Membaca Novel VS Menonton Novel
Maret 26, 2010Baca Juga
Beberapa hari yang lalu, saya baru selesai membaca sebuah novel, yang sebenarnya sudah pernah saya tonton film layar lebarnya (sudah lama), judulnya “Jomblo.” Tidak ada rasa bosan bagi saya untuk membaca novelnya, meskipun saya sudah pernah menontonnya.
Banyak orang yang berpendapat bahwa “menonton novel” (novel yang difilmkan, red) lebih menarik ketimbang membaca novelnya. Padahal membaca novel - beratus-ratus halaman – memiliki seni tersendiri. Mungkin saja bagi mereka yang tidak suka membaca buku menganggap bahwa menonton akan lebih efektif.
Apa sich istimewanya membaca novel? Wah, bagi saya membaca novel itu lebih memberikan kenikmatan tersendiri saat berusaha untuk mendalaminya. Semua adegan di dalam novel tidak semuanya ter-trasformasi-kan dengan jelas di dalam sebuah film. Ada adegan-adegan yang harus di-cut demi mengefisienkan waktu atau durasi film. Jika film dibatasi oleh durasinya (sekitar 2 jam atau lebih), lain halnya dengan novel. Penulis novel tidak pernah dibatasi oleh berapa halaman novel yang mesti dibuat. Berapa banyak halaman yang ditulis oleh si penulis untuk mengakhiri ceritanya, maka sebanyak itu pula lah halaman yang akan diterbitkan. Film, sih dibatasi oleh durasinya.
Selain itu, semua tulisan dalam novel lebih menjelaskan secara detail mengenai seluk beluk gejolak jiwa atau perasaan sang tokohnya. Hal ini dapat dideskripsikan sendiri oleh penulis (sebagai tokoh maupun sebagai orang ketiga). Sehingga pembaca akan lebih terhanyut, baik secara lahir maupun secara batin dalam tiap adegan novel. Dalam sebuah film, tidak akan memungkinkan jika semua hal seperti itu secara langsung diungkapkan lisan maupun tulisan. Semua yang berhubungan dengan batin sang tokoh akan diungkapkan secara tersirat melalui gerak-gerik dan mimik tokohnya. Masing-maisng orang memiliki penafsiran yang berbeda-beda terhadap hal yang diungkapkan secara tersirat.
Meskipun (menurut saya), membaca novel memiliki keistimewaan tersendiri disbanding menonton filmnya, akan tetapi tidak bisa dipungkiri pula bahwa menonton film memiliki kelebihan. Melihat secara langsung setiap adegan-adegan yang terjadi menghindarkan para penikmatnya dari imajinasi yang berlebihan. Semua visualisasi novel dapat terlihat secara jelas dalam sebuah film. Sehingga para penikmatnya tidak perlu berimajinasi terlalu jauh. Segala kejadian, konflik, setting, ataupun wajah sang tokoh dapat terlihat dengan jelas. Membaca novel, kita sebagai pembaca dituntut untuk mampu berimajinasi berdasarkan deskripsi penulis. Tingkat imajinasi setiap orang berbeda-beda, sehingga tidak semua orang memiliki imajinasi yang sama terhadap deskripsi yang diberikan.
Sebenarnya, dengan membaca novel diiringi menonton filmnya (tidak dilakukan bersamaan, lho) akan lebih baik. Semua pemggambarannya akan termaknai secara utuh. Masing-masing akan saling menutupi kelemahan.
Contohnya, ketika saya pertama kali menyaksikan film “Harry Potter and The Sorcerer Stoner” (seri 1) di layar televisi.
Beberapa minggu kemudian , ketika saya browsing di internet, saya menemukan e-book Harry Potter dari 1-7 (sebenarnya saya lebih menginginkan bukunya yang asli). Di saat saya membaca seri novel yang belum difilmkan, semua ingatan saya tentang setting, wajah sang tokoh, mengacu pada film yang pernah saya saksikan. Sehingga tidak mendorong saya untuk mengimajinasikan semua adegannya terlalu jauh. membaca novelnya terasa menonton filmnya. Novelnya yang belum difilmkan, bisa saya tonton dalam imajinasi saya. Menonton filmnya memberikan saya keterangan akan berbagai visualisasinya. Sangat berbeda jika kita hanya membaca novelnya (hanya bisa mengira-ngira).
Membaca novel beserta filmnya memang lebih baik, jika kita sempat melakukannya. Hanya saja, ada orang yang lebih menyukai salah satunya saja. Di satu sisi, ada yang tidak memiliki waktu luang (malas) untuk membaca novelnya. Di sisi lain, ada yang tidak memiliki waktu dan uang untuk menonton filmnya di bioskop (sebenarnya sih tidak mesti di bioskop). Tapi, lebih baik jika kita pilih keduanya, saling melengkapi, kan? Meskipun hidup adalah sebuah pilihan (gak nyambung, deh). Ok, selamat memilih!!
