2# Dalih
Juni 19, 2015Baca Juga
Ramadhan#2 |
Di bulan puasa, liputan nampaknya agak berkurang. Pasalnya, jam-jam kerja pegawai negeri juga ikut dikurangi. Segala kegiatan maupun agenda pemerintahan juga dibatasai. Alasannya, selalu sama, karena puasa. Jadinya, saya agak sulit menentukan bahan liputan hingga deadline tiba.
Hampir semua "gerak-gerik" orang di Bulan Ramadhan ini selalu dikaitkan dengan puasa. Parahnya lagi, kita tanpa sadar selalu mengkambinghitamkan salah satu rukun Islam itu.
"Kenapa telat bangun pagi?"
-Saya tertidur habis sahur
"Kenapa tidak olahraga?"
-Kan puasa
"Pulang kok cepat sekali?"
-Puasa. Mau ngabuburit
"Aduh. Saya lupa! Gara-gara puasa ini, makanya kurang fokus,"
Berhitung saja, ada berapa banyak dalih "gara-gara-puasa" yang kita lontarkan sebagai pembenaran di bulan penuh berkah ini? Sementara kita dituntut puasa seharusnya atas dasar keikhlasan dan tanggung jawab. Kalau sepanjang hari kita, manusia, menggerutu dan menjadikan puasa sebagai tameng atas beberapa kelalaian, entah sejauh mana batas keikhlasan kita membangun jiwa puasa. Puasa tak lagi soal menunaikan rukun Islam, melainkan sekadar aturan wajib yang ditunaikan untuk menggugurkan tanggung jawab.
Saya justru berpikir, di waktu puasa seperti ini, segala aktivitas seharusnya berjalan normal-normal saja. Tolerir-tolerir dari instansi tempat kerja dan kebijakan "apalah gitu" malah membuat umat Islam semakin manja dan ngarep dimanjakan.
Kita, umat Muslim, seolah-olah kaum lemah minoritas yang butuh simpati berlebih. Padahal, kan, kita juga berpuasa untuk membangun pribadi yang lebih tangguh. Kemanjaan-kemanjaan semacam itu justru semakin "menina-bobokan" dan membuat sifat malas manusiawi terbangun. Sedikit-sedikit, beralasan puasa. Sedikit-sedkit, mau tidur. Sedikit-sedikit, ngarep tidak melakukan apa-apa. Ya Tuhan ada apa sih dengan manusia-manusia-Mu ini?
Come on! Puasa tidak sekadar menahan lapar, haus, dan nafsu saja. Manusia seyogyanya dilatih kuat bersabar sebagaimana orang-orang dhuafa melakukannya. Dari kesabaran, kekuatan, kebulatan tekad, maka Tuhan berharap manusianya (yang Muslim) bisa naik tingkat level; manusia bertakwa. "La'allakum tattaqun".
Dan hal semacam itu takkan bisa diraih jika jalan yang ditempuh lurus-lurus saja.
Di bulan puasa, liputan nampaknya agak berkurang. Pasalnya, jam-jam kerja pegawai negeri juga ikut dikurangi. Segala kegiatan maupun agenda pemerintahan juga dibatasai. Alasannya, selalu sama, karena puasa. Jadinya, saya agak sulit menentukan bahan liputan hingga deadline tiba.
Hampir semua "gerak-gerik" orang di Bulan Ramadhan ini selalu dikaitkan dengan puasa. Parahnya lagi, kita tanpa sadar selalu mengkambinghitamkan salah satu rukun Islam itu.
"Kenapa telat bangun pagi?"
-Saya tertidur habis sahur
"Kenapa tidak olahraga?"
-Kan puasa
"Pulang kok cepat sekali?"
-Puasa. Mau ngabuburit
"Aduh. Saya lupa! Gara-gara puasa ini, makanya kurang fokus,"
Berhitung saja, ada berapa banyak dalih "gara-gara-puasa" yang kita lontarkan sebagai pembenaran di bulan penuh berkah ini? Sementara kita dituntut puasa seharusnya atas dasar keikhlasan dan tanggung jawab. Kalau sepanjang hari kita, manusia, menggerutu dan menjadikan puasa sebagai tameng atas beberapa kelalaian, entah sejauh mana batas keikhlasan kita membangun jiwa puasa. Puasa tak lagi soal menunaikan rukun Islam, melainkan sekadar aturan wajib yang ditunaikan untuk menggugurkan tanggung jawab.
Saya justru berpikir, di waktu puasa seperti ini, segala aktivitas seharusnya berjalan normal-normal saja. Tolerir-tolerir dari instansi tempat kerja dan kebijakan "apalah gitu" malah membuat umat Islam semakin manja dan ngarep dimanjakan.
Kita, umat Muslim, seolah-olah kaum lemah minoritas yang butuh simpati berlebih. Padahal, kan, kita juga berpuasa untuk membangun pribadi yang lebih tangguh. Kemanjaan-kemanjaan semacam itu justru semakin "menina-bobokan" dan membuat sifat malas manusiawi terbangun. Sedikit-sedikit, beralasan puasa. Sedikit-sedkit, mau tidur. Sedikit-sedikit, ngarep tidak melakukan apa-apa. Ya Tuhan ada apa sih dengan manusia-manusia-Mu ini?
Come on! Puasa tidak sekadar menahan lapar, haus, dan nafsu saja. Manusia seyogyanya dilatih kuat bersabar sebagaimana orang-orang dhuafa melakukannya. Dari kesabaran, kekuatan, kebulatan tekad, maka Tuhan berharap manusianya (yang Muslim) bisa naik tingkat level; manusia bertakwa. "La'allakum tattaqun".
Dan hal semacam itu takkan bisa diraih jika jalan yang ditempuh lurus-lurus saja.
--Imam Rahmanto--
0 comments