CERPEN: Kecelakaan Itu...
Maret 26, 2010Baca Juga
Malam ini langit begitu cerah. Tiada satu pun awan yang menutupi pemandangannya. Menjadikan sinar purnama menyebar merata ke seluruh penjuru kota ini. Bintang-bintang di sekitar bulan pun tak kalah terangnya ikut menyemarakkan suasana malam ini. Para bintang juga saling berkumpul membentuk sebuah rasi bintang.
Pemandangan seperti itu hanya bisa aku lihat dari bawah sini. Di halte ini, aku sedang duduk menunggu sebuah bus dengan jurusan kota Kediri. Meskipun sudah malam, tak mengubah niatku untuk menuju ke rumah kawanku di Kediri. Sambil memegang tas ransel yang penuh dengan barang-barangku, aku menunggu bus itu dengan sabar.
Di ujung halte, seorang pria berdiri dengan setelan jas yang tampak rapi. Layaknya seorang karyawan di perusahaan besar, ia menenteng sebuah koper besar. Entah apa isinya. Sejak tadi ia menengok kesana kemari, seperti ingin memastikan sesuatu. Namun jika dilihat dari gelagatnya, ia tampaknya sedang melindungi isi koper itu dari tangan-tangan jahil.
Sejak tadi, aku sudah berada di halte ini bersama lelaki itu. Namun tidak ada sepatah kata pun yang keluar dari mulut lelaki itu. Tidak ada keakraban terjalin antara kami berdua. Aku pun seperti itu. Aku merasa sungkan berbicara dengan orang lain, jika orang lain kelihatan cuek denganku. Bagiku masa bodoh. Jadi, kubiarkan ia dalam kesendiriannya.
Aku melirik jam yang melingkar di pergelangan tangan kiriku. Waktu sudah menunjukkan pukul sepuluh malam dan belum ada satu pun bus yang berhenti di depan halte ini. Hanya beberapa dari kendaraan angkutan umum yang berhenti dan sempat menawarkan jasanya pada kami. namun tak satu pun dari kami yang bergeming menghiraukannya. Kendaraan-kendaraan pribadi juga tampak lalu-lalang di depan halte ini dengan memamerkan kemewahannya. Mereka seperti mengejek kami yang hanya duduk tak berguna di halte tua ini. Menunggu. Cukup lama. Sejak tiga puluh menit yang lalu.
Hal ini membuatku kecewa. Aku yang berencana pergi dari rumah, tiba-tiba merasa kalah sebelum berperang. Aku semakin benci dengan semuanya. Semua yang terjadi padaku. Semua yang ditimpakan padaku. Aku benci. Aku benci terhadap ayahku.
“Taufik, apa kamu tidak sadar? Kamu ini sudah dewasa. Sudah bisa membedakan mana baik, mana buruk. Apa gunanya coba, kamu bersekolah di sekolah Muhammadiyah, jika shalat saja kamu tidak pernah. Apa begitu yang diajarkan di sekolahmu itu? Bahkan kamu lebih suka keluar keluyuran bersama teman-temanmu yang tidak jelas darimana asalnya.”
Aku teringat dengan kata-kata ayahku. Hal seperti itulah yang selalu diungkapkan oleh ayahku. Meskipun menurut ayah itu adalah sebuah “nasehat”, namun bagiku, ayah telah meremehkanku. Tidak pernah sekalipun ia mendukung kegiatanku keluar bersama kawan-kawanku.
Ibuku yang begitu sabar hanya berusaha untuk menjaga emosiku. Dia selalu berusaha menenangkanku.
“Sudahlah, nak. Bapakmu memang begitu. Jangan terlalu diambil hati. Bagaimanapun, kan bapakmu mau yang terbaik buat kamu.” kata ibu padaku.
Selama ini, aku bisa bersabar dengan kata-kata ayahku. Aku bisa menutup telinga darinya. Ibuku pun dengan sabarnya menenangkanku. Aku hanya menganggap semua nasehat ayahku sebagai angin lalu saja. Namun kejadian kemarinlah yang telah membawaku untuk duduk tak berguna di halte tua ini.
“Taufik, jam segini kamu baru pulang?”
Suara ayah waktu itu mengagetkanku. Ia ternyata masih terjaga di ruang keluarga sambil menonton sebuah acara TV.
“Pulang dari mana?” tanya ayahku.
“Clubbing bersama teman-teman, Pak.”
Aku menjawab dengan santainya. Padahal aku tahu ayah sangat tidak suka dengan kata-kata seperti itu.
“Setiap hari kamu pulang jam segini. Keluar malam keluyuran dengan teman-temanmu. Masih untung kamu tidak mabuk-mabukan. Tapi mungkin ke depannya kamu malah lebih parah.” lanjut ayahku.
“Sudahlah, Pak. Bosan aku dengar ocehan Bapak.”
Kata-kata itu secara setengah sadar aku lontarkan pada ayahku. Tentu saja hal itu membuatnya naik darah.
“Apa?! Kamu sudah mulai melawan, ya?!” teriak ayah sambil berdiri dari duduknya.
