Iringan Hidup yang Mengelabui Waktu

Agustus 24, 2015

Baca Juga

Kalian tahu kematian? Ia dekat sekali. Teramat dekat. Tak lebih dari sejengkal jari dari kepala.

Tuhan nampaknya sedang gencar memperingatkan manusia bebal. Berita duka sambar-menyambar kesadaran saya beberapa hari terakhir. Yah, benar-benar melesak ke dalam bawah sadar untuk dimaknai secara mendasar.

Pekan lalu, saya mendapati seorang pelatih kesebelasan Arema Cronus, Suharno, menghembuskan napas terakhirnya. Usai membina pasukannya latihan, ia tetiba terkena serangan jantung. Di tepian lapangan, ia mungkin menyaksikan langit untuk terakhir kalinya.

Bagi orang, mungkin itu hal biasa saja. Tidak seperti artis Olga Syahputra yang dielu-elukan penggemarnya. Tak banyak yang mengenal namanya. Mungkin hanya pemain dan pegiat sepak bola saja yang tahu Suharno.

Akan tetapi, kematiannya itu justru menggetarkan satu titik ruang di kepala saya. Meski tak punya kedekatan apa pun - hanya karena bertemu satu titik wawasan Olahraga -, saya agak terhenyak. Hal itu menegaskan, kematian memang bisa datang kapan saja.

Persis siang ini, saya menerima kabar tak menyenangkan lagi. Siapa menyangka, ternyata kematian begitu cepat menemui salah seorang teman saya di kantor. Tanpa pamit atau permisi. Beberapa kabar hari ini yang menyumpal media sosial membuat saya harus merenung lama. Saya bahkan tak mampu hadir dengan teman-teman lain berjejal di rumah sakit mengantar ke peristirahatan terakhir. Malam ini, ia telah sampai di kampung halaman. Tenang. Esok, ia akan benar-benar tiba di rumah tempat pulang terakhir.

Seorang teman yang baru sekira 4 bulan berkenalan dengan dunianya di jurnalistik. Pun, dengan saya, yang pertama kali berbincang dengannya di sela tugas peliputan kantor walikota.

"Kerja seperti ini, kenapa mau?"

"Ya daripada nganggur. Kakak saya dapat info dari temannya, yang wartawan disini. Katanya terbuka pendaftaran. Makanya saya coba saja," ujarnya.

Ia bercerita tentang salah seorang senior wanita yang merupakan teman baik kakaknya.

Padahal ia merupakan alumni Fakultas Hukum UMI setahun lalu. Usianya dua tahun lebih tua dari saya. Katanya, ia sedang mencari-cari kesempatan untuk bisa meneruskan pendidikannya sebagai calon pengacara.

Dialah Surialang. Pertama kali bertemu dengannya, saya harus memastikan pelafalan namanya dengan benar. Bagaimana tidak, orang-orang bakal terpedaya mengeja namanya sebagai Suryalam. Seperti berita pertama yang saya baca hari ini.

Kami sering bercanda dengannya. Mm...mungkin lebih tepatnya mengusili dengan sejumlah candaan. Saya kadang terlampau usil menjawil-jawil kepalanya. Akan tetapi hanya dibalasnya dengan senyuman dan sedikit teguran kaku darinya. Kalau ingin debat, coba saja padanya. Ia tak bakal berhenti jika perbincangan itu sudah menjurus terkait agama.

Lantas kami semua mengenalnya sebagai orang yang taat beragama. Ia memang mengaku sebagai anak Hizbut Tahrir. Wajar jikalau ia beberapa kali diplot pada peliputan bernuansa Islami, kendati harus melenceng dari desk-nya bersama saya di Olahraga (Sportif). Seperti pada liputan terakhirnya ini...... ia diperbantukan menangani halaman khusus terkait Jemaah Haji.

Saya masih ingat, betapa ia merasa dekat dengan cita-citanya naik haji saat diplot disana. "Semoga dengan tugas baru ini semakin mendekatkan saya ke tanah suci" salah satu kata yang bergeming di kepala saya saat menjelajah timeline di BBM beberapa waktu lalu. Sejujurnya, saya terngiang-ngiang dengan kata itu. Serupa pesan tersirat yang diusung ke langit.

Dan atas pekerjaan pilihannya itu, Tuhan memilihkannya jalan gugur yang indah. Betapa kematian memang tak pernah memberi aba-aba...

***

Orang-orang mengusap mata yang berkaca-kaca. Teman-teman menangis. Keluarga meratap tak rela melepas kepergian selamanya. Sanak-saudara mengantar dengan batu berat dijejal dalam jantung. Tangan-tangan gemetaran mengusung keranda yang menyisakan senyum terakhir di raut wajah. Kumandang takbir bergantian membisiki telinga. Salam perpisahan tak pernah terulur dan terukur. Hilang. Begitu saja.

Sadarkah kita, kematian tak pernah memandang kasta dan rasa? Setiap orang punya peluang yang sama bertemu dengan-Nya. Dalam aturan Matematis, peluang antara hidup dan mati itu sebatas 50:50. Tak ada angka pasti yang mampu mengukur sejauh apa lagi usia kita bakal berakhir.

Ada orang-orang yang kondisinya sudah tak bisa lagi bangun dari tempat tidur. Ada orang yang tak mampu lagi hidup tanpa bantuan alat medis. Ada orang yang saban hari berobat ke rumah sakit untuk memperpanjang umur. Ada para korban yang kehabisan stok darah. Ada lelaki tua yang siap menyambut Malaikat Israil. Akan tetapi, siapa yang menyangka, ternyata Tuhan bisa memutar waktu hidup mereka lebih lama dibanding orang-orang yang sehat sepanjang waktu.

Satu rahasia Tuhan itu adalah tentang kematian. Tak ada ilmuwan untuk mengukur jaraknya dari depan mata. Tak ada paranormal yang bisa memastikan ketepatan ramalan kematiannya. Karena kematian adalah ketakutan.

Satu hal yang pasti, bahwa kematian akan selalu bersisian jalan dengan hidup kita. Seperti Munkar dan Nakir yang tak pernah lepas ikatannya pada manusia.

Selamat berbahagia, kawan. Jika hidup terlampau singkat untukmu, biar Tuhan yang merangkul senyummu di ujung jalan-Nya...


Seorang lelaki yang berada tepat di bawah alfabet "A", mengacungkan dua jarinya, seperti kami (anak desk Sportif)
biasa memanggilnya: Alang.  Selamat jalan.


--Imam Rahmanto--

You Might Also Like

0 comments