Ke(saya)ngan #3

Juli 01, 2016

Baca Juga

Selamat datang kembali...

Saya baru pulang. Genap dua minggu sedang menginap di luar "rumah". Tak pulang-pulang. Sedang berpikir. Entahlah. Di kepala serasa ada yang mengganjal saja. Padahal, itu hanya sekadar pelarian, bukan? Selain karena rasa malas dan kebanyakan tidur di waktu Ramadan ini.

Saya pernah bercerita tentang barang-barang ke(saya)ngan. Mereka yang telah menjadi ciri dan mungkin kepribadian utuh pemiliknya (baca: saya). Kian waktu, mereka hilang dan (mesti) berganti. Meski tak lagi sama, mereka tetap menjadi ke(saya)ngan. Atau bisa jadi barang ke(saya)ngan itu akan bertambah kelak.

Buku/ novel
Salah satu barang yang kian menyesakkan kamar saya. Barang sakral yang juga mendominasi dinding kamar kost. Jumlahnya bahkan jauh lebih banyak ketimbang kaos dan kemeja di balik lemari saya. Segala judul beraneka ragam. Namun jangan tanya judul buku eksak atau mata kuliah. Tak ada.

Barang-barang ini takkan pernah berganti secara harfiah. Hanya terbarukan lewat edisi-edisi dan judul yang semakin beraneka ragam.

Setiap bulan, saya memang menargetkan untuk menyelurkan sedikit penghasilan pada investasi berbagai judul novel. Meski tak tuntas membacanya dalam sebulan, intinya koleksi tetap jalan. Itu karena perpustakaan pribadi juga termasuk dalam katalog mimpi saya sejak dulu.

"Hm...mungkin saya siap kalau ada perempuan manis yang bersedia dinikahi dengan mahar seperangkat alat shalat + seruang perpustakaan dibayar tunai," kata saya suatu ketika dengan nada bercanda. #ehh, tapi ini bukan bercanda juga sih...

Handphone/ Smartphone
Setelah bertahan dengan smartphone pertama, awal tahun ini, saya punya kesempatan untuk memperbaharuinya. Tuhan memang selalu tahu cara menempatkan rezeki-Nya. Gadget lama, yang sudah tak bisa bertahan standby dua jam, dipakai adik saya di rumah.

Salah satu gadget ini memang menjadi kebutuhan utama saya sebagai seorang pewarta. Saya tak lagi menggunakan notebook/ blognote untuk sekadar mencatat hasil wawancara. Kecuali untuk menggambar doodle.

Setiap kali berhadapan dengan narasumber, jari-jari mungil saya akan sibuk berjibaku dengan layar smartphone. Ditambah, fasilitas "ponsel pintar" juga sudah lengkap dengan segala fiturnya. Rekaman, menulis, memotret, semua keperluan itu harus dirangkum jadi satu. Bisa dibilang, tiada hari tanpa menulis di smartphone. Serangkaian catatan seperti ini pun untuk sementara saya buat lewat layar sentuh.

Itulah mengapa saya butuh meng-upgrade jenis "senjata" di lapangan dengan smartphone yang lebih menjanjikan. #uhukk

Gitar
Yah, riwayatnya sudah tamat. Sebenarnya saya selalu merindukannya. Setiap kali mendengar lantunan dawai gitar, jari saya pasti tergelitik ingin ikut memainkan. Sayang, saya masih butuh waktu untuk bisa meng-upgrade salah satu ke(saya)ngan ini. Kecuali kalau ada rezeki lain.


Laptop
Tak berbeda, laptop saya kini hanya menyisakan hardisk-nya. Saya mengubahnya sebagai hardisk eksternal. Meski badannya sudah tiada, isinya masih bisa tersentuh. Kalau saya butuh, tinggal mencoloknya saja ke laptop atau PC lain.