Untung saja ayahku adalah salah satu tipe orang tua yang sabar. Ia sama sekali tidak pernah menunjukkan kekerasan fisik pada anak-anaknya. Mungkin hal itulah yang membuatku begitu lancang berkata seperti itu.
“Kalau kamu memang sudah bosan mendengar ocehan bapak, berarti itu tandanya kamu tidak butuh bapak lagi!! Jadi, ada baiknya kamu pergi saja dari rumah ini!!” seru ayahku.
Aku terkejut mendengar kata-kata ayahku. baru kali ini aku mendapat kata-kata yang begitu berani dari mulut ayahku. Tatapan matanya pun begitu tajam menatapku.
Sekarang, aku tidak bisa lagi membedakan antara kebenaran kata-kata ayah. Bagiku, ayah berkata serius.
“Terserah Bapak!” tantangku sambil berjalan menuju kamarku.
Aku sudah tidak peduli lagi dengan apa yang akan dikatakan oleh ayahku. Aku juga sudah tidak peduli lagi apakah dia akan marah padaku. Aku terus berlalu begitu saja. Selanjutnya yang kudengar dari dalam kamarku hanyalah suara ibuku di ruang keluarga bersama ayahku.
Suara sebuah kendaraan besar berhenti di depan halte menyadarkanku. Bus dengan jurusan Kediri. Perasaanku yang sejak tadi tidak karuan akhirnya menjadi lega. Aku meraih tas di sampingku dan segera naik ke atas bus.
Dari luar bus, terlihat masih banyak kursi-kursi kosong menunggu. Hanya beberapa kursi di dalam bus yang terisi oleh penumpang. Mungkin saja bus ini belum berpergian begitu jauh.
Aku mendahulukan pria dengan koper itu. Tas ranselku yang agak besar kukenakan sambil berjalan naik ke atas bus. Aku harus berhati-hati berjalan di dalam bus agar tas ranselku tidak mengenai penumpang yang lain.
Tanpa menunggu waktu lama, bus kembali melaju. Aku pun telah menemukan tempat yang cocok dennganku. Di pertengahan bus ini dan tepat di samping jendela bus. Tas yang kukenakan kurebahkan di depan kakiku agar lebih aman.
Aku memilih duduk di samping jendela agar aku bisa menikmati pemandangan jalan-jalan kota. Sejak kecil, aku lebih suka duduk di samping jendela mobil. Selain bisa melihat pemandangan kota, aku pun bisa banyak mengambil pelajaran dari situ. Saking seringnya aku memandang jalan-jalan kota, aku pun terlalu peka melihat para gelandangan dan pengemis berkeliaran di jalanan. Aku sering merasa iba melihat keadaan mereka. Mereka yang harus bekerja keras demi sebagai penopang keluarga. Mereka yang tak punya ayah sebagai pencari nafkah. Sedangkan aku, masih beruntung mempunyai ayah yang begitu sabarnya….
Entah mengapa, tiba-tiba saja pikiranku terpaut pada ayahku. Sesuatu hal telah membawanya. Padahal pikiran inilah sendiri yang telah membawaku menjauh dari ayah dan ibuku.
Perlahan demi perlahan keraguan mulai muncul dari diriku. Berbagai pertanyaan muncul silih berganti dalam pikiranku. Ada apa denganku? Aku mulai khawatir memikirkan ayah dan ibuku. Seandainya mereka khawatir memikirkan keadaanku…
Terutama ayahku. Meskipun karena dialah aku berada disini sekarang, namun aku tahu, ia tidak mungkin serius mengusirku dari rumah. Bagaimanapun, aku tahu sifat ayah. Mungkin saja saat itu aku pun tidak sempat berpikir seperti ini karena pikiranku telah tertutup emosi.
Aku mulai berpikir, semua kesalahan terletak padaku. Di saat pikiran bersalah ini mulai muncul, pikiran lain kembali menutupinya. Semuanya sudah terlanjur terjadi. Nasi sudah menjadi bubur. Yang penting kini, aku harus sampai di rumah Andi. Aku sementara akan menetap disana.
Aku mengalihkan pandanganku dari jendela. Berganti mengamati seisi bus. Ternyata tanpa kusadari, bus sudah penuh. Hanya sekitar lima oarng yang masih terlihat berdiri karena tidak menemukan tempat untuk duduk. Mereka memutuskan untuk berdiri di tengah-tengah bus sambil memegang gantungan di langit-langit bus.
Di sampingku, duduk seorang ibu yang sedang menyusui anaknya. Anaknya begitu tenang di pangkuan ibunya. Ia tidak rewel. Padahal suasana di dalam bus ini cukup panas. Beberapa dari penumpang lain bahkan ada yang menyalakan kipas angin mini untuk menetralkan suasana.
Beberapa kali terasa bus berhenti. Setiap kali bus berhenti, beberapa orang di dalam bus terlihat bersiap-siap untuk turun. Ada pula penumpang yang baru naik dari halte., sehingga jumlah penumpang di dalam bus ini silih berganti. Sekarang jumlah penumpang di dalam bus ini bertambah beberapa orang. Semakin banyak penumpang yang berdiri.
