Melambat Sederhana

November 11, 2017

Baca Juga


Udara berhembus begitu lembut. Matahari masih sementara dalam perjalanannya menuju senja. Pohon-pohon yang rindang, membayang ke atas permukaan jalan beraspal. Tak peduli debu-debu berebutan mengganggui angin.

Saya mengayuh pedal sepeda pelan saja. Semilir lembutnya semakin meneduhkan diantara pemandangan permukaan sungai. Hujan kemarin, membuat permukaannya tak bisa memantulkan lebih banyak bayangan. Hanya arusnya saja yang terus mengikis pinggiran.

Untuk pertama kalinya kembali, saya menikmati senja dengan menggowes sepeda. Barangkali sudah hampir setahun saya tidak menatap bebas kilasan sore dengan kegiatan ringan semacam ini. Terakhir kali, saya bersepeda di jalan-jalan kota Makassar. Tentu suasananya jauh berbeda dengan perkampungan yang lebih menawarkan aroma udara bebas polusi.

Seorang teman mengawalinya dengan ajakan di sela-sela waktu ngopi.

"Betulan? Ayo pale. Ada ji sepedaku juga di rumah. Sudah lama tidak olahraga begitu," ujarnya, "Adakah sepedamu?"

Saya menggeleng. Sebenarnya, sejak berada di Makassar, saya sudah lama mengidamkan memiliki sepeda untuk kegiatan-kegiatan santai berkeliling kota. Hanya saja, kesibukan menyita lebih banyak waktu dan perhatian.

"Gampang ji itu, Kak. Sudah lama mi saya minta (pinjam) sepedanya Pak Ulla kalau mau ka pakai. Dari kemarin ji sebenarnya dia bilang," jawab saya, memantapkan diri.

Seorang kenalan di salah satu dinas memang pernah menawarkan sepedanya untuk dipakai. Ketimbang sepedanya hanya tinggal di rumah dan berkarat. Hanya saja, saya baru punya waktu dan betul-betul bersemangat, beberapa hari yang lalu. Apalagi ada ajakan teman yang juga ingin menurunkan berat badannya. Barangkali lemak di sekitar perutnya jadi target prioritas.

Berbeda halnya dengan saya, yang hanya ingin menikmati suasana bersepeda. Saya tak perlu ribet menyiapkan banyak hal, sampai pada tataran perlengkapan ala berpakaian olahraga. Intinya, saya bersepeda.

Saya rindu menikmati waktu seperti itu. Seolah waktu melambat dengan begitu sistematis. Bersepeda bisa membawa kita pada pandangan yang lebih banyak. Bukan sekadar kilasan-kilasan asal lewat seperti yang dialami dalam kecepatan tinggi. Semakin lambat, hawa udara terasa semakin bersahabat.

Mata bisa lebih santai ke segala arah. Memandangi keadaan di sekitar lorong atau jalan-jalan kota. Bertemu lebih banyak orang. Membalas senyum dan sapaan ramah dari kenalan. Ditambah earphone di telinga, bersepeda semakin melankolis. Merasa damai bisa sesederhana itu.

Kok sendirian? Aduh, itu pertanyaan memancing deh. (Foto: Jufriadi)

***

Beberapa waktu lalu, pimpinan di Makassar bertanya tentang kondisi saya di Enrekang. Pertanyaannya juga secara halus meminta untuk saya kembali bertugas di Makassar, mengingat kondisi perusahaan yang sempat dihempas "badai". Sayangnya, saya masih belum bisa mengemas barang-barang. Saya lebih memilih bertahan agak lebih lama.

Sementara itu, buntut "badai" itu membuat beberapa teman saya ditarik dengan alasan memperkuat desk di perkotaan. Tawaran jadi redaktur tentu cukup menggiurkan. Saya mah apa atuh, masih betah jadi orang desa.

Jauh dari hiruk-pikuk perkotaan membuat saya lebih banyak berpikir. Huru-hara di kantor tidak begitu signifikan berpengaruh "aromanya" pada kami, yang berada ratusan kilometer jauhnya. Hanya sebatas informasi, yang dibungkus prasangka satu sama lain. Meski begitu, saya tak pernah ingin terlalu jauh menanggapinya. 

Di luar dari itu, saya masih tetap aktif menjalin hubungan dengan teman dan senior yang memilih pergi. Mereka sebenarnya masih belum menyerah mengajak saya menjadi salah satu bagiannya. Hanya saja, beberapa pertimbangan membuat saya masih kukuh untuk berada disini. 

"Kapan-kapan kalau saya di Makassar, nantilah kita ketemu ngobrol sambil ngopi-ngopi, Kak," ujar saya.

Mereka juga nampaknya paham bahwa, untuk saat ini, saya takk begitu tertarik kembali beradu kesibukan di tengah kota. Tawaran mereka juga sekaligus untuk saling bertanya kabar. Tak boleh ada kebencian diantara pilihan-pilihan yang dijalani.

Kehidupan di perkotaan itu ibarat mengendarai motor, yang melaju kencang tanpa permisi. Tujuan lebih cepat tercapai, apalagi dengan sedikit menarik gas. Sayang, kesibukan bercampur aduk. Meski dihujani denga berbagai fasilitas ala orang-orang kota, tetap saja ada nuansa kedamaian yang terenggut. Seolah-olah, kita hidup hanya untuk bekerja dan terus bekerja.

Untuk kali ini, saya lebih senang mengendarai sepeda. Iramanya memang lebih pelan dan menggambarkan kesederhanaan. Akan tetapi, saya lebih punya waktu untuk sekadar melemparkan senyum, sapaan, atau lambaian tangan ke arah orang-orang yang melintas dalam kehidupan saya. Saya lebih leluasa melalui jalan yang sempit. Tak perlu khawatir pula bakal kehabisan bahan bakar.

"Kenapa tidak mau lagi kembali?" tanya salah seorang teman.

Bukannya tak mau. Hanya saja, untuk saat ini, nampaknya saya belum mengukuhkan minat. Apalagi ada banyak hal yang belum saya tuntaskan di kabupaten kelahiran saya ini. Salah satu misi saya memuncaki Pegunungan Latimojong memang sudah terbayar lunas. Tetapi masih ada banyak keindahan lain lagi yang mesti ditelusuri dan tak bisa dijalani terburu-buru.

Barangkali, kelak, saya akan kembali ke kota kok. Karena siapa yang bisa menebak ke arah mana kita akan berlabuh dan berhenti? Selama pedal tetap digowes, roda berputar lancar, kehidupan akan terus berjalan, bukan?. []



--Imam Rahmanto--

You Might Also Like

0 comments