Menjamu Hal Sederhana
Januari 28, 2017Baca Juga
"Dulu, saya sudah rasakan namanya kerja di BUMN. Saya bekerja jadi PNS di Kehutanan," tutur bapak berkaca mata itu di sela-sela kami menikmati sore di teras lantai dua rumahnya.
Saya baru mengenalnya hari ini. Meskipun pekan sebelumnya, kami pernah berpapasan dengannya di gedung DPRD. Ajakannya mampir kepada kami ketika sedang menyimak acara dari pojokan aula Masjid Taqwa. Usai berbincang akrab dengan teman-teman pewarta yang lain, ia pamit tanpa lupa menyelipkan ajakan tersebut.
Yah, kami menutup sore di teras rumahnya. Lelaki beranak dua itu tanpa sungkan menyorongkan dua piring pisang goreng dan empat gelas minuman hangat. Satu diantaranya teh, tiga lainnya kopi susu. Hidangan itu bahkan disiapkannya sendiri demi menghargai tamu. Para pewarta di daerah ini sangat mengenalnya memang sebagai seorang "sesepuh" pewarta senior.
Percakapan diantara kami mengalir teramat lancar. Apalagi, saya baru tahu asal-usulnya yang juga berasal dari tanah Jawa. Beberapa percakapan dalam mode "Jawa-ON" pun tak terelakkan. Meski logat medok saya sudah punah, tetapi untuk mengimbangi lelaki asli Probolinggo itu saya masih bagus. Teman lain terpaksa hanya bisa berharap ada subtitle yang muncul meningkahi obrolan kami. Sesekali jika tak tahan, hanya bisa lepas tertawa.
"Lalu, kenapa tiba-tiba berkeinginan jadi wartawan?" todong saya. Padahal, label wartawan tak jarang punya stigma negatif bagi masyarakat perkampungan.
Lelaki paruh baya itu tersenyum saja. Sambil sesekali mencuri dengar dari suara air yang sedang dijerangnya di dapur bawah tangga. Teman lain di sebelah saya justru sibuk memelototi smartphone-nya.
"Jadi PNS itu banyak celah berbuat kalasi-nya. Saya sudah pernah rasakan. Terlalu nyaman. Pekerjaan yang tak kemana-mana. Tak berbuat banyak hal juga sepertinya bukan jiwa saya."
Ia tak segan mengakui. Sesekali mengulur cerita cukup jauh di masanya. Bagaimana ia bisa terlempar ke daerah ini dan menantang kebiasaan untuk menjadi seorang pengumpul berita. Bagaimana ia lebih nyaman bergerak diantara waktu-waktu luang. Hingga bercerita tentang anak gadisnya yang kini mempersiapkan kuliah dengan kursus tambahan Bahasa Inggris di Kediri. Dari foto di ruang tamu, anak gadisnya sungguh sangat menyita perhatian.
Di kabupaten yang jauh dari gemerlap kota ini, banyak hal yang bisa menyurutkan semangat untuk bertahan. Mood bisa segera berubah seumpama membalikkan telapak tangan. Sunyi dan sendiri hanya sebagian dari ratusan tantangan itu. Percayalah, ada lebih banyak hal lainnya yang bisa membuatmu surut melangkah lebih jauh.
Mulai dari kamar kost yang berhadap-hadapan dengan pekuburan umum. Buku-buku yang tak terbeli lagi di akhir bulan. Berita daerah yang terkubur karena tak dilirik redaktur. Terkadang, tiga naskah terkirim hanya berbuah satu berita terbit.
Beberapa narasumber juga tak luput bikin dongkol hanya karena punya pengalaman traumatik dengan wartawan. Saya bahkan pernah dimintai surat tugas, meski di leher sudah bergelantungan ID Card sebagai pekerja media. Sang pegawai dinas tak sungkan memamerkan wajah angkuhnya di depan pegawai lain yang sebenarnya sudah menerima saya tanpa pertanyaan curiga.
Segala hal itu terkadang membuat otak saya meletup-letup. Perasaan saya jengkel untuk melanjutkan apa pun yang telah saya mulai. Kerap kali membunuh rencana-rencana yang tersusun rapi. Seolah-olah bagian dari hati kecil saya berkata, "Sudah. Berhentilah."
Akan tetapi, ada bagian-bagian lain yang menggerakan saya untuk terus mencari jawaban. Kepala penuh dengan pertanyaan, yang tak hanya bisa dituntaskan melalui wawancara. Sebagian besar jawaban justru ditemukan lewat banyak perjalanan. Apatis di kamar hingga terlelap, kerap hanya membuat saya sakit kepala.