Diantara penumpang-penumpang yang berdiri, terlihat seorang kakek tua begitu kelelahan untuk berdiri. Umurnya sekitar umur 60-an. Tempatnya berdiri begitu sesak oleh penumpang lain yang mempunyai badan lebih besar darinya. Ia sempat tersenggol kesana kemari oleh penumpang di sekitarnya.ketika bus melaju menikung mengikuti jalan. Aku merasa iba melihatnya.
Karena kepekaanku itulah, aku memutuskan untuk menawarkan tempatku pada kakek itu. Aku kemudian berdiri dan menuju ke tempat kakek itu.
“Kakek!” sapaku sambil memegang tangannya.
Ia tampak terkejut. Mungkin saja ia mengira aku seorang pencopet. Tapi aku berusaha untuk meyakinkannya.
“Maaf, Kek. Mungkin kakek ada baiknya duduk disana saja.” ucapku pada kakek seraya menunjukkan tempat duduk yang hanya berjarak sekitar satu baris dari tempatnya berdiri.
Tiba-tiba ia tersenyum. Ia terlihat senang menerima tawaranku.
“Terima kasih, Nak.” jawabnya.
Aku mengantarnya berjalan di dalam bus.
“Sekali lagi terima kasih ya, Nak. Ternyata masih ada anak muda sebaik kamu.” ucap kakek itu setelah duduk.
Aku mendesah di dalam hati. Kakek ini tentunya tidak tahu masalah yang sedang kuhadapi. Pikirku dalam hati.
“Jangan sungkan, Kek.” balasku.
Aku berdiri bersama penumpang lain yang sedari tadi berdiri. Aku berdiri tidak terlalu jauh dari tempatku tadi, sehingga aku masih bisa berbincang dengan kakek itu. Aku memutuskan untuk menyimpan tasku di atas rak-rak penyimpanan di langit-langit bus.
“Kalau boleh tahu, anak mau kemana?” tanya kakek itu memulai pembicaraan.
“Mau ke rumah teman, Kek. Mau menginap sementara disana sambil mengerjakan tugas.” jawabku dengan sedikit berbohong.
Aku pun tidak mungkin menceritakan yang sebenarnya padanya. Ia orang asing yang baru kukenal beberapa menit yang lalu.
“Jauh, ya, tempatnya?"
“Tidak jauh, Kek. Ini sudah dekat.”
Aku berusaha menutup-nutupinya. Aku tidak mau membuatnya merasa bersalah duduk di tempatku.
Beberapa menit kemudian, kakek itu tidak menanyakan apa-apa lagi. Kami terdiam larut dalam aktivitas masing-masing. Ia duduk dengan tenangnya dan aku berdiri sambil tetap bertahan dari guncangan-guncangan jalan.
Sekian lama aku menatapnya, ia hanya tersenyum dan kembali diam di tempatnya. Tiba-tiba ada hal aneh yang terjadi. Dari luar bus terdengar suara benturan keras. Bus yang sedari tadi melaju dengan kencangnya, oleng seketika. Membuat para penumpang di dalam bus berteriak satu sama lain. Semua penumpang bus kelihatan panik. Mereka berusaha untuk menjaga diri sendiri. Tanpa sempat memikirkan orang lain.
Bus yang terasa oleng, terasa melayang di udara dan berbalik sembilan puluh derajat. Bagian depan, tempat supir mengemudi, berubah menjadi bagian bawah seketika itu. Seluruh penumpang yang berdiri, termasuk aku, terlempar ke belakang bus. Terasa ada tekanan yang mendorongku. Aku merasakan benturan keras di sekujur tubuhku.
Di saat semua penumpang panik dan ketakutan, aku sempat melihat si kakek. Ekspresinya begitu berbeda dengan penumpang yang lain. Ia tidak panik. Bahkan, ia tersenyum padaku dengan begitu tenangnya. Tapi aku tidak begitu mempedulikannya. Aku harus berpikir cepat untuk bertahan.
Selanjutnya, aku hanya sempat melihat sungai dengan batu-batunya dari jendela. Telingaku pun begitu jelasnya mendengar suara benturan yang mengakibatkan kaca-kaca jendela bus pecah berantakan. Aku sempat merasakan percikan air mengenai wajahku.
Dan akhirnya teriakan-teriakan di dalam bus menghilang seketika. Pandanganku pun menghilang begitu cepatnya......
Keningku terasa basah. Perlahan-lahan aku mencoba untuk membuka mata. Sangat sulit. Keningku yang basah kuusap dengan tanganku. Agak kabur terlihat olehku, cairan kental yang berbau amis.
Sayup-sayup aku mendengar suara air yang mengalir. Mungkin sebuah sungai. Aku sedang berada di dekat sungai. Terbaring tak berdaya. Semakin kucoba untuk bangkit, semua badanku terasa sakit. Penglihatanku agak kabur saat ini dan di sekujur tubuhku aku merasakan sakit yang bagitu dalam hingga mencapai tulang-tulangku. Aku memperkirakan ada beberapa bagian tulangku yang patah.
