Sekolah dan Ceritanya
Mei 03, 2015Baca Juga
“Wah, ternyata kamu sudah tambah besar ya?”
Saya tak asing lagi mendengarkan kata-kata serupa jika bertemu dengan orang dari kampung halaman. Apalagi guru-guru SMA yang pernah mendapati saya hanya setinggi dadanya.
Tepat pukul 2 siang, bersama 6 orang teman lainnya, kami menjejakkan diri di sekolah yang pernah membesarkan saya. Kami hendak belajar menjadi praktisi jurnalistik yang baik. Bukankah cara terbaik memperluas wawasan adalah dengan membagikannya kepada orang lain? Karena satu-satunya hal yang takkan pernah habis dibagi, melainkan selalu bertambah, adalah ilmu dan pengalaman.
Banyak hal yang telah berubah setelah sekian tahun saya tak mengunjunginya. Saya hanya melihat perkembangannya lewat dunia maya. Sekolah ini semakin maju dan, tentunya, membanggakan.
Gedung-gedung baru berdiri cukup kokoh di sebelah kiri tanjakan yang dulu pernah membuat saya repot karena tak pandai memakai motor kopling untuk menanjak. Kantor yang diperluas, dengan perabot dan isinya yang semakin canggih. Ruang UKS yang dipindahkan di sebelah ruang kelas. Kamar kecil yang direnovasi semakin kinclong. Satu ruang kelas baru yang mengurangi kapling lapangan voli. Namun di ujung sekolah, bertambah pula lapangan olahraga baru.
Ruang perpustakaan, juga katanya, semakin kaya buku-buku bacaan. Saya selalu ingat dengan perpustakaan ini. Dulu, saya menjadi pengunjung-peminjam-buku-terbanyak. Mungkin, nyaris setiap bulan saya harus menambahi kuota kartu perpustakaan saya. Sungguh merugilah siswa-siswa zaman sekarang yang tidak memanfaatkan perpustakaannya yang sekarang berlimpah buku.
“Kalau dulu, di masamu, belum sebanyak pembangunan sekarang,”
“Kau sudah rasakan sendiri kan dulu waktu di OSIS bagaimana caranya cari uang sendiri,” kenang Bu Baroroh, salah satu guru andalan kami di sekolah.
Tanpa perlu dikomando lagi, kepingan memori saya terbawa pada masa silam ketika kami harus menggelar acara bazaar. Itu untuk pertama kalinya bagi kami. Dengan sarana seadanya, demi menggelar acara sebesar-besarnya.
Bazaar di sekolah, tidak seperti bazaar yang kerap dihelat kebanyakan mahasiswa di kota Makassar. Kami menggelar bazaar dengan cara yang bagi kami saat itu juga masih terasa baru. Tiket-tiket disebarkan masing-masing anggota. Saya ingat, tiket itu merupakan inisiasi dari seorang teman, yang kini menjadi seorang aktivis sukses di Jakarta sana. Pedagang-pedagang bakso, gado-gado, mie kuah, dan semacamnya didatangkan langsung sebagai penyedia santapannya. Acara-acara kesenian kami tampilkan dari masing-masing kelas yang dipelopori salah satu pembina kesenian terbaik kami, Pak Najib. Panggungnya pun amat sederhana, hanya jejeran meja belajar yang ditutupi terpal dan kain lebar. Pameran karya seni, seperti lukisan, prakarya, miniatur dari Styrofoam, bersaing menyambut tetamu yang hadir dari berbagai sekolah dan kalangan.
Bunda, begitu saya memanggilnya, selalu teringat pada adegan ia memarahi saya di tengah-tengah persiapan bazaar. Sebenarnya ada kesalahpahaman tentang tugas saya pada saat itu. Meskipun demikian, acara kami berakhir sukses, dan memberi pemasukan yang cukup banyak saat itu. Hingga kini, menurut Bunda, kami masih memegang rekor sebagai penyelenggara bazaar terakhir. Karena selepas itu, tak ada lagi periode kepengurusan yang mau bersusah-susah mencantumkan acara bazaar sebagai salah satu program kerjanya.
Tiba di depan gerbang, siswa-siswa sudah pulang dari sekolah. Berhamburan di depan gerbang. Beberapa orang bergerombol di halte menunggu jemputan bus sekolah. Lainnya, berdiri sendiri menunggu seseorang yang akan datang menjemputnya, entah pacar atau saudara.
“Dulu, Imam itu cuma setinggi ini,” tutur kepala sekolah antusias, sambil menggambarkannya pada teman-teman saya, “Tapi saya selalu bilang, saya juga dulu begitu. Nanti kalau sudah kuliah, baru kelihatan pertumbuhannya.”
Dan entah bagaimana caranya, kata-kata kepala sekolah memang benar adanya.
Kata orang, masa SMA adalah masa-masa yang paling seru. Di masa itu ada banyak momen yang tak terlupakan. Mungkin seperti masa-masa kenakalan remaja, masa labilnya, kalau zaman sekarang masa lebay, masa membangkang pada orang tua secara langsung, dan masa-masa patut dihukum.
Hal itu justru tak berlaku mutlak pada saya. Saya melalui masa-masa SMA seperti biasa, tanpa mencoba melakukan hal-hal luar biasa, di luar kehendak yang ingin saya utarakan. Di luar kategori prestasi-prestasi yang disematkan.
Kalau muncul pertanyaan, “Siapa orang yang pertama kali pernah kau sukai?” entah dikategorikan sebagai rasa sayang atau sekadar suka, maka saya akan menjawabnya, dari seorang perempuan di masa sekolah saya dulu.
