Menikmati Kesunyian di Ujung Pulau (part 2)

Juni 11, 2012

Baca Juga

Wah, jam tidur saya sebenarnya masih belum cukup. Katanya, tidur yang sehat itu adalah sekira 8 jam sehari. Akan tetapi, gara-gara semalam habis menjalani musyawarah kerja dengan teman-teman LPPM Profesi, saya baru bisa tidur sejenak menjelang jam 5 lewat. Itupun tidur menggantung di titian ruangan. Beruntung, saya tidak celaka dan masih bisa bangun di jam pagi hari. Hehe... Sukses, tidur hanya satu jam...


Tentunya, tidak lengkap rasanya jika tidak menikmati pantai yang mengelilingi PPLH Puntondo ini. Teluk Laikang, laut sepanjang pantai yang akan menjadi tujuan jalan-jalan saya. Beberapa teman lainnya, yang berhasil bangun pagi dan tidak ingin melewatkan kesempatan di pagi hari, sudah lebih dahulu kesana dan bernarsis-narsis ria. Sekali saja, tidak ada yang ingin melewatkan momen di pinggir pantai begitu saja.

Salah seorang teman saya sedang hunting foto di sepanjang bibir pantai Teluk Laikang. (Profesi)
 Menemukan jalanan ke pinggir pantai cukup mudah. Saya yang baru bangun (dengan badan pegal bergulat di titian) dituntun oleh suara-suara riang teman-teman saya. Tidak butuh waktu lama, apalagi letaknya persis di belakang areal PPLH, saya bisa menemukan pinggiran laut itu yang hanya dibatasi oleh pagar-pagar kayu pekarangan Puntondo. Ditambah pula dengan suara-suara ombak kecil yang menghempas di pinggiran pantai.

Matahari tidak begitu terik ketika saya berjalan di sepanjang pantai itu. Pantai disini berbeda dengan pantai-pantai yang selama ini saya kunjungi yang memang menjadi tujuan wisata atau jalan-jalan. Karena lokasi pantai disini menjadi cagar pelestarian mangrove (tanaman bakau), maka area ini benar-benar dijaga. Tidak untuk keramaian. Wajar, suasana yang didapati, sunyi. Di beberapa titik, saya mendapati bibit-bibit tanaman bakau yang terlihat baru saja ditanam, yang hanya dibatasi oleh batuan-batuan kapur. 

Bibit bakau. (Profesi)

Sejauh mata memandang, pantai berpasir putih ini sungguh menenangkan. Semilir angin pagi benar-benar menjadi sebuah terapi. Air laut yang bening membuat mata bebas memandang tanaman-tanaman di bawahnya. Kepekatan air lautnya pun sangat berbeda dengan pantai-pantai pada umumnya. Menurut saya, kadar garam di laut ini tidak begitu tinggi. sekilas saja memandang airnya, nampak seperti air tawar biasa. Namun ketika saya mencoba sekadar mencicipinya, barulah terasa asin layaknya air laut pada umumnya. Pasir-pasir putihnya pun masih terlihat alami bercampur dengan pecahan-pecahan koral kecil atau kerang laut. Kaki telanjang yang berjalan di atasnya akan terasa tertusuk-tusuk oleh pecahan-pecahan koral itu. Tapi menyenangkan. Saya juga bisa melihat lubang-lubang (yang baru saya tahu) ternyata bekas-bekas galian kepiting. Binatang-binatang itu baru keluar di malam hari, katanya.

Sepanjang pantai, jejeran batu membatasi tiap dua-tiga meter dari pantai. Di sisi dalam, dedaunan-dedaunan yang berguguran dari pantai menggenang. Di sisi satunya lagi, disitulah didapati air laut yang bening. Perkiraan saya, jejeran batu itu sengaja dibuat agar sampah-sampah di pinggiran pantai tidak masuk mengotori laut Teluk Laikang. Maka wajar, laut-laut disana sangat bersih dari sampah. Oh ya, batu-batuan itu pula yang bisa jadi titian menikmati pemandangan di sekitar pantai itu, baik sekadar berfoto ria, maupun jalan-jalan sambil menikmati hilir-mudik perahu-perahu nelayan yang pulang dari melaut. Tak jarang (dan sudah jadi kebiasaan), saya melihat penampakan-penampakan teman-teman saya berpose ala fotomodel siap dijepret.

Di ujung perjalanan kecil saya, sekumpulan rerimbunan tanaman bakau di pinggir laut menjadi latar belakang yang menarik jika ingin berfoto. Bakau-bakau itu pula yang kemudian menjadi pembatas wilayah untuk keperluan snorkeling.