Aku memandangi sekitarku dengan penglihatan yang agak kabur. Di seberang sana, aku melihat sebuah bus berwarna putih terbalik dan terbakar. Kobaran apinya cukup terang sehingga mampu menerangi sekitarnya. Sekilas aku teringat kejadian yang baru saja aku alami.
Aku memandang ke arah lain dan ternyata ada seeorang yang sedang berdiri di samping tempatku terbaring. Aku berusaha mengenali wajahnya. Meskipun agak kabur, aku masih bisa melihatnya. Dibantu dengan cahaya kobaran api yang menyala-nyala. Raut wajahnya yang tua. Wajahnya yang selalu tersenyum melihatku dan……dia……adalah kakek yang berada di dalam bus itu. Aku mengenalinya, aku tahu siapa dia.
“Renungi dan sadari” kata kakek itu kemudian, sambil tetap berdiri dan menatapku dengan senyumnya yang begitu ramah.
Aku mendengar kata-katanya begitu pelan. Aku tidak mengerti maksudnya. Namun di saat aku ingin mencoba untuk berbicara, pandanganku kembali mengabur. Aku kembali kehilangan kesadaranku……
“Semoga saja Taufik tidak apa-apa, ya, Pak?”
“Kita berdoa saja, Bu.”
Sedikit demi sedikit aku bisa mendengar suara itu. Suara yang sangat kukenal. Ayah dan Ibuku.
Mataku perlahan-lahan terbuka. Semua pandanganku serba putih. Langit-langit yang berwarna putih. Meja putih. Dinding putih. Semuanya berwarna putih. Aku bisa menebak, aku sedang berada di rumah sakit.
Di sampingku, ayah dan ibuku duduk menungguiku. Aku tidak tahu sejak kapan mereka berada disitu. Kedua adikku berada di samping ibuku dengan wajah yang murung. Tapi raut muka mereka berubah tatkala melihatku siuman.
“Taufik, kamu sudah sadar, Nak. Syukurlah!” seru ibuku sambil bermunajat.
Mata ibuku berkaca-kaca sambil memegangi tanganku. Begitu pula dengan ayahku. Ia terlihat memegangi pundak ibuku, berusaha untuk menenangkannya.
“Bapak, maafkan aku, ya.” kataku.
Kata-kata itulah yang pertama keluar dari mulutku saat melihat ayahku. Dan sepantasnya lah kata-kata itu kuucapkan sejak dulu.
“Tidak apa, Nak. Bapak juga yang salah.” ujarnya sambil mengusap kepalaku.
Ayahku terlihat begitu berwibawa bagiku. Bahkan di saat anaknya telah menentangnya, ia masih menjadi orang yang sabar. Aku semakin menyesal telah membuat ayah marah. Aku semakin kalah dengan ayah.
Sudah sehari aku berada di rumah sakit ini. Sejak aku pertama kali sadar kemarin. Ayah dan ibuku begitu rutin menjengukku, sehingga aku pun tidak begitu kesepian. Sesekali mereka membawa adik-adikku untuk menemaniku.
Aku pun sudah semakin akrab dengan ayahku.
Hari ini ayah dan ibuku belum datang menjengukku. Mungkin sekitar sejam lagi mereka baru akan datang. Aku berusaha mencari kegiatan agar tidak merasa bosan terbaring dengan selang infus di pergelangan tanganku.
Tiba-tiba pandanganku tertuju pada sebuah surat kabar di atas meja yang berada di samping tempatku terbaring. Aku mengambilnya. Membolak-balik satu per satu halamannya.
Aku kemudian dikejutkan dengan sebuah headline di surat kabar tersebut.
“SEORANG PEMUDA SELAMAT DARI KECELAKAAN BUS”. Aku memutuskan untuk membacanya.
“……Jumat, dini hari. Sebuah bus dengan jurusan Kediri mengalami kecelakaan. Bus tersebut menabrak pagar pembatas jalan dan terjun ke Kali Brantas dengan naasnya. Diduga supir dari bus tersebut mengantuk saat mengemudikan busnya. Menurut saksi mata, bus itu melaju dengan kencangnya hingga akhirnya menabrak pagar pembatas jalan dan terjun ke sungai. Bus tersebut kemudian meledak dengan hebatnya hingga menewaskan semua penumpang di dalam bus tersebut.
Namun anehnya, ternyata seorang pemuda (Taufik Nurdin) berumur 17 tahun berhasil selamat dari kecelakaan maut tersebut. Ia satu-satunya penumpang yang berhasil selamat meskipun dengan luka di sekujur tubuhnya. Sampai saat ini polisi belum memintai keterangan dari pemuda tersebut, karena sementara dirawat di rumah sakit…………..”
Aku berpikir sejenak. Aku bertanya-tanya di dalam hati. Apa hanya aku yang selamat dari kecelakaan ini? Apa semua penumpangnya tewas?
Aku tiba-tiba teringat dengan kakek tua yang berada di bus bersamaku. Aku merasa aneh. Jika saja semua penumpang di dalam bus itu tewas, lalu mengapa kakek itu masih hidup. Seingatku, aku melihatnya berdiri di dekatku ketika aku terbaring tak berdaya. Bahkan, ia sempat berkata sesuatu padaku.
