Anak Tujuh Tahun dan Pahlawan Supernya
Januari 19, 2017Baca Juga
Karena semua anak tujuh tahun berhak akan pahlawan super. Dan siapa pun yang tidak menyetujui itu, kepalanya perlu diperiksa....
Gagasan tentang anak-anak mungkin terdengar kekanakan bagi sebagian orang dewasa. Akan tetapi, tak ada yang menampik jika setiap orang dewasa begitu mendambakan “jadi anak-anak”.
(Foto: Imam Rahmanto) |
Salah satu alasan saya membaca buku ini karena tokohnya adalah seorang anak kecil. Entah kenapa, saya selalu suka kepolosan anak kecil. Bagaimana cara mereka memandang sekelilingnya. Bagaimana cara mereka menilai orang dewasa. Hingga rasa ingin tahu anak-anak yang masih segar dan tak pernah kehilangan tawa.
Saya menyukai judul novel My Grandmother Asked Me To Tell You She’s Sorry ini yang anti-mainstream. Panjang. Sekaligus memikat. Saat berkeliling toko buku, perhatian saya sudah terpaku dengan sampulnya yang sederhana: seorang anak kecil berpayung di tengah rintik hujan. Saat tahu ceritanya berputar pada seorang gadis kecil berusia tujuh tahun, Elsa, saya segera mempersuntingnya ke meja kasir. Kalau urusan buku, saya cukup percaya yang namanya jatuh cinta pada pandangan pertama.
Kisahnya juga ditulis sederhana oleh Fredrick Backman. Tak muluk-muluk seputar drama romantis. Sebagian isinya justru membawa kita pada pengalaman menceritakan dongeng bagi anak-anak. Sebagaimana Elsa, yang telah sering mendengar cerita neneknya tentang Dunia Miamas.
Ia memilinnya sebagai bunga tidur. Tak lupa mencocokkan segalanya dengan dunia nyata. Kelak, kita baru akan sadar bahwa segala cerita yang dikarang neneknya tentang dunia dongeng itu berhubungan erat dengan kehidupan nyatanya bersama orang-orang di sekitar mereka.
"Hanya orang-orang berbeda yang mengubah dunia." Nenek pernah berkata. "Tidak ada orang normal yang mengubah apapun." (hal.119)
Nenek Elsa orang yang konyol. Bagi Elsa, nenek adalah pahlawan supernya. Keduanya disatukan oleh cerita-cerita dongeng yang berulang kali diceritakan nenek. Sayangnya, kebiasaan dan kekonyolan neneknya harus berakhir karena penyakit yang dideritanya. Ia harus meninggalkan Elsa bersama ibunya dan beberapa tetangga flat yang cukup misterius.
Akan tetapi, nenek Elsa masih menyisakan banyak rahasia. Ia menitipkan misi rahasi kepada cucu tersayangnya itu. Satu surat pada Elsa yang harus diteruskan pada seseorang. Satu surat yang bakal berlanjut pada surat-surat lainnya. Satu surat yang ternyata bisa mengubah jalan hidup orang-orang di sekitar Elsa. Tak terkecuali bagi Elsa sendiri.
Kekuatan paling dahsyat yang dimiliki kematian bukanlah karena kematian bisa membuat seseorang mati, melainkan karena itu bisa membuat orang-orang yang ditinggalkan ingin berhenti hidup. (hal.291)
Sebenarnya, dibanding buku Ziggy yang sempat saya baca sebelumnya (Di Tanah Lada), isi buku ini jauh lebih ringan. Hanya saja, terkadang penyampaian alih bahasa bisa menyesatkan pembaca. Barangkali karena ini adalah buku terjemahan. Sebagian terjemahannya tak teradopsi dengan baik.
Benar kata teman saya, “Membaca buku terjemahan, paling tidak cermati siapa penerjemahnya.”
Sayangnya, bagi seorang pembaca “banyak-genre” seperti saya, penulis dan kepopuleran buku tidak menjadi begitu penting. Saya pernah kebingungan saat ditanya seorang teman dari jurusan sastra soal genre novel kesukaan. Bagaimana tidak, saya tak pernah mematok prioritas berdasarkan genre tertentu. Saya lebih senang bereksperimen dengan penulis-penulis baru atau hanya karena tertarik dengan sampul atau cover bukunya.
Tetap saja, siapa saja masih bisa mencerna keseluruhan isi buku setebal 496 halaman ini. Asalkan membacanya tak diburu waktu. Bisa ditemani secangkir kopi-susu, setangkup roti, duduk-duduk di depan beranda kesayangan.
Di beberapa momen, buku ini benar-benar menyentil tentang sebagian kebiasaan orang dewasa. Tentu lewat sudut pandang anak yang hampir berusia delapan tahun. Karena bagaimana pun, setiap anak berhak mendapatkan pahlawannya masing-masing...
Hanya orang-orang berbeda yang mengubah dunia." Nenek pernah berkata. "Tidak ada orang normal yang mengubah apapun." (hal.119)
"....tapi jika kau tidak memedulikan apapun, kau sebenarnya sama sekali tidak hidup. Kau hanya ada..." (hal.438)
--Imam Rahmanto--
0 comments