Menjajal Snorkeling

Siap-siap nyebur. (Profesi)
Pernah bermain snorkeling? Sekalipun saya belum pernah. Saya hanya sering mendengarnya dari televisi-televisi dan beberapa media lainnya. Snorkeling berkaitan dengan menyaksikan keindahan bawah laut sambil menyelam dan sebagainya. Saya (pada mulanya) menganggap snorkeling itu mirip dengan diving. Namun pada kenyataannya berbeda. Keduanya memang sama-sama menikmati keindahan bawah laut. Bedanya, jika diving menikmatinya dengan menyelam memanfaatkan perlengkapan selam dan sejenisnya, maka snorkeling hanya sebatas mengapung di perairan memanfaatkan pelampung dan snorkel (sejenis kacamata renang dan pipa untuk bernapas) untuk menyaksikan penampakan bawah laut.


Nah, berkunjung di lokasi perkampungan nelayan ini, kami diberi kesempatan untuk menjajal snorkeling. Tentu saja, untuk menikmatinya tidaklah gratis. Banyaknya anggota kelompok LPPM Profesi mengharuskan kami dibagi ke dalam beberapa kelompok. Pasalnya, speedboat yang menjadi jalan satu-satunya ke lokasi snorkeling hanya bisa dimuat oleh 10-15 orang saja. Perlengkapan snorkeling yang tersedia pun hanya ada 10 unit. Jadilah kami harus menunggu beberapa antrian.


Sore itu, cuaca sebenarnya menandakan akan hujan. Awan mendung menggumpal di langit sebelah barat. Matahari pun agak redup, seperti malu-malu memancarkan sinarnya. Namun, kami sudah kepalang tanggung ingin menikmati rasanya ber-snorkeling ria. Dan petugas yang mengantarkan kami tidak sedikitpun melarang perihal cuaca itu. Mereka sudah berpengalaman.


Wuzz, deru mesin speedboat bercampur dengan celoteh riang kami. Rasa penasaran seakan mengantarkan kami tak henti-hentinya berbicara di atas kapal. Dengan lincahnya, kami berebut perlengkapan yang ada di atas kapal. Satu-tiga orang, malangnya, tidak kebagian perlengkapan. Ya sudah, nunggu giliran. Ombak-ombak yang menggulung seakan mengguncang kapal cepat kami. Naik turun, oleng kiri-kana, menambah sensasi "menantang" di atas kapal. Ditambah lagi, teriakan-teriakan kegirangan kami yang mewarnai setiap loncatan kapal di atas ombak. "Waow!! Woi!"


Kapal berhenti sekitar satu kilometer jauhnya dari bibir pantai. Kedalaman yang tepat, menurut petugasnya, untuk bersnorkeling. Kami harus bersiap untuk kedalaman dua meternya, termasuk saya yang sama sekali tidak pandai berenang. Tapi, rasa penasaran menjajal pengalaman baru itu seakan mendorong saya untuk tetap memberanikan diri. Lha wong, kita juga pakai pelampung kok. 
Para kru Profesi sedang menikmati snorkeling berbekal pelampungnya. (Profesi)

Usai mendapatkan pengarahan dari pengemudi speedboat, kami langsung menceburkan diri begitu saja ke laut. Melalui snorkel, saya bisa melihat pemandangan bawah laut yang cukup mengagumkan, meskipun hanya sebatas karang-karang laut. Saya jarang menemukan ikan-ikan atau hewan laut yang melintas di bawah kami. Sensasi mengapung di tengah laut begitu memacu adrenalin. Saya merasa diombang-ambingkan oleh ombak yang menggulung. Tidak besar memang, tapi itu cukup untuk membuat saya "berkonsentrasi" dengan posisi terapung saya. Sedikit-sedikit, air garam masuk ke kerongkongan saya. Asin.

Sekilas, saya melihat teman-teman yang lain juga berkutat dengan "terapung"nya. Suara-suara teriakan mereka pun terdengar jelas di telinga, berseling dengan air laut di sekeliling kepala saya. Tidak jarang, saya mendengar teriakan-teriakan takut sebagian yang lainnya. "Hei, saya mau tenggelam!" teriaknya. Sambil tetap bertahan di posisi saya (karena tidak bisa berenang), saya hanya bisa tertawa melihat tingkah mereka. Ada pula yang menceburkan diri tanpa perlengkapan snorkel, karena terbiasa berenang.  

Sudah kebiasaan berenang nih. (Profesi)

Sejam berlalu, snorkeling harus berakhir. Dingin dan menggigil benar-benar menyertai saya. Kulit pun terasa pekat akibat direndam air laut. Rambut acak-acakan "kaku" oleh air laut. Pun, pakaian harus basah semua. 

Akan tetapi, kepuasan bersnorkeling telah tercapai. Yang ada kini, derai tawa dan pengalaman baru bercerita sensasi snorkeling masing-masing. Sungguh, perjalanan jauh nan mencekam ke PPLH Puntondo terbayar sudah. Dan akhirnya, PPLH Puntondo bisa menjadi alternatif objek wisata bagi Anda yang tertarik menghabiskan waktu di pinggir laut. Alami dan bersih.





--Imam Rahmanto--

You Might Also Like

2 comments