“Renungi dan sadari......”
Pemandangan seperti itu hanya bisa aku lihat dari bawah sini. Di halte ini, aku sedang duduk menunggu sebuah bus dengan jurusan kota Kediri. Meskipun sudah malam, tak mengubah niatku untuk menuju ke rumah kawanku di Kediri. Sambil memegang tas ransel yang penuh dengan barang-barangku, aku menunggu bus itu dengan sabar.
Di ujung halte, seorang pria berdiri dengan setelan jas yang tampak rapi. Layaknya seorang karyawan di perusahaan besar, ia menenteng sebuah koper besar. Entah apa isinya. Sejak tadi ia menengok kesana kemari, seperti ingin memastikan sesuatu. Namun jika dilihat dari gelagatnya, ia tampaknya sedang melindungi isi koper itu dari tangan-tangan jahil.
Sejak tadi, aku sudah berada di halte ini bersama lelaki itu. Namun tidak ada sepatah kata pun yang keluar dari mulut lelaki itu. Tidak ada keakraban terjalin antara kami berdua. Aku pun seperti itu. Aku merasa sungkan berbicara dengan orang lain, jika orang lain kelihatan cuek denganku. Bagiku masa bodoh. Jadi, kubiarkan ia dalam kesendiriannya.
Aku melirik jam yang melingkar di pergelangan tangan kiriku. Waktu sudah menunjukkan pukul sepuluh malam dan belum ada satu pun bus yang berhenti di depan halte ini. Hanya beberapa dari kendaraan angkutan umum yang berhenti dan sempat menawarkan jasanya pada kami. namun tak satu pun dari kami yang bergeming menghiraukannya. Kendaraan-kendaraan pribadi juga tampak lalu-lalang di depan halte ini dengan memamerkan kemewahannya. Mereka seperti mengejek kami yang hanya duduk tak berguna di halte tua ini. Menunggu. Cukup lama. Sejak tiga puluh menit yang lalu.
Hal ini membuatku kecewa. Aku yang berencana pergi dari rumah, tiba-tiba merasa kalah sebelum berperang. Aku semakin benci dengan semuanya. Semua yang terjadi padaku. Semua yang ditimpakan padaku. Aku benci. Aku benci terhadap ayahku.
“Taufik, apa kamu tidak sadar? Kamu ini sudah dewasa. Sudah bisa membedakan mana baik, mana buruk. Apa gunanya coba, kamu bersekolah di sekolah Muhammadiyah, jika shalat saja kamu tidak pernah. Apa begitu yang diajarkan di sekolahmu itu? Bahkan kamu lebih suka keluar keluyuran bersama teman-temanmu yang tidak jelas darimana asalnya.”
Aku teringat dengan kata-kata ayahku. Hal seperti itulah yang selalu diungkapkan oleh ayahku. Meskipun menurut ayah itu adalah sebuah “nasehat”, namun bagiku, ayah telah meremehkanku. Tidak pernah sekalipun ia mendukung kegiatanku keluar bersama kawan-kawanku.
Ibuku yang begitu sabar hanya berusaha untuk menjaga emosiku. Dia selalu berusaha menenangkanku.
“Sudahlah, nak. Bapakmu memang begitu. Jangan terlalu diambil hati. Bagaimanapun, kan bapakmu mau yang terbaik buat kamu.” kata ibu padaku.
Selama ini, aku bisa bersabar dengan kata-kata ayahku. Aku bisa menutup telinga darinya. Ibuku pun dengan sabarnya menenangkanku. Aku hanya menganggap semua nasehat ayahku sebagai angin lalu saja. Namun kejadian kemarinlah yang telah membawaku untuk duduk tak berguna di halte tua ini.
“Taufik, jam segini kamu baru pulang?”
Suara ayah waktu itu mengagetkanku. Ia ternyata masih terjaga di ruang keluarga sambil menonton sebuah acara TV.
“Pulang dari mana?” tanya ayahku.
“Clubbing bersama teman-teman, Pak.”
Aku menjawab dengan santainya. Padahal aku tahu ayah sangat tidak suka dengan kata-kata seperti itu.
“Setiap hari kamu pulang jam segini. Keluar malam keluyuran dengan teman-temanmu. Masih untung kamu tidak mabuk-mabukan. Tapi mungkin ke depannya kamu malah lebih parah.” lanjut ayahku.
“Sudahlah, Pak. Bosan aku dengar ocehan Bapak.”
Kata-kata itu secara setengah sadar aku lontarkan pada ayahku. Tentu saja hal itu membuatnya naik darah.
“Apa?! Kamu sudah mulai melawan, ya?!” teriak ayah sambil berdiri dari duduknya.
Untung saja ayahku adalah salah satu tipe orang tua yang sabar. Ia sama sekali tidak pernah menunjukkan kekerasan fisik pada anak-anaknya. Mungkin hal itulah yang membuatku begitu lancang berkata seperti itu.
