Kenangan yang Patah-patah

Juli 12, 2016

Baca Juga

"Lah, ternyata kalian?" ujar saya terkejut.

Bagaimana tidak, saya bertemu dengan beberapa teman lama saat menyambangi rumah seorang teman perempuan, lebaran kemarin.

"Saya kira tadi siapa gitu, keluarganya Hasni, karena rame-rame turun dari mobil," lanjut saya, yang tiba hampir bersamaan dengan mereka. Saya bersilaturahmi hanya dengan senjata dua orang, yakni Imam Saleh (nama kami sama, namun teman main masa kecil satu ini sekarang bekerja di Jakarta sebagai salah satu kontraktor perusahaan pengembang) dan Taufik (teman SMA, bekerja di media yang sama dengan saya).

"Wahhh....." seru teman lain yang juga tak menyangka kami akan berkunjung malam itu.

Semua "jenis" teman yang hadir bersilangan. Ada teman main, teman SD, teman SMP, teman SMA, hingga teman kuliah. Sisa teman hidup saja yang belum ketemu. Maka tumpah ruahlah segala kabar dari masa lalu.

***

Saya dijamu banyak kenangan saat berjumpa teman-teman di kampung halaman. Mereka memang selalu jadi pemantik ingatan jika berkunjung ke muasal kehidupan. Sejatinya, sebagian besar jalur hidup memang untuk menemukan teman-teman yang baik. Tak ada teman yang buruk. Hanya standar setiap orang mengenai "teman ideal" saja yang tidak sama dan cenderung menginginkan yang terlalu sempurna.

Jika diminta mengingat satu-satu, saya barangkali takkan bisa dengan tepat menyebutkan nama beserta wajah teman-teman di masa SD dulu. Penampilan sebagian besar dari mereka teramat banyak berubah dalam kurun waktu belasan tahun. Bisa saja tambah keren, cantik, atau apa saja yang akan membuat kita tak mengedipkan mata agak lama. Bahkan, untuk beberapa wajah teman semasa SMA pun saya masih harus menggali ingatan lebih jauh.

"Hei...." diselingi jeda hening yang panjang karena tak jarang lupa siapa nama teman yang menyapa. Cukup senyum sumringah saja agar  tak kecewa.

Sebagian yang mengenal saya di masa SMA mungkin hanya karena mengingat label. Teman-teman seangkatan (dan junior) paling banter hanya melabeli dengan, "Oh...dia itu dulu Ketua OSIS." Jabatan yang saya anggap masih biasa-biasa saja kala itu. Padahal di kalangan anak-anak perkotaan, jabatan itu terlihat keren dan berwibawa. Sangat jauh-jauh-jauh-jauh berbeda dengan kesan pribadi yang cenderung bertingkah konyol dan tak jelas. #duh

Gara-gara dikenal begitu, saya hanya bisa mengingat wajah yang cukup familiar. Tingkatan kelasnya juga lebih lekat di kepala ketimbang nama lengkapnya. Hanya teman-teman sekelas, sepermainan, seperjuangan saja yang masih terekam jelas di ingatan. Dan termasuk mereka yang selalu jadi spesial karena pernah mengetuk pintu hati.

Momen lebaran kemarin tentu menjadi sesuatu yang cukup ditunggu-tunggu. Kita menjenguk kenangan masing-masing. Menyempatkan diri untuk melepas rindu dengan teman yang masih bisa dijumpai di tanah kelahiran. Berjumpa dengan perasaan yang dikulum senyum sumringah. Bisa jadi, karena ada rasa-rasa "cinta monyet" yang pernah terjalin. Seperti apa pun jenis masa lalu, tak perlu saling menjauh.

Entah, saya ingin menyebutnya apa jikalau bukan kampung halaman. Di tanah Masssenrempulu, Enrekang, saya lahir dan dibesarkan. Sementara semua silsilah keluarga - bapak, mamak, paman, tante, sepupu, kakek, nenek - berasal dari Jawa.

Sebenarnya, sebagian besar teman disana juga sudah tak diketahui rimbanya lagi. Masing-masing sudah sibuk dengan kehidupan baru yang dijalani. Apalagi, di usia seperempat abad, kami bukan lagi remaja ingusan yang hanya tahu cinta-cintaan monyet. Prioritas lain lebih penting. Ada yang merantau, berpindah kampung, bepergian tak kembali, bekerja tak pernah pulang, hingga yang sibuk menghabiskan waktu menjaga anak-anaknya. Sesekali hanya social media seperti facebook yang bisa menghubungkan kami.

Seandainya libur lebaran kemarin dihadiahi lebih banyak waktu, saya berpikir bisa menyambangi ingatan-ingatan yang lain. Sekaligus menelusuri tempat-tempat menarik. Setidaknya, ada beberapa teman baik yang ingin saya jumpai. Saya benci jika hanya bertanya kabar lewat status facebook atau bbm. Bertatap muka selalu jauh lebih berharga.

Waktu tiga hari terasa begitu singkat. Saya harus kembali bersisian dengan deadline. Di lain kesempatan, semoga saya punya lebih banyak ole-ole cerita (unik dan mengesankan) yang bisa dibawa pulang.

"Ternyata kamu sudah besar ya?" kawan bapak dan mamak di kampung Enrekang lebih banyak berujar demikian. Lebih beruntung lagi, saya tak ditodong dengan pertanyaan pamungkas, "Kamu kapan nikah?"



--Imam Rahmanto--

You Might Also Like

0 comments