekadnya. Dan kini, kejadian itu bagai deja vu baginya.
Sedari tadi ia mondar-mandir tak jelas di depan kamarnya. Ia mungkin berharap tiba-tiba saja kostnya kejatuhan durian runtuh. Padahal di sekitar tempat tinggalnya tak ada satupun pohon durian. Kalau duren alias duda keren, ya banyak. Atau ia sementara menanti wangsit mengenai keputusan yang akan diambilnya. Tak ada seorangpun yang ia beritahu mengenai keputusannya, termasuk kakak perempuannya. Silam, kakaknya pernah menjalani hal serupa. Namun tak banyak cerita yang didapatkan darinya. Sekali-dua kali saja dirinya pernah mendapati kakaknya mengenang masa silam itu. Selebihnya, ia hanya diajarkan bagaimana caranya memasak.
Sophie tahu betul keputusannya. Sudah lama sebenarnya ia menantikan hal ini. Setelah menunggu satu tahun tertundanya, ia berkesempatan berdeja vu. Hanya saja ia berharap, sakitnya itu takkan terulang lagi.
"Mungkin itu akibat terlalu banyak berpikiran mitos," ujarnya dalam hati meyakinkan dirinya sendiri. Mitos? Ya, ia sangat sering dicecoki dengan mitos-mitos pamali oleh orang tuanya. Nah, karena prosesor yang dimilikinya masih Pentium 2, maka ia percaya dan mencerna begitu saja.
Harap-harap cemas, Sophie menekan sebuah nomor. Sebuah nada tunggu menyela. Tuut...tuut...tuut. Tak ada yang mengangkat.
Tuut...tuut...tuut.
"Halo?" Seorang perempuan di sana mengangkat telepon.
Ia mengenal sosok suara itu dan untuk itu ia meneleponnya. Apalagi setiap hari ia selalu bertemu dengan sosoknya.
"Begini, Kak. Saya mau mendaftar diklat..." ucapnya mantap.
Sudah hampir sejam Rantou duduk di depan layar komputer. Sejak tadi, ia menghabiskan waktunya di warnet dekat kostnya. Bolak-balik ia membuka epaper harian surat kabar FAJAR. Apa yang dicarinya? Ia sampai sudah hafal betul halaman yang memuat daftar lowongan kerja. Tekadnya sudah bulat, ia harus bisa kuliah sambil kerja. Memulai kuliah di semester tiga tanpa beasiswa apapun baginya bukanlah perkara mudah. Terlebih lagi orang tuanya terlalu banyak menuntut.
"Kamu sudah dapat informasi mengenai beasiswa?" Orang tuanya tak henti-henti menanyakan hal itu. Yang ditanya pun hanya bisa menggeleng tanpa bersuara.
"Ayolah...tidak usah bertanya tentang hal itu lagi...." gerutunya dalam hati.
"Kalau bisa, kamu usahakanlah dapat beasiswa. Masa' kamu ndak bisa dapat?"
Sebenarnya, ia mencari pekerjaan pun harus yang sesuai dengan kriterianya. Ada honornya. Bisa part-time. Kalau tidak bisa paruh waktu, yang penting tidak menyita waktu kuliahnya. Tidak jauh dari tempat tinggal. Dan beberapa jenis pekerjaan sudah memenuhi kriterianya itu. Tapi belum tentu juga pekerjaan-pekerjaan itu menerimanya.
Guru les privat, operator warnet, pelayan rumah makan, operator fotocopy, dan sebagainya sudah pernah dicatatnya. Bahkan, untuk guru les privat, ia sudah memasukkan lamaran kerjanya. Namun ia harus menanti antrian sejak dua bulan yang lalu.
"Nanti kalau ada murid yang mendaftar, saya akan hubungi," ujar bagian administrasi salah satu lembaga les privat yang pernah ia temui. Mau tidak mau, ia pun meati bersabar sambil menghitung hari ala Krisdayanti.
Nada dering handphonenya tiba-tiba berbunyi. Sebuah pesan singkat masuk.
"Imam, gmna? Jd ndak sy ksh frmlir.a? Sy sdh ad d kmpus." Sms dari Ika.
Oh ya, ia akhirnya teringat dengan janjinya. Ia harus mengisi sebuah formulir untuk keperluan registrasinya di diklat jurnalistik minggu depan.
"Ok. Tunggu 15mnt ya." balasnya.
Kali ini tekadnya juga sudah bulat untuk bisa menimba ilmu "menulis". Apalagi setelah tahun lalu keinginannya itu tertunda lantaran tidak memiliki uang untuk registrasi. Dan tahun ini, ia harus bisa mengikuti diklat tersebut, dengan iming-iming pemateri dari berbagai media lokal di kotanya.
"Ya, kali ini aku harus ikut." gumamnya.