“Kalau kamu memang sudah bosan mendengar ocehan bapak, berarti itu tandanya kamu tidak butuh bapak lagi!! Jadi, ada baiknya kamu pergi saja dari rumah ini!!” seru ayahku.
Aku terkejut mendengar kata-kata ayahku. baru kali ini aku mendapat kata-kata yang begitu berani dari mulut ayahku. Tatapan matanya pun begitu tajam menatapku.
Sekarang, aku tidak bisa lagi membedakan antara kebenaran kata-kata ayah. Bagiku, ayah berkata serius.
“Terserah Bapak!” tantangku sambil berjalan menuju kamarku.
Aku sudah tidak peduli lagi dengan apa yang akan dikatakan oleh ayahku. Aku juga sudah tidak peduli lagi apakah dia akan marah padaku. Aku terus berlalu begitu saja. Selanjutnya yang kudengar dari dalam kamarku hanyalah suara ibuku di ruang keluarga bersama ayahku.
************
Suara sebuah kendaraan besar berhenti di depan halte menyadarkanku. Bus dengan jurusan Kediri. Perasaanku yang sejak tadi tidak karuan akhirnya menjadi lega. Aku meraih tas di sampingku dan segera naik ke atas bus.
Dari luar bus, terlihat masih banyak kursi-kursi kosong menunggu. Hanya beberapa kursi di dalam bus yang terisi oleh penumpang. Mungkin saja bus ini belum berpergian begitu jauh.
Aku mendahulukan pria dengan koper itu. Tas ranselku yang agak besar kukenakan sambil berjalan naik ke atas bus. Aku harus berhati-hati berjalan di dalam bus agar tas ranselku tidak mengenai penumpang yang lain.
Tanpa menunggu waktu lama, bus kembali melaju. Aku pun telah menemukan tempat yang cocok dennganku. Di pertengahan bus ini dan tepat di samping jendela bus. Tas yang kukenakan kurebahkan di depan kakiku agar lebih aman.
Aku memilih duduk di samping jendela agar aku bisa menikmati pemandangan jalan-jalan kota. Sejak kecil, aku lebih suka duduk di samping jendela mobil. Selain bisa melihat pemandangan kota, aku pun bisa banyak mengambil pelajaran dari situ. Saking seringnya aku memandang jalan-jalan kota, aku pun terlalu peka melihat para gelandangan dan pengemis berkeliaran di jalanan. Aku sering merasa iba melihat keadaan mereka. Mereka yang harus bekerja keras demi sebagai penopang keluarga. Mereka yang tak punya ayah sebagai pencari nafkah. Sedangkan aku, masih beruntung mempunyai ayah yang begitu sabarnya….
Entah mengapa, tiba-tiba saja pikiranku terpaut pada ayahku. Sesuatu hal telah membawanya. Padahal pikiran inilah sendiri yang telah membawaku menjauh dari ayah dan ibuku.
Perlahan demi perlahan keraguan mulai muncul dari diriku. Berbagai pertanyaan muncul silih berganti dalam pikiranku. Ada apa denganku? Aku mulai khawatir memikirkan ayah dan ibuku. Seandainya mereka khawatir memikirkan keadaanku…
Terutama ayahku. Meskipun karena dialah aku berada disini sekarang, namun aku tahu, ia tidak mungkin serius mengusirku dari rumah. Bagaimanapun, aku tahu sifat ayah. Mungkin saja saat itu aku pun tidak sempat berpikir seperti ini karena pikiranku telah tertutup emosi.
Aku mulai berpikir, semua kesalahan terletak padaku. Di saat pikiran bersalah ini mulai muncul, pikiran lain kembali menutupinya. Semuanya sudah terlanjur terjadi. Nasi sudah menjadi bubur. Yang penting kini, aku harus sampai di rumah Andi. Aku sementara akan menetap disana.
Aku mengalihkan pandanganku dari jendela. Berganti mengamati seisi bus. Ternyata tanpa kusadari, bus sudah penuh. Hanya sekitar lima oarng yang masih terlihat berdiri karena tidak menemukan tempat untuk duduk. Mereka memutuskan untuk berdiri di tengah-tengah bus sambil memegang gantungan di langit-langit bus.
Di sampingku, duduk seorang ibu yang sedang menyusui anaknya. Anaknya begitu tenang di pangkuan ibunya. Ia tidak rewel. Padahal suasana di dalam bus ini cukup panas. Beberapa dari penumpang lain bahkan ada yang menyalakan kipas angin mini untuk menetralkan suasana.
Beberapa kali terasa bus berhenti. Setiap kali bus berhenti, beberapa orang di dalam bus terlihat bersiap-siap untuk turun. Ada pula penumpang yang baru naik dari halte., sehingga jumlah penumpang di dalam bus ini silih berganti. Sekarang jumlah penumpang di dalam bus ini bertambah beberapa orang. Semakin banyak penumpang yang berdiri.
Diantara penumpang-penumpang yang berdiri, terlihat seorang kakek tua begitu kelelahan untuk berdiri. Umurnya sekitar umur 60-an. Tempatnya berdiri begitu sesak oleh penumpang lain yang mempunyai badan lebih besar darinya. Ia sempat tersenggol kesana kemari oleh penumpang di sekitarnya.ketika bus melaju menikung mengikuti jalan. Aku merasa iba melihatnya.