Berkumpul diantara teman-teman baru ternyata bisa memangkas sebagian rasa dongkol itu. Tak peduli usia saya yang terpaut agak jauh di bawah belasan tahun. Cerita saya tentang narasumber resek justru menjadi olok-olok dan tawa mereka. Paling tidak, yang namanya tawa selalu menjadi virus yang menular bagi siapa.
Di luar itu, masih banyak narasumber lainnya yang peduli dengan wartawan. Meski tetap saja dengan maksud-maksud terselubung, mereka tetap sukarela menghadiahkan seulas senyum dan jabat tangan. Bahkan, tak jarang mengajak bersantai di hadapan segelas kopi-susu.
Untuk menjumpai orang-orang semacam itu, saya hanya butuh mengenal lebih banyak. Salah satu caranya, memperbanyak topik liputan yang akan mempertemukan saya dengan berbagai jenis pemberi informasi. Hal semacam itu sekaligus bisa menambah daftar tempat-tempat baru dalam lokus ingatan saya.
"Saya menikmati seperti ini. Meski tidak membuat kaya, saya akui, ada lebih banyak waktu menikmati hidup," lanjut lelaki paruh baya itu.
Suara adzan perlahan menggema. Cerah matahari juga sudah ditelan mendung. Beberapa menit lagi kami harus kembali ke rumah masing-masing. Dari atas teras yang bernuansa orange itu, saya menjumpai beberapa keping tekad yang terserak. Saya mengumpulkannya kembali.
Ternyata, suara hati saya tidak semata-mata menyuruh berhenti. Ia hanya meminta pelan, "Sudah. Berhentilah sejenak. Kamu butuh istirahat dan berpikir jernih."
Karena mengeluh itu manusiawi. Sesekali, tak mengapa. Mungkin berkali-kali, asal tak merusak diri, juga tak masalah. Hati manusia terbuat dari daging yang bisa berdarah-darah. Bukan dari kumpulan besi dan baja yang dilumasi oli.
Kelak, ketika butuh cara untuk bersyukur, kita hanya perlu melakukan hal-hal sederhana; banyak berjalan, melihat, dan mendengar. Seulas senyum selalu punya cara untuk mekar kembali...
Saya baru mengenalnya hari ini. Meskipun pekan sebelumnya, kami pernah berpapasan dengannya di gedung DPRD. Ajakannya mampir kepada kami ketika sedang menyimak acara dari pojokan aula Masjid Taqwa. Usai berbincang akrab dengan teman-teman pewarta yang lain, ia pamit tanpa lupa menyelipkan ajakan tersebut.
Yah, kami menutup sore di teras rumahnya. Lelaki beranak dua itu tanpa sungkan menyorongkan dua piring pisang goreng dan empat gelas minuman hangat. Satu diantaranya teh, tiga lainnya kopi susu. Hidangan itu bahkan disiapkannya sendiri demi menghargai tamu. Para pewarta di daerah ini sangat mengenalnya memang sebagai seorang "sesepuh" pewarta senior.
Percakapan diantara kami mengalir teramat lancar. Apalagi, saya baru tahu asal-usulnya yang juga berasal dari tanah Jawa. Beberapa percakapan dalam mode "Jawa-ON" pun tak terelakkan. Meski logat medok saya sudah punah, tetapi untuk mengimbangi lelaki asli Probolinggo itu saya masih bagus. Teman lain terpaksa hanya bisa berharap ada subtitle yang muncul meningkahi obrolan kami. Sesekali jika tak tahan, hanya bisa lepas tertawa.
"Lalu, kenapa tiba-tiba berkeinginan jadi wartawan?" todong saya. Padahal, label wartawan tak jarang punya stigma negatif bagi masyarakat perkampungan.
Lelaki paruh baya itu tersenyum saja. Sambil sesekali mencuri dengar dari suara air yang sedang dijerangnya di dapur bawah tangga. Teman lain di sebelah saya justru sibuk memelototi smartphone-nya.
"Jadi PNS itu banyak celah berbuat kalasi-nya. Saya sudah pernah rasakan. Terlalu nyaman. Pekerjaan yang tak kemana-mana. Tak berbuat banyak hal juga sepertinya bukan jiwa saya."