Baiklah, sembari menyeruput segelas cappuccino, saya dengan sukarela akan menceritakannya…
[bersambung]
Saya tak asing lagi mendengarkan kata-kata serupa jika bertemu dengan orang dari kampung halaman. Apalagi guru-guru SMA yang pernah mendapati saya hanya setinggi dadanya.
Tepat pukul 2 siang, bersama 6 orang teman lainnya, kami menjejakkan diri di sekolah yang pernah membesarkan saya. Kami hendak belajar menjadi praktisi jurnalistik yang baik. Bukankah cara terbaik memperluas wawasan adalah dengan membagikannya kepada orang lain? Karena satu-satunya hal yang takkan pernah habis dibagi, melainkan selalu bertambah, adalah ilmu dan pengalaman.
Banyak hal yang telah berubah setelah sekian tahun saya tak mengunjunginya. Saya hanya melihat perkembangannya lewat dunia maya. Sekolah ini semakin maju dan, tentunya, membanggakan.
Sumber; facebook |
Gedung-gedung baru berdiri cukup kokoh di sebelah kiri tanjakan yang dulu pernah membuat saya repot karena tak pandai memakai motor kopling untuk menanjak. Kantor yang diperluas, dengan perabot dan isinya yang semakin canggih. Ruang UKS yang dipindahkan di sebelah ruang kelas. Kamar kecil yang direnovasi semakin kinclong. Satu ruang kelas baru yang mengurangi kapling lapangan voli. Namun di ujung sekolah, bertambah pula lapangan olahraga baru.
Ruang perpustakaan, juga katanya, semakin kaya buku-buku bacaan. Saya selalu ingat dengan perpustakaan ini. Dulu, saya menjadi pengunjung-peminjam-buku-terbanyak. Mungkin, nyaris setiap bulan saya harus menambahi kuota kartu perpustakaan saya. Sungguh merugilah siswa-siswa zaman sekarang yang tidak memanfaatkan perpustakaannya yang sekarang berlimpah buku.
“Kalau dulu, di masamu, belum sebanyak pembangunan sekarang,”
“Kau sudah rasakan sendiri kan dulu waktu di OSIS bagaimana caranya cari uang sendiri,” kenang Bu Baroroh, salah satu guru andalan kami di sekolah.
Tanpa perlu dikomando lagi, kepingan memori saya terbawa pada masa silam ketika kami harus menggelar acara bazaar. Itu untuk pertama kalinya bagi kami. Dengan sarana seadanya, demi menggelar acara sebesar-besarnya.
Bazaar di sekolah, tidak seperti bazaar yang kerap dihelat kebanyakan mahasiswa di kota Makassar. Kami menggelar bazaar dengan cara yang bagi kami saat itu juga masih terasa baru. Tiket-tiket disebarkan masing-masing anggota. Saya ingat, tiket itu merupakan inisiasi dari seorang teman, yang kini menjadi seorang aktivis sukses di Jakarta sana. Pedagang-pedagang bakso, gado-gado, mie kuah, dan semacamnya didatangkan langsung sebagai penyedia santapannya. Acara-acara kesenian kami tampilkan dari masing-masing kelas yang dipelopori salah satu pembina kesenian terbaik kami, Pak Najib. Panggungnya pun amat sederhana, hanya jejeran meja belajar yang ditutupi terpal dan kain lebar. Pameran karya seni, seperti lukisan, prakarya, miniatur dari Styrofoam, bersaing menyambut tetamu yang hadir dari berbagai sekolah dan kalangan.
Bunda, begitu saya memanggilnya, selalu teringat pada adegan ia memarahi saya di tengah-tengah persiapan bazaar. Sebenarnya ada kesalahpahaman tentang tugas saya pada saat itu. Meskipun demikian, acara kami berakhir sukses, dan memberi pemasukan yang cukup banyak saat itu. Hingga kini, menurut Bunda, kami masih memegang rekor sebagai penyelenggara bazaar terakhir. Karena selepas itu, tak ada lagi periode kepengurusan yang mau bersusah-susah mencantumkan acara bazaar sebagai salah satu program kerjanya.
Tiba di depan gerbang, siswa-siswa sudah pulang dari sekolah. Berhamburan di depan gerbang. Beberapa orang bergerombol di halte menunggu jemputan bus sekolah. Lainnya, berdiri sendiri menunggu seseorang yang akan datang menjemputnya, entah pacar atau saudara.
“Dulu, Imam itu cuma setinggi ini,” tutur kepala sekolah antusias, sambil menggambarkannya pada teman-teman saya, “Tapi saya selalu bilang, saya juga dulu begitu. Nanti kalau sudah kuliah, baru kelihatan pertumbuhannya.”
Dan entah bagaimana caranya, kata-kata kepala sekolah memang benar adanya.
Kata orang, masa SMA adalah masa-masa yang paling seru. Di masa itu ada banyak momen yang tak terlupakan. Mungkin seperti masa-masa kenakalan remaja, masa labilnya, kalau zaman sekarang masa lebay, masa membangkang pada orang tua secara langsung, dan masa-masa patut dihukum.
Hal itu justru tak berlaku mutlak pada saya. Saya melalui masa-masa SMA seperti biasa, tanpa mencoba melakukan hal-hal luar biasa, di luar kehendak yang ingin saya utarakan. Di luar kategori prestasi-prestasi yang disematkan.
Kalau muncul pertanyaan, “Siapa orang yang pertama kali pernah kau sukai?” entah dikategorikan sebagai rasa sayang atau sekadar suka, maka saya akan menjawabnya, dari seorang perempuan di masa sekolah saya dulu.
Baiklah, sembari menyeruput segelas cappuccino, saya dengan sukarela akan menceritakannya…
[bersambung]
--Imam Rahmanto--
0 comments