Sosial(isasi)
Desember 30, 2017Baca Juga
(Foto: Imam Rahmanto) |
Seorang teman tiba-tiba mengajukan pertanyaan menarik dalam perbincangan di grup WhatsApp (WA),
"Motivasi kalian mengelola media sosial apa ya dan harus spesifik per media sosialnya?" sambil mencantumkan beberapa media sosial yang kini dimiliki semua orang.
Meski pertanyaan biasa, saya cukup tertarik menjabarkannya. Dewasa ini, media sosial memang sudah menjadi semacam "identitas" tersendiri bagi kebanyakan orang. Bahkan ada orang-orang yang menjadikan media sosial sebagai tempat mengeruk keuntungan, baik sebagai jembatan, maupun langsung mendapatkannya.
Facebook, sebenarnya bukan akun media sosial yang pertama kali saya kenal. Beberapa minggu sebelum berkenalan dengan media sosial berlatar biru itu, saya pernah punya Friendster. Bahkan sempat menikmati media sosial jaman old itu dengan memajang-majang foto. Eh, tapi, di jaman kami itu belum banyak ponsel yang bisa dipakai untuk mengambil gambar keren. Makanya, fotonya hanya satu atau dua saja. Sisanya, gambar-gambar yang dicari dari Google.
Saya menjadikan facebook sebagai salah satu wadah untuk bersosialisasi di dunia maya. Apalagi, penggunanya yang paling banyak diantara lingkungan saya. Semenjak "dipindahtugaskan" di Enrekang, saya melihat orang-orang lebih akrab dengan media sosial besutan Mark Zuckerberg ini. Bahkan, baru-baru ini, saya membantu seorang petani dari daerah pedalaman untuk membuat akun facebook miliknya.
Sayangnya, bagi saya, facebook sudah jadi ladang hoax belakangan ini. Saya jadi semakin malas berselancar di dalamnya jika bukan karena mengecek notifikasi dan informasi dari orang-orang di daerah.
Twitter, menjadi tempat saya mencurahkan uneg-uneg. Semacam tjurhat tjolongan lah. Maklum, sangat sedikit teman saya yang aktif di dunia kicau-kicau burung itu. Saya justru menemukan sedikit "ketenangan" dari media sosial dengan karakter terbatas itu. Dibandingkan facebook, Twitter jauh lebih aman. Meski begitu, informasi-informasi yang diperoleh dari sana justru lebih banyak.
Saya juga bisa lebih terhibur di Twitter. Biasanya dengan mengecek reply-an status yang jadi trending. Ada juga akun anonim yang bekerja membagikan hal-hal lucu semacam twitwar. Membacanya, jadi hiburan tersendiri. Apalagi kalau sudah soal "pepet-pepetan teroooss!!!". Hahahaha..... Makanya saya lebih memilih menginstal aplikasi Twitter di smartphone daripada facebook.
Instagram, ini media sosial yang paling trending di kalangan anak-anak remaja hingga orang dewasa. Saya juga punya, dengan jumlah followers yang tak seberapa. Soalnya, jarang banget gue ngeksis disana. Saya hanya menjadikan IG sebagai akun untuk memamerkan hasil jepretan foto. Semacam galeri foto. Kalau twiter jadi tempat nyampah, termasuk nyampah foto, maka Instagram hanya untuk foto-foto pilihan saja.
Selama bertugas di Enrekang, saya lebih banyak belajar menggunakan kamera. Sekadar hobi. Apalagi, tulisan-tulisan saya akan lebih menarik jika bisa dijabarkan melalui beberapa gambar. Meski baru dalam tahap belajar, saya suka dengan perjalanan-perjalanan itu. Itulah mengapa saya lebih banyak mengikuti akun-akun fotografi lewat Instagram, mulai dari NatGeo hingga akun fotografernya sendiri.
Dulu, saya memulai Instagram untuk membagikan buku-buku yang menjadi koleksi saya. Sesekali, narsis dengan doodle. Tetapi, makin kesini, saya makin memilah apa yang ingin saya bagikan lewat Instagram. Sesekali (lagi), foto narsis tak mengapa. Asalkan tak banyak-banyak, soalnya bisa menyebabkan orang mual-mual.
Ada Goodreads, yang sebenarnya menjadi tempat membagikan ulasan-ulasan buku. Saya lebih sering menandai buku-buku bacaan dari sana.
Diantara teman-teman saya, nampaknya akun satu ini yang sangat jarang digunakan. Sesekali, saya mendapati buku-buku rekomendasi dari media sosial satu ini. Bagi para penggila buku, biasanya pasti gandrung dengan media sosial satu ini. Tiap tahun, ada nominasi buku-buku terbaik dengan berbagai genre-nya masing-masing. Bahkan, kita bisa "memaksa" diri sendiri untuk memasang target bacaan selama setahun terakhir.
Nah, tak ketinggalan, Pinterest, juga menjadi salah satu teman hiburan saya. Sesekali, saya membuka media sosial itu jika butuh ide. Toh, di dalamnya ada banyak ide-ide menarik yang menyegarkan kepala sekaligus mata. Apalagi tampilannya berupa grafis-grafis keren. Bagi yang suka dengan dunia desain grafis, sepertinya takkkan ketinggalan mengawasi laju timeline-nya.
Terlepas dari itu...
Semua akun-akun itu menjadi bagian individual saya. Tak ada urusannya dengan pekerjaan yang saya geluti. Saya acuh mencantumkan label perusahaan atau tempat bekerja saya disana. Biasanya kan orang-orang dengan bangganya mencantumkan tempatnya bekerja di Bio beberapa media sosial. Saya justru tak ingin dikenal melalui media sosial itu. Kalau mau kenalan lebih jauh, bisa kok duduk-duduk sambil ngopi-lah.
Karena tak semua yang kamu lihat di media sosial itu adalah benar adanya.
Saya juga agak enggan membagikan berita-berita dari media tempat saya bekerja. Sharing postingan dari blog saya justru bisa dibilang lebih banyak. Itu karena blog sudah menjadi "rumah" pribadi saya di dunia maya. Barangkali, orang-orang akan lebih mengenal saya dengan menyelami isi blog ini. Sementara media sosialnya, ya, seumpama hanya tempat bersosialisasi dengan kenalan-kenalan di dunia maya. Masa iya semua kehidupan kita harus dihubung-hubungkan dengan pekerjaan?
Yah, barangkali kegunaan media sosial bagi masing-masing orang memang berbeda. Anehnya, semakin tahun berganti, kita juga semakin lupa cara bersosialisasi yang sebenarnya di dunia nyata...
Seharusnya masa kanak-kanak dihabiskan dengan kepolosan seperti ini. (Imam Rahmanto) |
--Imam Rahmanto--
0 comments