Aku, Segelas Cappuccino (Season 2 - Part 2)

Juni 28, 2012

Baca Juga


Pagi ini aku menemaninya. Bukan di kamarnya, melainkan di kamar salah seorang temannya. Waktu libur, ia banyak menghabiskan waktunya dengan bercengkerama bersama sahabatnya. Bercerita mengenai banyak hal. Dari waktu seperti ini aku juga banyak mendapatkan jejak-jejak hidup Bintang.

“Kamu mimpi tentang itu lagi ya?” tanya Andi, seperti biasa.

“Iya,” keluhnya, “Tak tau kenapa mimpi itu selalu muncul sejak kejadian tempo hari,” Bintang memutar-mutar gelasnya.

Aku tidak begitu mengerti apa yang barusan dikatakannya. Mimpi? Lalu kenapa aku sama sekali tidak tahu. Tak satu pun mimpinya yang seharusnya luput dariku. Aku mampu menggali kedalaman hatinya. Tapi mengapa untuk mimpinya yang satu ini aku tak mampu menggapainya? Ada yang aneh.

“Sudah berapa kali mimpi itu menghantuimu?” tanyanya lagi.

“Entahlah,”

“Sudah tak terhitung lagi tampaknya,” Ia masih memutar-mutarku. Ia sepertinya tidak berniat untuk menghabiskanku. Perasaanya sedang tak menentu memandangi setiap inci busaku.

“Sudahlah, mungkin itu hanya mimpi-mimpi buruk. Bukan hal yang patut dipikirkan,”

“Tapi, mimpi itu begitu nyata di kepalaku. Lalu…bagaimana bisa mimpi-mimpi itu terulang lagi setiap hari?” Ia meminta penjelasan meskipun ia sendiri sadar tak akan mendapatkan penjelasan apapun dari Andi. 

Hening. Seperti inilah yang mungkin dimaksud dead air. Tak ada yang bersuara, meski hanya seekor cicak yang menumpang lewat melintas di atas kepala mereka. 

Bintang mengangkat gelasnya. Aku bersiap untuk diminumnya. Aku tahu, ia berharap aku bisa menenangkannya. Padahal aku sendiri tidak tahu apa yang sedang mengganggu pikirannya, menghantui malam-malamnya.

“Kau tentu tahu, ia sudah dimiliki oleh orang lain. Dan kau sendiri sudah membuktikannya. Bahkan menerima sendiri pernyataan langsung darinya. Lalu, apa lagi yang kau harapkan darinya?” Andi mulai kesal dengan kondisi Bintang. Ia sudah kehabisan cara untuk membantu temannya yang satu ini. Aku juga ingin membantumu. 

“Kau selalu memimpikan dia. Bermimpi buruk tentang dia. Mengingat dia. Tak bisa melupakan dia. Kenapa sih segalanya tentang dia? Ayolah, cobalah menyisihkan hatimu untuk yang lain,” suara Andi agak meninggi. Kesal. Aku bisa memperkirakan, seandainya Bintang bukan sahabatnya, mungkin ia sudah melayangkan pukulannya dari tadi. 

Samar-samar, aku tahu apa yang dipikirkannya. Jika ia berbicara tentang dia, maka aku tahu. Pantaslah jika seminggu terakhir ini aku merasakan sesuatu yang berbeda dari caranya mengecupku. Tidak sepenuh hati. Pelan, tapi memikirkan sesuatu. Jauh menerawang.

Aku baru ingat, setiap malam ia selalu terbangun tiba-tiba. Tak soal jika yang membangunkannya adalah para hewan penghisap darah, karena memang setiap kamar disini sangat sulit terhindar dari mereka. Namun, aku sadar, bukan hal itu yang menyentaknya. Ada mimpi yang begitu menyiksanya. Tapi entah mengapa aku tak bisa menembus mimpi itu seperti ketika aku mengacak-acak hatinya. 

“Ayolah, biarkan aku masuk,” ujarku selalu. Sekali lagi, aku tahu, ia tak akan mendengarku. Dan setiap ia bercerita dengan Andi, aku hanya selalu menjadi pendengar setia. Dan tahukah kalian? Aku sama sekali tak mampu mencerna cerita kedua orang sahabat itu. Lamat-lamat aku hanya mendengar istilah cinta. Kata itu lagi. Sesuatu yang tidak aku mengerti.

Aku bingung. Aku ingin bertanya. Percuma. Karena ketika aku menanyakannya pada Kopi, minuman yang lebih tua dariku, ia menggeleng tanda tak mengerti.

“Aku tak tahu, Cappie… Hanya kau sebenarnya yang labih tahu akan hal itu.Kaulah yang selalu menemaninya. Sedangkan aku? Aku kan minuman yang paling dibencinya,” Kopi bersuara sesaat ia diseruput oleh Andi. Masih dalam kamar yang sama.

“Kau mungkin benar,” Aku berucap lirih.

Mungkin, sudah tiba saatnya aku harus bercerita tentang nama itu. Aku ingin berjudi, akankah ketika kuceritakan satu nama itu, maka kudapatkan pula mimpi-mimpi yang selama ini menghantui malam-malamnya? Ataukah aku akan menemukan arti dari kata cinta? Karena ia tidak menyadari keberadaanku, hanya sebatas Cappuccino baginya, maka biarkan kisahnya kubagi dengan kalian.


…to be continued.

--Imam Rahmanto-- 

You Might Also Like

0 comments