Banyak orang yang berpendapat bahwa “menonton novel” (novel yang difilmkan, red) lebih menarik ketimbang membaca novelnya. Padahal membaca novel - beratus-ratus halaman – memiliki seni tersendiri. Mungkin saja bagi mereka yang tidak suka membaca buku menganggap bahwa menonton akan lebih efektif.
Apa sich istimewanya membaca novel? Wah, bagi saya membaca novel itu lebih memberikan kenikmatan tersendiri saat berusaha untuk mendalaminya. Semua adegan di dalam novel tidak semuanya ter-trasformasi-kan dengan jelas di dalam sebuah film. Ada adegan-adegan yang harus di-cut demi mengefisienkan waktu atau durasi film. Jika film dibatasi oleh durasinya (sekitar 2 jam atau lebih), lain halnya dengan novel. Penulis novel tidak pernah dibatasi oleh berapa halaman novel yang mesti dibuat. Berapa banyak halaman yang ditulis oleh si penulis untuk mengakhiri ceritanya, maka sebanyak itu pula lah halaman yang akan diterbitkan. Film, sih dibatasi oleh durasinya.
Selain itu, semua tulisan dalam novel lebih menjelaskan secara detail mengenai seluk beluk gejolak jiwa atau perasaan sang tokohnya. Hal ini dapat dideskripsikan sendiri oleh penulis (sebagai tokoh maupun sebagai orang ketiga). Sehingga pembaca akan lebih terhanyut, baik secara lahir maupun secara batin dalam tiap adegan novel. Dalam sebuah film, tidak akan memungkinkan jika semua hal seperti itu secara langsung diungkapkan lisan maupun tulisan. Semua yang berhubungan dengan batin sang tokoh akan diungkapkan secara tersirat melalui gerak-gerik dan mimik tokohnya. Masing-maisng orang memiliki penafsiran yang berbeda-beda terhadap hal yang diungkapkan secara tersirat.
Meskipun (menurut saya), membaca novel memiliki keistimewaan tersendiri disbanding menonton filmnya, akan tetapi tidak bisa dipungkiri pula bahwa menonton film memiliki kelebihan. Melihat secara langsung setiap adegan-adegan yang terjadi menghindarkan para penikmatnya dari imajinasi yang berlebihan. Semua visualisasi novel dapat terlihat secara jelas dalam sebuah film. Sehingga para penikmatnya tidak perlu berimajinasi terlalu jauh. Segala kejadian, konflik, setting, ataupun wajah sang tokoh dapat terlihat dengan jelas. Membaca novel, kita sebagai pembaca dituntut untuk mampu berimajinasi berdasarkan deskripsi penulis. Tingkat imajinasi setiap orang berbeda-beda, sehingga tidak semua orang memiliki imajinasi yang sama terhadap deskripsi yang diberikan.
Sebenarnya, dengan membaca novel diiringi menonton filmnya (tidak dilakukan bersamaan, lho) akan lebih baik. Semua pemggambarannya akan termaknai secara utuh. Masing-masing akan saling menutupi kelemahan.
Contohnya, ketika saya pertama kali menyaksikan film “Harry Potter and The Sorcerer Stoner” (seri 1) di layar televisi.
Beberapa minggu kemudian , ketika saya browsing di internet, saya menemukan e-book Harry Potter dari 1-7 (sebenarnya saya lebih menginginkan bukunya yang asli). Di saat saya membaca seri novel yang belum difilmkan, semua ingatan saya tentang setting, wajah sang tokoh, mengacu pada film yang pernah saya saksikan. Sehingga tidak mendorong saya untuk mengimajinasikan semua adegannya terlalu jauh. membaca novelnya terasa menonton filmnya. Novelnya yang belum difilmkan, bisa saya tonton dalam imajinasi saya. Menonton filmnya memberikan saya keterangan akan berbagai visualisasinya. Sangat berbeda jika kita hanya membaca novelnya (hanya bisa mengira-ngira).
Membaca novel beserta filmnya memang lebih baik, jika kita sempat melakukannya. Hanya saja, ada orang yang lebih menyukai salah satunya saja. Di satu sisi, ada yang tidak memiliki waktu luang (malas) untuk membaca novelnya. Di sisi lain, ada yang tidak memiliki waktu dan uang untuk menonton filmnya di bioskop (sebenarnya sih tidak mesti di bioskop). Tapi, lebih baik jika kita pilih keduanya, saling melengkapi, kan? Meskipun hidup adalah sebuah pilihan (gak nyambung, deh). Ok, selamat memilih!!
0 comments