Paket Pekat dari Tempat yang Lekat

November 06, 2020

Baca Juga

Sebuah pesan singkat baru saja masuk di gadget saya. 

"Paket dititip di warung Intan ya Pak sore tadi," tulis nomor yang kerap mengantarkan paket ke indekos.

Saya tersenyum. Seperti dugaan, paket itu telah mendarat sesuai estimasi waktu. 

Seorang petani kopi asal Kabupaten Enrekang, Pak Hasmin, memang sempat menyampaikan kabar baiknya. Kopi Arabika Kalosi lantas dikirimkan dari kampung halamannya, Nating. Sebuah pedalaman terpencil di Kecamatan Bungin yang punya kenangan tersendiri bagi saya.

Jalan menuju dusun di ujung kecamatan. (Imam Rahmanto)

Saya mengenalnya sebagai petani kopi dengan semangat belajar yang tinggi. Meski usianya sudah berkepala empat, ia tak ragu menimba ilmu dari anak-anak muda di daerahnya. Ia juga tak ingin menjadi petani kopi alakadarnya, yang hanya menikmati masa panen dan menanti cuan dari para pengepul. Jika bisa sekaligus jadi pengepul itu sendiri, kenapa tidak? Alhasil, ia juga mengolah kopi pasca panen hingga mengemasnya dengan label sendiri.

Toh, peran itu berhasil diwujudkan Pak Hasmin. Bahkan, ia punya produk kopi dengan label sendiri; Massipa' Coffee. Ia sampai rela bolak-balik kampungnya yang terpencil ke pusat ibukota kabupaten hanya demi mendapatkan legalitas produknya. 

Saya menjadi saksi atas jerih payahnya itu. Beberapa kali ia menginap di indekos saya saat sedang bertugas di Enrekang. Dari sana pula perbincangan saya tentang kopi banyak bermuara. Permasalahan, keluhan, hingga impian-impiannya yang tak jauh-jauh dari kopi. 

Tekadnya untuk terus belajar berhasil menyambungkannya dengan peradaban. Meski Nating terkucil dari sinyal telekomunikasi, ia tak tinggal diam dengan memasrahkan nasibnya.

Ia mengulur jarak di perbatasan kampung. Meninggalkan rumah nyamannya dengan mendirikan gubuk sederhana. Ia jadikan rumah "kedua" agar terjangkau sinyal. Setidaknya, ia bisa memeriksa dering hapenya sekadar mengecek telepon atau pesan yang masuk. 

"Ya, biar bisa tetap dapat kabar dari luar toh. Kalau tidak ada telepon, susah komunikasi. Bagaimana mau lancar urusan," ujarnya suatu ketika.

Di gubuknya itu pula saya sempat menanggalkan penat karena misi liputan. Saya sempat merasai dinginnya udara malam di gubuk yang ditinggalinya bersama anak dan istrinya itu. Dua ruangan terbagi oleh sekat. Malah, untuk luas gubuknya saja tak lebih luas dibanding kamar kos-kosan saya di ibukota kabupaten. 

Pak Hasmin dan anak-anaknya. (Imam Rahmanto)

Beruntung, ia punya istri dan delapan anak yang bisa mendekapkan kehangatan. Kalau sudah bahagia, kulit bakal kebal dengan segala jenis cuaca. Saban pagi, teriakan dan celotehan anak-anak sudah meramaikan gubuk kecil itu. 

"Bisa ki bikinkan ka facebook? Mau ka juga install Whatsapp di hapeku," ujarnya di lain waktu.

Pak Hasmin pernah agak kikuk meminta saya untuk membuatkannya akun facebook. Smartphone yang baru dibelinya juga ingin dipasangkan Whatsapp. Kata dia, segala bentuk komunikasi akan lebih lancar melalui jalur itu. Apalagi, ia sedang meniti jalan dan pertemanan dengan para barista di pusat ibukota. Dari pertemuan dan komunikasi itulah ia bisa menimba ilmu sekaligus memasarkan kopi olahannya sendiri.

"Bagaimana ji kabar?"

Pak Hasmin tak pernah sungkan menelepon setelah jarak kami terentang semakin jauh. Saya yang dipindahtugaskan ke Kabupaten Bone hingga kembali ke Makassar sudah tak pernah lagi berjumpa dengannya. Jadilah saya tak sempat mencicipi arabika dari kampung halaman sendiri.