Karena kepekaanku itulah, aku memutuskan untuk menawarkan tempatku pada kakek itu. Aku kemudian berdiri dan menuju ke tempat kakek itu.
“Kakek!” sapaku sambil memegang tangannya.
Ia tampak terkejut. Mungkin saja ia mengira aku seorang pencopet. Tapi aku berusaha untuk meyakinkannya.
“Maaf, Kek. Mungkin kakek ada baiknya duduk disana saja.” ucapku pada kakek seraya menunjukkan tempat duduk yang hanya berjarak sekitar satu baris dari tempatnya berdiri.
Tiba-tiba ia tersenyum. Ia terlihat senang menerima tawaranku.
“Terima kasih, Nak.” jawabnya.
Aku mengantarnya berjalan di dalam bus.
“Sekali lagi terima kasih ya, Nak. Ternyata masih ada anak muda sebaik kamu.” ucap kakek itu setelah duduk.
Aku mendesah di dalam hati. Kakek ini tentunya tidak tahu masalah yang sedang kuhadapi. Pikirku dalam hati.
“Jangan sungkan, Kek.” balasku.
Aku berdiri bersama penumpang lain yang sedari tadi berdiri. Aku berdiri tidak terlalu jauh dari tempatku tadi, sehingga aku masih bisa berbincang dengan kakek itu. Aku memutuskan untuk menyimpan tasku di atas rak-rak penyimpanan di langit-langit bus.
“Kalau boleh tahu, anak mau kemana?” tanya kakek itu memulai pembicaraan.
“Mau ke rumah teman, Kek. Mau menginap sementara disana sambil mengerjakan tugas.” jawabku dengan sedikit berbohong.
Aku pun tidak mungkin menceritakan yang sebenarnya padanya. Ia orang asing yang baru kukenal beberapa menit yang lalu.
“Jauh, ya, tempatnya?"
“Tidak jauh, Kek. Ini sudah dekat.”
Aku berusaha menutup-nutupinya. Aku tidak mau membuatnya merasa bersalah duduk di tempatku.
Beberapa menit kemudian, kakek itu tidak menanyakan apa-apa lagi. Kami terdiam larut dalam aktivitas masing-masing. Ia duduk dengan tenangnya dan aku berdiri sambil tetap bertahan dari guncangan-guncangan jalan.
Sekian lama aku menatapnya, ia hanya tersenyum dan kembali diam di tempatnya. Tiba-tiba ada hal aneh yang terjadi. Dari luar bus terdengar suara benturan keras. Bus yang sedari tadi melaju dengan kencangnya, oleng seketika. Membuat para penumpang di dalam bus berteriak satu sama lain. Semua penumpang bus kelihatan panik. Mereka berusaha untuk menjaga diri sendiri. Tanpa sempat memikirkan orang lain.
Bus yang terasa oleng, terasa melayang di udara dan berbalik sembilan puluh derajat. Bagian depan, tempat supir mengemudi, berubah menjadi bagian bawah seketika itu. Seluruh penumpang yang berdiri, termasuk aku, terlempar ke belakang bus. Terasa ada tekanan yang mendorongku. Aku merasakan benturan keras di sekujur tubuhku.
Di saat semua penumpang panik dan ketakutan, aku sempat melihat si kakek. Ekspresinya begitu berbeda dengan penumpang yang lain. Ia tidak panik. Bahkan, ia tersenyum padaku dengan begitu tenangnya. Tapi aku tidak begitu mempedulikannya. Aku harus berpikir cepat untuk bertahan.
Selanjutnya, aku hanya sempat melihat sungai dengan batu-batunya dari jendela. Telingaku pun begitu jelasnya mendengar suara benturan yang mengakibatkan kaca-kaca jendela bus pecah berantakan. Aku sempat merasakan percikan air mengenai wajahku.
Dan akhirnya teriakan-teriakan di dalam bus menghilang seketika. Pandanganku pun menghilang begitu cepatnya......
************
Keningku terasa basah. Perlahan-lahan aku mencoba untuk membuka mata. Sangat sulit. Keningku yang basah kuusap dengan tanganku. Agak kabur terlihat olehku, cairan kental yang berbau amis.
Sayup-sayup aku mendengar suara air yang mengalir. Mungkin sebuah sungai. Aku sedang berada di dekat sungai. Terbaring tak berdaya. Semakin kucoba untuk bangkit, semua badanku terasa sakit. Penglihatanku agak kabur saat ini dan di sekujur tubuhku aku merasakan sakit yang bagitu dalam hingga mencapai tulang-tulangku. Aku memperkirakan ada beberapa bagian tulangku yang patah.
Aku memandangi sekitarku dengan penglihatan yang agak kabur. Di seberang sana, aku melihat sebuah bus berwarna putih terbalik dan terbakar. Kobaran apinya cukup terang sehingga mampu menerangi sekitarnya. Sekilas aku teringat kejadian yang baru saja aku alami.