Dulu, ia sebenarnya telah berniat untuk melakukannya lebih awal, sebelum ia terlalu tua setahun. Akan tetapi, mendadak ia sakit. Tidak mungkin baginya untuk turut serta dalam kegiatan dengan kondisi tubuh seperti itu. Padahal keinginannya sudah bulat. Sebulat-bulat bumi, masih lebih bulat lagi tekadnya. Dan kini, kejadian itu bagai deja vu baginya.
Sedari tadi ia mondar-mandir tak jelas di depan kamarnya. Ia mungkin berharap tiba-tiba saja kostnya kejatuhan durian runtuh. Padahal di sekitar tempat tinggalnya tak ada satupun pohon durian. Kalau duren alias duda keren, ya banyak. Atau ia sementara menanti wangsit mengenai keputusan yang akan diambilnya. Tak ada seorangpun yang ia beritahu mengenai keputusannya, termasuk kakak perempuannya. Silam, kakaknya pernah menjalani hal serupa. Namun tak banyak cerita yang didapatkan darinya. Sekali-dua kali saja dirinya pernah mendapati kakaknya mengenang masa silam itu. Selebihnya, ia hanya diajarkan bagaimana caranya memasak.
Sophie tahu betul keputusannya. Sudah lama sebenarnya ia menantikan hal ini. Setelah menunggu satu tahun tertundanya, ia berkesempatan berdeja vu. Hanya saja ia berharap, sakitnya itu takkan terulang lagi.
"Mungkin itu akibat terlalu banyak berpikiran mitos," ujarnya dalam hati meyakinkan dirinya sendiri. Mitos? Ya, ia sangat sering dicecoki dengan mitos-mitos pamali oleh orang tuanya. Nah, karena prosesor yang dimilikinya masih Pentium 2, maka ia percaya dan mencerna begitu saja.
Harap-harap cemas, Sophie menekan sebuah nomor. Sebuah nada tunggu menyela. Tuut...tuut...tuut. Tak ada yang mengangkat.
Tuut...tuut...tuut.
"Halo?" Seorang perempuan di sana mengangkat telepon.
Ia mengenal sosok suara itu dan untuk itu ia meneleponnya. Apalagi setiap hari ia selalu bertemu dengan sosoknya.
"Begini, Kak. Saya mau mendaftar diklat..." ucapnya mantap.
*******
Sudah hampir sejam Rantou duduk di depan layar komputer. Sejak tadi, ia menghabiskan waktunya di warnet dekat kostnya. Bolak-balik ia membuka epaper harian surat kabar FAJAR. Apa yang dicarinya? Ia sampai sudah hafal betul halaman yang memuat daftar lowongan kerja. Tekadnya sudah bulat, ia harus bisa kuliah sambil kerja. Memulai kuliah di semester tiga tanpa beasiswa apapun baginya bukanlah perkara mudah. Terlebih lagi orang tuanya terlalu banyak menuntut.
"Kamu sudah dapat informasi mengenai beasiswa?" Orang tuanya tak henti-henti menanyakan hal itu. Yang ditanya pun hanya bisa menggeleng tanpa bersuara.
"Ayolah...tidak usah bertanya tentang hal itu lagi...." gerutunya dalam hati.
"Kalau bisa, kamu usahakanlah dapat beasiswa. Masa' kamu ndak bisa dapat?"
Sebenarnya, ia mencari pekerjaan pun harus yang sesuai dengan kriterianya. Ada honornya. Bisa part-time. Kalau tidak bisa paruh waktu, yang penting tidak menyita waktu kuliahnya. Tidak jauh dari tempat tinggal. Dan beberapa jenis pekerjaan sudah memenuhi kriterianya itu. Tapi belum tentu juga pekerjaan-pekerjaan itu menerimanya.
Guru les privat, operator warnet, pelayan rumah makan, operator fotocopy, dan sebagainya sudah pernah dicatatnya. Bahkan, untuk guru les privat, ia sudah memasukkan lamaran kerjanya. Namun ia harus menanti antrian sejak dua bulan yang lalu.
"Nanti kalau ada murid yang mendaftar, saya akan hubungi," ujar bagian administrasi salah satu lembaga les privat yang pernah ia temui. Mau tidak mau, ia pun meati bersabar sambil menghitung hari ala Krisdayanti.
Nada dering handphonenya tiba-tiba berbunyi. Sebuah pesan singkat masuk.
"Imam, gmna? Jd ndak sy ksh frmlir.a? Sy sdh ad d kmpus." Sms dari Ika.
Oh ya, ia akhirnya teringat dengan janjinya. Ia harus mengisi sebuah formulir untuk keperluan registrasinya di diklat jurnalistik minggu depan.
"Ok. Tunggu 15mnt ya." balasnya.
Kali ini tekadnya juga sudah bulat untuk bisa menimba ilmu "menulis". Apalagi setelah tahun lalu keinginannya itu tertunda lantaran tidak memiliki uang untuk registrasi. Dan tahun ini, ia harus bisa mengikuti diklat tersebut, dengan iming-iming pemateri dari berbagai media lokal di kotanya.
"Ya, kali ini aku harus ikut." gumamnya.
...to be continued
--Imam Rahmanto--
0 comments