Bahkan, semakin jauh jarak terentang di Bogor tak membuatnya lupa dengan nomor saya. Suatu kali, ia pernah menelepon dan meminta izin atas sesuatu.

"Bolehkah saya pakai nama ta dalam tulisanku. Karena ada juga tentang kita'. Mau ka ini coba bikin buku. Banyak mi tulisanku kubikin-bikin," ucapnya malu-malu dari ujung telepon.

Wah, saya dibuatnya terkejut! 

Seorang petani sederhana dari pedalaman kaki Pegunungan Latimojong bahkan memendam keinginan untuk menerbitkan buku tentang kehidupannya. Ia terang-terangan mengatakan terinspirasi dari saya. Padahal, saya sendiri hanya menghabiskan waktu 2 hari 1 malam di kampungnya. Selebihnya, kami hanya bertemu sesekali di ibukota kabupaten setiap kali ia punya urusan di dinas pertanian.

Ia malah menawarkan saya untuk jadi pembaca tulisan-tulisan itu jikalau sudah rampung. Apalagi, lelaki polos itu sedang keranjingan membaca buku di sela-sela dingin dan kabut yang selalu menyelimuti Nating. 

Yah, saya jadi ingat bagaimana sepi dan sunyinya kampung di ujung kecamatan itu dengan jumlah rumah yang hanya mencapai puluhan. Tanpa listrik dari PLN. Hanya memanfaatkan generator di sungai. Tanpa pasar, karena hanya ada di ibukota kecamatan. Hiburan satu-satunya dengan aktivitas yang sebenar-benarnya di luar rumah. Kalaupun ada televisi, warga perlu sangat menghemat daya karena memanfaatkan panel surya bantuan pemerintah.

Pak Hasmin dan kopinya di kaki pegunungan Latimojong. (Imam Rahmanto)

Pada akhirnya, saya tak bisa lagi menolak ketika ia menawarkan untuk menyumbang sedikit rindu dengan biji-biji kopinya. Saya pernah menolak dikirimkan paket saat telah bertugas di Makassar. 

Kali ini, saya takkan bisa menolak lagi karena jarak dan jeda yang terlalu jauh dari kampung halaman. Ditambah lagi, saya kesulitan mendapatkan arabika terbaik di daerah peristirahatan presiden ini. 

Padahal, bulan lalu, tiga kemasan bubuk kopi Arabika Kalosi dari origin Benteng Alla juga baru saja mendarat di kamar saya. Pengirimnya, seorang kepala cabang Bank Sulselbar Enrekang yang pernah menjadi teman ngobrol dan teman nonton Piala Dunia di Kabupaten Bone. 

Terima kasih.

***

Kehidupan masih berjalan dengan cukup baik di Kota Hujan. Beberapa sebal dan bebal memang tak jarang mampir sejenak. Akan tetapi, beberapa hal lainnya mampu kembali menguatkan perasaan saya agar tetap berbahagia. 

Entah itu hanya sekadar melihat tunas-tunas baru tanaman di depan kamar, hadiah lomba blog yang dihabiskan baru-baru ini, perbincangan dengan barista kafe, senyuman dari kekasih, atau sekadar kiriman paket pekat dari Bumi Massenrempulu itu. 

Sejujurnya, saya harus berterima kasih kepada orang-orang yang masih bersedia menyalurkan ingatannya lewat paket semacam ini. Tak peduli karena ditodong atau sukarela, mereka akan selalu menjadi penyambung ingatan saya terhadap kehidupan-kehidupan yang telah lalu di sana. 

Bagaimana pun, saya selalu menghargai waktu-waktu bermakna di surga perbukitan itu. Teman-teman yang baik. Pemandangan yang ciamik. Perbincangan yang menarik. Petualangan yang epik. Sungguh, semua mencerminkan kehidupan yang romantik.

Sehingga, barangkali saya jadi meragu bisa menemukan titik temu yang sama di kota ini... 

Bungkusan roasted bean dari Enrekang. (Imam Rahmanto)



--Imam Rahmanto--

You Might Also Like

0 comments