Ia tak segan mengakui. Sesekali mengulur cerita cukup jauh di masanya. Bagaimana ia bisa terlempar ke daerah ini dan menantang kebiasaan untuk menjadi seorang pengumpul berita. Bagaimana ia lebih nyaman bergerak diantara waktu-waktu luang. Hingga bercerita tentang anak gadisnya yang kini mempersiapkan kuliah dengan kursus tambahan Bahasa Inggris di Kediri. Dari foto di ruang tamu, anak gadisnya sungguh sangat menyita perhatian.
Di kabupaten yang jauh dari gemerlap kota ini, banyak hal yang bisa menyurutkan semangat untuk bertahan. Mood bisa segera berubah seumpama membalikkan telapak tangan. Sunyi dan sendiri hanya sebagian dari ratusan tantangan itu. Percayalah, ada lebih banyak hal lainnya yang bisa membuatmu surut melangkah lebih jauh.
Mulai dari kamar kost yang berhadap-hadapan dengan pekuburan umum. Buku-buku yang tak terbeli lagi di akhir bulan. Berita daerah yang terkubur karena tak dilirik redaktur. Terkadang, tiga naskah terkirim hanya berbuah satu berita terbit.
Beberapa narasumber juga tak luput bikin dongkol hanya karena punya pengalaman traumatik dengan wartawan. Saya bahkan pernah dimintai surat tugas, meski di leher sudah bergelantungan ID Card sebagai pekerja media. Sang pegawai dinas tak sungkan memamerkan wajah angkuhnya di depan pegawai lain yang sebenarnya sudah menerima saya tanpa pertanyaan curiga.
Segala hal itu terkadang membuat otak saya meletup-letup. Perasaan saya jengkel untuk melanjutkan apa pun yang telah saya mulai. Kerap kali membunuh rencana-rencana yang tersusun rapi. Seolah-olah bagian dari hati kecil saya berkata, "Sudah. Berhentilah."
Akan tetapi, ada bagian-bagian lain yang menggerakan saya untuk terus mencari jawaban. Kepala penuh dengan pertanyaan, yang tak hanya bisa dituntaskan melalui wawancara. Sebagian besar jawaban justru ditemukan lewat banyak perjalanan. Apatis di kamar hingga terlelap, kerap hanya membuat saya sakit kepala.
Berkumpul diantara teman-teman baru ternyata bisa memangkas sebagian rasa dongkol itu. Tak peduli usia saya yang terpaut agak jauh di bawah belasan tahun. Cerita saya tentang narasumber resek justru menjadi olok-olok dan tawa mereka. Paling tidak, yang namanya tawa selalu menjadi virus yang menular bagi siapa.
Di luar itu, masih banyak narasumber lainnya yang peduli dengan wartawan. Meski tetap saja dengan maksud-maksud terselubung, mereka tetap sukarela menghadiahkan seulas senyum dan jabat tangan. Bahkan, tak jarang mengajak bersantai di hadapan segelas kopi-susu.
Untuk menjumpai orang-orang semacam itu, saya hanya butuh mengenal lebih banyak. Salah satu caranya, memperbanyak topik liputan yang akan mempertemukan saya dengan berbagai jenis pemberi informasi. Hal semacam itu sekaligus bisa menambah daftar tempat-tempat baru dalam lokus ingatan saya.
"Saya menikmati seperti ini. Meski tidak membuat kaya, saya akui, ada lebih banyak waktu menikmati hidup," lanjut lelaki paruh baya itu.
Suara adzan perlahan menggema. Cerah matahari juga sudah ditelan mendung. Beberapa menit lagi kami harus kembali ke rumah masing-masing. Dari atas teras yang bernuansa orange itu, saya menjumpai beberapa keping tekad yang terserak. Saya mengumpulkannya kembali.
Ternyata, suara hati saya tidak semata-mata menyuruh berhenti. Ia hanya meminta pelan, "Sudah. Berhentilah sejenak. Kamu butuh istirahat dan berpikir jernih."
Karena mengeluh itu manusiawi. Sesekali, tak mengapa. Mungkin berkali-kali, asal tak merusak diri, juga tak masalah. Hati manusia terbuat dari daging yang bisa berdarah-darah. Bukan dari kumpulan besi dan baja yang dilumasi oli.
Kelak, ketika butuh cara untuk bersyukur, kita hanya perlu melakukan hal-hal sederhana; banyak berjalan, melihat, dan mendengar. Seulas senyum selalu punya cara untuk mekar kembali...
Membaca di sela-sela hujan dari beranda kamar juga bisa teramat membantu. (Imam Rahmanto) |
--Imam Rahmanto--
0 comments