Aku memandang ke arah lain dan ternyata ada seeorang yang sedang berdiri di samping tempatku terbaring. Aku berusaha mengenali wajahnya. Meskipun agak kabur, aku masih bisa melihatnya. Dibantu dengan cahaya kobaran api yang menyala-nyala. Raut wajahnya yang tua. Wajahnya yang selalu tersenyum melihatku dan……dia……adalah kakek yang berada di dalam bus itu. Aku mengenalinya, aku tahu siapa dia.
“Renungi dan sadari” kata kakek itu kemudian, sambil tetap berdiri dan menatapku dengan senyumnya yang begitu ramah.
Aku mendengar kata-katanya begitu pelan. Aku tidak mengerti maksudnya. Namun di saat aku ingin mencoba untuk berbicara, pandanganku kembali mengabur. Aku kembali kehilangan kesadaranku……
************
“Semoga saja Taufik tidak apa-apa, ya, Pak?”
“Kita berdoa saja, Bu.”
Sedikit demi sedikit aku bisa mendengar suara itu. Suara yang sangat kukenal. Ayah dan Ibuku.
Mataku perlahan-lahan terbuka. Semua pandanganku serba putih. Langit-langit yang berwarna putih. Meja putih. Dinding putih. Semuanya berwarna putih. Aku bisa menebak, aku sedang berada di rumah sakit.
Di sampingku, ayah dan ibuku duduk menungguiku. Aku tidak tahu sejak kapan mereka berada disitu. Kedua adikku berada di samping ibuku dengan wajah yang murung. Tapi raut muka mereka berubah tatkala melihatku siuman.
“Taufik, kamu sudah sadar, Nak. Syukurlah!” seru ibuku sambil bermunajat.
Mata ibuku berkaca-kaca sambil memegangi tanganku. Begitu pula dengan ayahku. Ia terlihat memegangi pundak ibuku, berusaha untuk menenangkannya.
“Bapak, maafkan aku, ya.” kataku.
Kata-kata itulah yang pertama keluar dari mulutku saat melihat ayahku. Dan sepantasnya lah kata-kata itu kuucapkan sejak dulu.
“Tidak apa, Nak. Bapak juga yang salah.” ujarnya sambil mengusap kepalaku.
Ayahku terlihat begitu berwibawa bagiku. Bahkan di saat anaknya telah menentangnya, ia masih menjadi orang yang sabar. Aku semakin menyesal telah membuat ayah marah. Aku semakin kalah dengan ayah.
************
Sudah sehari aku berada di rumah sakit ini. Sejak aku pertama kali sadar kemarin. Ayah dan ibuku begitu rutin menjengukku, sehingga aku pun tidak begitu kesepian. Sesekali mereka membawa adik-adikku untuk menemaniku.
Aku pun sudah semakin akrab dengan ayahku.
Hari ini ayah dan ibuku belum datang menjengukku. Mungkin sekitar sejam lagi mereka baru akan datang. Aku berusaha mencari kegiatan agar tidak merasa bosan terbaring dengan selang infus di pergelangan tanganku.
Tiba-tiba pandanganku tertuju pada sebuah surat kabar di atas meja yang berada di samping tempatku terbaring. Aku mengambilnya. Membolak-balik satu per satu halamannya.
Aku kemudian dikejutkan dengan sebuah headline di surat kabar tersebut.
“SEORANG PEMUDA SELAMAT DARI KECELAKAAN BUS”. Aku memutuskan untuk membacanya.
“……Jumat, dini hari. Sebuah bus dengan jurusan Kediri mengalami kecelakaan. Bus tersebut menabrak pagar pembatas jalan dan terjun ke Kali Brantas dengan naasnya. Diduga supir dari bus tersebut mengantuk saat mengemudikan busnya. Menurut saksi mata, bus itu melaju dengan kencangnya hingga akhirnya menabrak pagar pembatas jalan dan terjun ke sungai. Bus tersebut kemudian meledak dengan hebatnya hingga menewaskan semua penumpang di dalam bus tersebut.
Namun anehnya, ternyata seorang pemuda (Taufik Nurdin) berumur 17 tahun berhasil selamat dari kecelakaan maut tersebut. Ia satu-satunya penumpang yang berhasil selamat meskipun dengan luka di sekujur tubuhnya. Sampai saat ini polisi belum memintai keterangan dari pemuda tersebut, karena sementara dirawat di rumah sakit…………..”
Aku berpikir sejenak. Aku bertanya-tanya di dalam hati. Apa hanya aku yang selamat dari kecelakaan ini? Apa semua penumpangnya tewas?
Aku tiba-tiba teringat dengan kakek tua yang berada di bus bersamaku. Aku merasa aneh. Jika saja semua penumpang di dalam bus itu tewas, lalu mengapa kakek itu masih hidup. Seingatku, aku melihatnya berdiri di dekatku ketika aku terbaring tak berdaya. Bahkan, ia sempat berkata sesuatu padaku.
“Renungi dan sadari......”
Belajen, 19 September 2009
3 comments
lumayan broo...
BalasHapusbaguuus :)
BalasHapusKerenn sumpah...
BalasHapus