Anak Lelaki Itu

Juni 17, 2015

Baca Juga

Alkisah, hiduplah seorang anak yang tidak kaya, tidak pula berkekurangan. Ia hidup sebagaimana orang-orang kampung beregenerasi. Makan tiga kali sehari. Daging ikan sekali-kali. Daging ayam setiap setahun sekali. Mungkin hanya pada saat 2 waktu lebaran tiba.

Bapaknya hanya bekerja sebagai pengepul barang bekas. Sekali waktu menjual pakaian cakar. Ibunya, hanya berlaku sebagai ibu rumah tangga yang baik hati dan berbakti pada suaminya. Kelak, kalian akan tahu seberapa besar baktinya itu menggerus batu di hati suaminya.

Nah, ketika kita memundurkan roda waktu ke belakang, kita akan membuka pintu dimana ia dilahirkan. Tepat pertengahan tahun dan pertengahan bulan. Di tahun lagu-lagu The Muppet dan Ebiet G. Ade merajai pasaran. Kalau engkau tak tahu The Muppet itu band atau grup vokal, dengarkan saja lagunya bermula di Teluk Bayur pada Youtube. Zaman sekarang, lagu apa sih yang tak bisa dicari? Suaranya serupa perempuan cempreng yang dinyaring-nyaringkan.

Kendati demikian, suara itu yang kerap diputar bapaknya sembari menyambut lelap di tengah gulita. Kalau sedang bosan, lagu Gun n Roses bisa menjadi alternatif pilihan kebarat-baratannya. Hanya saja, anak lelakinya justru dibesarkan oleh lagu-lagu Dewa 19, Sheila On 7, dan Padi.

Masa kecil anak lelaki itu masih akrab dengan permainan-permainan tradisional yang tidak mengenal facebook dan twitter. Masih belum mengerti arti retweet atau share. Hanya tahu gundu, wayang, layangan, mercon, berlari-lari, hingga memanjat pohon (untuk memetiki buah jambu).

Ah, ia takkan pernah lupa hadiah pertama dari bapaknya. Sebuah games canggih abad itu, menyaingi games paling canggih Play Station (PS) keluaran pertama. Hadiah itu hasil taruhan bapaknya dengan dirinya.

"Kalau kamu bisa meraih ranking 1 lagi, saya akan belikan games seperti punya temanmu," janji bapaknya. Prestasinya di sekolah masih tak pernah lepas dari 3 besar. Hanya saja, fluktuatif serupa harga bawang merah di pasaran Indonesia.

Anak lelaki itu memenangi pertaruhan. Saban hari, kerjanya mengajak teman-teman sebaya bermain di rumahnya. Mulai dari permainan Tetris, hingga Mario Bros dan Contra jadi andalan mereka. Masih banyak jenis yang lainnya. Maklum, satu disk kotak persegi itu memuat hingga 50 game nintendo.

Kita telah melihat kilas kehidupan anak itu. Hingga beranjak remaja, ia masih dikenal teman-temannya sebagai anak kecil. Secara harfiah, memang kecil, lantaran tubuhnya yang tak pernah tumbuh. Hanya disegani teman-temannya, mungkin karena keunggulan hitung-hitungan dan hafal-hafalannya saja.

Aduh, kalian bakal bingung mendengar kisah anak kerdil itu. Beratus-ratus lembar buku takkan pernah menuntaskan kisahnya. Saban hari hanya menggumam tentang mimpi-mimpi tak jelas. Makin banyak ia membaca novel dan buku motivasi, makin membuat dia gila ingin  merasainya.

Tapi, tahukah kalian, sebagian hidup yang dijalaninya sekarang adalah apa yang diinginkannya dari dulu. Ia memilin impian itu. Perlahan, mengikatnya tepat di alam bawah sadar. Ada rencana yang digambarnya dari pangkal. Tak terpengaruh ajakan atau tawaran menggiurkan orang-orang necis yang menghampiri. Paradigma tentang apa yang benar di tengah masyarakat kelahirannya juga dibuang jauh-jauh. "Saya menjalani apa yang ingin saya jalani," cetusnya.

Kelak, ketika kau bertanya tentang anak kecil itu, di usianya yang sudah menginjak 24, ia dengan bangga hati bakal menjawab, "Saya, kalian telah mengetahuinya."

Akh, besok puasa dan ia merindukan rumah...


--Imam Rahmanto--

You Might Also Like

4 comments

  1. Balasan
    1. Mudah2an orangnya maksudnya yang keren ya, Mas? :D

      Hapus
    2. Tulisan, jejak kaki dan impiannya ya mas ... kalau orang'y jangan di tnya lagi, udah pasti keren :)

      Hapus