Kolase Akhir Tahun (2)

Desember 31, 2016

Baca Juga




#5
Tahun ini juga jadi bagian penting dalam pemenuhan kebutuhan hidup saya. Untuk pertama kalinya saya merasa jadi orang yang benar-benar mandiri, dalam artian tak lagi menggantungkan keinginan atau urusan pada orang tua. Segala hal yang berhubungan diri sendiri harus ditanggung dengan sepenuh hati. Termasuk kendaraan pribadi. Terasa lebih dewasa gitu loh!

Tak ada lagi nebeng-nebeng ke teman. Tak ada lagi unsur bikin repot dan menyusahkan teman-teman lain. Tak perlu lagi mengukur jarak lepas pantai dengan angkutan kota a.k.a pete-pete. Saya sudah hafal betul arah jalan di seluruh titik kota Makassar.

#6
Saya wajib berterima kasih kepada Tuhan. Banyak perjalanan yang saya lalui setahun belakangan ini. Lintas kota, lintas daerah, hingga lintas pulau.

Beberapa tempat menciptakan banyak kerinduan dalam hati kecil saya. Tak cukup rasanya menjelajah dalam tempo seminggu. Kota Bandung dengan semilir lembut udara paginya. Hijau pohon dimana-mana membuatnya semakin rindang. Sudut-sudut Braga sebenarnya masih mengundang sejuta rasa penasaran.

Sementara Jogja dengan berbagai macam wisata budayanya selalu mengundang perhatian. Saya dua kali menyambanginya tahun ini. Keduanya dalam nuansa yang berbeda. Sekali, liburan. Lain waktu, liputan. Setidaknya, dua-duanya tetap membaui aroma kesederhanaan kota Jogja.

Saya berusaha sok paham detail lukisan di Museum (galeri lukis) Affandi, Jogja. 
Tak jauh dari kota Makassar, ada pula Maros yang menjadi penjelajahan alam liar. Saya menikmati pompaan adrenalin bersama para penunggang mobil-mobil besar. Disapu lumpur. Disambut nyamuk hutan. Dirubungi nyamuk. Berteriak-teriak dari dalam mobil yang berguncang. Tanpa sinyal seluler yang mendukung untuk sekadar mengirimkan email.

Saya menikmati perjalanan-perjalanan sederhana nan keren itu. Beberapa darinya saya lalui seorang diri. Tetap menawarkan kesenangan keluar dari rutinitas. Yah, semuanya memang hadir ketika saya sudah mulai suntuk dengan pekerjaan yang hanya berputar di sekitar kota Makassar. Tiba begitu saja, tanpa aba-aba. Saya terkadang hanya butuh sehari atau dua hari untuk packing.

Karena sadar dengan segala jenis perjalanan mengagumkan itu, saya sudah siap untuk petualangan yang lebih jauh. Maka beberapa bulan lalu saya telah menyiapkan paspor. Sudah resmi dalam genggaman.

Go anywhere! (Imam Rahmanto)

#7
Tahun 2016 merupakan masa bapak dan mamak menutup perantauannya di tanah Sulsel. Mereka memutuskan kembali ke kampung kelahirannya di Jawa, menyisakan semua kenangan di Enrekang. Kedua anaknya pun yang beraktakan tanah Massenrempulu.

Bapak sudah tak bisa berbuat banyak dengan penyakitnya. Sudah tepat baginya untuk istirahat menunggui masa tua. Toh, anak pertamanya sudah mampu membeli pulsa sendiri. Ia tak butuh lagi sekadar kiriman bulanan. Putra sulungnya itu yang sudah harus menyisipkan kiriman itu untuknya dengan sedikit kebahagiaan untuk keluarga-keluarga di kampung halaman. Disana, ada Paklik atau Buklik yang bisa mengulurkan tangan jika bapak butuh bantuan.

"Sedekat-dekatnya kamu berteman, keluarga tetap jadi tempatmu kembali," pesan bapak selalu.

Dan ketika saya menyebut kata "pulang", sejatinya tahun ini mengarahkan saya pada sebenar-benarnya kampung halaman yang telah lama terlupakan. Saya masih berada di Makassar. Memutuskan bekerja di kota metropolitan ini. Sekaligus menjadi penghubung kenangan bapak dan mamak atas tempat yang membesarkan kedua anaknya.

***

Tahun 2016 memang menyisakan banyak momen spesial atau terburuk saya. Meski begitu, semua sudah berlalu. Masih banyak hal yang perlu dipersiapkan untuk menatap tahun depan. Sedikit perbaikan untuk hal-hal yang memang dianggap buruk.

Pun, saya akan memasuki babak baru di tahun 2017 nanti. Saya dihadapkan pada tantangan baru yang lebih tinggi dalam kerja-kerja redaksional media. Bisa dibilang, beberapa diantara kami diangkat ke level yang lebih tinggi.

Saya harus mulai (kembali) merasai hawa dingin malam-malam di seluruh pelosok Enrekang. Dipindahtugaskan. Ini seolah menjemput kembali kenangan yang nyaris usang. Berjibaku dengan urusan pemerintahan dan segala hal yang dibutuhkan media kami. Hingga batas waktu yang belum ditentukan.

Penempatan di daerah itu sebenarnya bisa berarti pula ijabah Tuhan atas permintaan hati kecil saya. Sebagaimana saya selalu beranggapan bahwa waktu luang tak pernah bisa dihargai dengan uang. Saya akui, tahun ini, ada banyak waktu luang yang terbuang. Bahkan untuk berkumpul dengan teman atau menikmati pesona alam seadanya. Ternyata, Tuhan tahu cara mengembalikan sebagian waktu yang hilang itu.

Saya akan semakin banyak merasai waktu bersantai dan menyisipkan target lain yang sempat tertunda. Meski agak sedikit mengesalkan, barangkali ini cara lain agar saya lebih hidup dan bergairah.

Oiya, saya juga harus mengepak lebih banyak buku dari dalam kamar. Saya butuh banyak stok novel di tempat yang jauh dari hingar-bingar kesibukan kota...

*Sampai berjumpa Makassar dan tahun 2016...



--Imam Rahmanto--

You Might Also Like

0 comments