Bersusah Payah

Maret 11, 2019

Baca Juga


*play this song


Anak-anak tertawa riang. Mereka bergantian menggandeng panitia untuk berfoto bersama. Berdua saja atau berombongan dengan sekolahnya masing-masing. Tak ada lagi aturan-aturan yang mengikat, seperti tempo hari. Bebas saja berebutan naik panggung dengan latar belakang acara itu.

Sebenarnya, saya juga sudah menyelesaikan sedikit sesi foto kilat dengan para peserta diklat jurnalistik itu. Beberapa murid yang berasal dari sekolah saya dulu mengajak berfoto. Saya menyanggupinya sebagai bagian dari "laporan pertanggungjawaban" kepada Bunda -- guru mereka. Akh, saya diminta menjaga 11 siswanya yang sebenarnya sudah sangat mandiri berkeliaran di kota besar.

"Jadi, kapan pulang?" saya bertanya kepada salah satu siswa.

"Rencananya......"

Mereka hanya segelintir siswa yang akan berpisah dengan hiruk-pikuk kota Makassar. Puluhan lainnya juga sudah siap mengangkat koper atau ransel. Menyisakan secuil kenangan dari diklat yang berlangsung empat hari itu.

Ah, tidak. Bisa jadi banyak kenangan indah diantara kejadian-kejadian buruk yang beririsan satu sama lain.

Yah, saya tak pernah menyangka, gurat senyum akan kembali menyambangi wajah mereka, para panitia.

Terlalu banyak hal yang meleset dan menggelisahkan kepala. Imbasnya, gerutu dan caci maki mendarat setiap malamnya. Dari siapa lagi kalau bukan senior?

"Kenapa tidak bisa inisiatif sendiri? Maunya selalu diarahkan. Kan kalian panitianya!"

"Dari kemarin kan sudah diwanti-wanti!"

"Kenapa belum ada? Siapa yang punya tugas?"

"Memang kurang ajar sekali kalian ya!"

Betapa kepala menjadi mesin waktu paling realistis di muka bumi. Ia mampu memutar kenangan-kenangan masa silam. Flashback semacam itu menjelma dalam generasi yang berbeda. Tiba giliran mereka yang "harus" menjadi kapal-kapal kecil yang masih mengatur navigasi.

Saban malam, mereka kenyang dengan omelan senior. Bersisisian dengan kami yang juga muak berkawan gelisah. Tak biasanya, kepanitiaan harus mengerahkan segala sumber dayanya. Bahkan, koordinator steering pun dibuat geleng-geleng kepala. Pikirannya terpaksa bergerak taktis dalam pekerjaan-pekerjaan paling teknis.

"Sabar ki, Kak," ujar siswa kepada seorang panitia, yang kamarnya selalu ditembus bising briefing para panitia. Saya tentu tak bisa menahan tawa.

Kehidupan berorganisasi memang begitu kejam. Kala kepala sudah menahan kantuk, pikiran masih dipaksa bekerja di luar kepala.

Akan tetapi, sejujurnya, saya merindukan hal semacam itu. Jika ditanyakan, apa hal yang paling dirindukan dari kerasnya kehidupan kota Makassar, saya takkan sungkan menjawab; kebersamaan dalam dunia sosial organisasi.

Kampus yang mengajarkan saya pengalaman semacam itu.

Kerja-kerja kepanitiaan di organisasi kampus yang mengundang rasa senasib sepenanggungan. Kerja-kerja yang mengundang rasa ingin menyerah. Kerja-kerja yang membuat sakit kepala. Kerja-kerja yang juga bisa membuat hati patah berkeping-keping. Kerja-kerja yang bisa membuat jiwa dan raga berkomplot tak sehat. Kerja-kerja yang terlihat tak pernah ada ujungnya.

Namun, ketika sampai di ujung tak kasat mata itu, air mata bisa saja meleleh. Sesungging senyum mengembang jadi tawa. Langkah-langkah kaki jadi terasa ringan. Pundak tak lagi merebah. Wajah tak lagi memerah karena lelah. Justru, sejumput harapan muncul satu per satu bermekaran layaknya musim semi. Kita semakin kuat, yang sama sekali tak dibuat-buat.

Sumber: Pinterest

Pada dasarnya, pekerjaan kepanitiaan punya banyak kekurangan yang mesti dibenahi. Barangkali, momen itu yang perdana bagi para panitia dan pengurus, setelah sekian tahun lamanya. Wajar, tak ada yang begitu berani berjalan tanpa arah.

Terlepas dari itu, saya tetap melihatnya sebagai perjuangan tak ternilai.

"Setidaknya diriku pernah berjuang, meski pernah ternilai di matamu...." (Last Child)

Kami harus berterima kasih atas perjuangan-perjuangan menguras energi itu. Waktu tidur tersita jauh lebih banyak ketimbang mengerjakan tugas kampus. Omelan yang jauh lebih pedis dibanding sindiran dosen. Bahkan, penilaian yang lebih mengundang kecewa ketimbang nilai "E" dari mata kuliah.

Mereka, jiwa-jiwa yang masih ingin bekerja lebih keras dalam mengangkat nama organisasi. Keberadaan mereka hingga hari terakhir sudah cukup membuktikan semangat tahan banting. Malah, banyak regenerasi yang membuat saya yakin akan terus mengibarkan rindu untuk kembali ke sana, Profesi.

Terima kasih untuk terus bergerak...

Berikutnya, tak perlu susah payah merangkum lelah sendirian. Karena teman-teman selalu menawarkan tangan untuk digenggam dan bahu untuk bersandar. Pun, telinganya masih bisa disesaki sumpah serapah.

Teruslah berjalan... bersama-sama...

Foto: LPM Profesi


Hormat kami, dari yang pernah didera gelisah seperti kalian~



--Imam Rahmanto--

You Might Also Like

0 comments