Saya sebenarnya juga berencana untuk menggantikannya dengan yang lebih baru. Salah satu alasan terberat dari tak-pulang-ke-rumah-ini, ya karena saya sedang kebingungan mencari laptop. Untuk merombak "rumah" ini, butuh desain dari beberapa software di laptop. Saya tak mungkin melakukan proses designing hanya berbekal smartphone yang aplikasi dan layarnya sangat terbatas.

Akan tetapi, lagi-lagi, keinginan saya untuk memiliki laptop spesifikasi keren juga masih harus tertahan beberapa waktu. Ada beberapa hal mendesak yang lebih butuh perhatian.

Ransel
Saking sayangnya dengan ransel satu ini, saya pernah menjahit khusus resleting-resletingnya yang sudah rusak. Biaya perbaikannya justru lebih mahal ketimbang ongkos membelinya dulu.

Saat menjalankan tugas sebagai pewarta, tas ke(sayang)an itu tak pernah lepas dari bawaan saya. Namun kondisinya yang sudah mulai robek, membuat saya berpikir ulang jika harus membawanya kesana kemari. Itu sudah berlangsung dua-tiga bulan belakangan ini. Seiring waktu, saya malah mulai terbiasa bepergian tanpa menyandang ransel itu lagi.

Keinginan untuk menjahitnya kembali juga terlampau maksa sih. Menggantikannya dengan yang baru nampaknya justru akan lebih baik.


***

Seperti barang-barang itu, ada kalanya kita memang harus paham untuk merelakan yang harus dilepaskan. Mengikhlaskan pengganti yang lebih baik. Bukan karena kita tak menyukainya lagi. Hanya saja, waktu dan kebutuhan yang membuatnya jadi hal berbeda.

Mungkin, ketika saya terus mempertahankannya, tak akan memberikan manfaat lebih besar. Pertimbangan kemaslahatan juga tentu lebih besar, selain persoalan untung-rugi.

Saya harus menyesuaikan kebutuhan gadget untuk keperluan kerja. Tak semata-mata terdorong oleh gaya hidup dari kebanyakan orang. Pekerjaan saya menuntut untuk mampu beradaptasi dengan segala kalangan narasumber melalui "pegangan" teknologi yang cukup meyakinkan.

Pernah menonton anime One Piece? Sang penulis manga, Eichiro Oda begitu jenius menempatkan momen paling epik ketika para kru kapal bajak laut Topi Jerami harus merelakan kepergian sang kapal kesayangan, Going Merry.

Kapal itulah yang selama ini telah menemani arah petualangan mereka. Kapal yang juga tak jarang menjadi penyelamat di saat-saat genting menghadapi musuh bajak laut hingga angkatan laut Marine. Kapal yang "hidup" sebagai nakama/ teman perjalanan di laut.

Luffy harus sampai berduel dengan temannya, Usopp, hanya gara-gara perselisihan, apakah akan mengganti kapal itu dengan kapal baru? Usopp yang bisa dikatakan sebagai pemilik kapal tak rela kapal kesayangan mereka diganti. Akan tetapi, sebodoh-bodohnya kapten kapal, Luffy tahu kalau kebutuhan mereka saat itu adalah mengganti kapal dengan yang lebih bagus dan bisa menemani perjalanan mereka lebih jauh lagi. Alhasil, "kematian" Going Merry menjadi epic moment dalam dunia One Piece tersebut.

Episode paling mengharukan dari anime One Piece. (Sumber: Google)

Pada saatnya kita memang harus kehilangan sesuatu yang dianggap berharga. Kenyataannya, bukan benar-benar lenyap tak bersisa. Hanya menyesuaikan saja dengan keadaan bagaimana ia dibutuhkan. Terkadang, kita mesti pandai menempatkan perasaan masih-sayang itu.

Karena sejatinya, tak ada yang benar-benar hilang. Segalanya berganti dan tetap akan membekaskan kenangan. (*)


*Imam Rahmanto


NB: Semakin lama menggarap naskah-naskah olahraga, saya semakin terbiasa dengan model tulisan straight-news. Tulisan ala "saya" semakin pudar dimakan waktu dan intensitas menulis berita yang saban hari dipelototi.

You Might Also Like

0 comments