Usai Itu...
Maret 03, 2015Baca Juga
Saya sering bercanda kepada teman-teman lainnya bahwa batas “ketuaan” seseorang itu diukur dari selesai atau tidaknya mereka menjalani studi. Saya iseng saja membuat ketentuannya sendiri. Seseorang dianggap tua jika sudah melewati batas kemahasiswaannya. Atau dalam artian, ia sudah menyelesaikan studinya.
“Saya masih muda. Orang dianggap tua itu kalau dia sudah selesai kuliah,” canda saya kepada teman-teman yang telah duluan sarjana. Saya harus membalasnya demikian jika mereka memberondong dengan pertanyaan, "Kapan selesai?"
Kini, setelah menjalani proses yudisium beberapa hari lalu, yang tergolong dadakan, saya menyadari sesuatu. Label “tua” lalu tersemat otomatis pada saya. Ehm..saya tak perlu menampiknya. Untuk kali ini, biarlah. Kedewasaan akan tiba pada masanya. Seseorang memang sudah masanya harus menyadari tanggung jawab maupun tugasnya sebagai "orang-yang-tak-lagi-muda".
Kedewasaan pada tahap ini mulai diperhitungkan. Pun, tanggung jawab terukur dari sini. Bukan lagi soal bergantung pada orang tua. Melainkan ia yang seharusnya menjadi tempat bergantung orang lain, khsususnya keluarga.
“Mau lanjut S2?”
Sebagian teman tak lepas menanyakan hal itu. Sejujurnya, saya tak begitu berkeinginan untuk melanjutkan ke jenjang studi “kedua” itu. Dunia nyata, dunia kerja, lebih memberikan porsi yang lebih besar pada animo saya sebagai orang yang baru lulus kuliah. Di samping saya ingin mencari pengalaman yang lebih nyata, saya harus berpikir menyokong kebutuhan keluarga.
Sejatinya, saya memang berpikir bagaimana sedikit-sedikit memapah kondisi keluarga. Bahkan, untuk urusan seremonial kelulusan, saya tak begitu berharap banyak. Sesegera mungkin saya harus bisa membantu meringankan beban disana, maka sebaik itu kondisi akan membaik. Sungguh, apa yang terlihat oleh mata, tak selalu itu yang tampak terjadi.
Bagi saya, melanjutkan pendidikan memang cukup penting. Bahkan, kelak, saya tak mau anak-cucu saya hanya berhenti pada tahap pendidikan kuliah saja. Sebagaimana yakinnya saya, semua orang tua mengharapkan hal demikian. Mana ada orang tua yang tidak menginginkan anaknya lebih berhasil ketimbang dia?
Namun di satu sisi, saya harus menyusun skala prioritas. Karena hidup adalah pilihan. Bahkan tak memilih pun kita sudah dianggap memilih. Pilihan-pilihan yang ada, dan disodorkan pada saya harus dipilih. Berani memilih, artinya berani dengan segala konsekuensinya. Dan kini, prioritas itulah yang kemudian harus dijalani.
Kini, setelah saya dianggap telah menyandang gelar sarjana yang sepatutnya, saya masih harus menanti prosesi upacara penamatannya; wisuda. Saya tak lagi pusing memikirkannya, atau mengejar target penyelesaiannya dua bulan mendatang. Toh, saya telah menyelesaikan studi. Acara itu hanya seremonial sekaligus ramah tamah dengan keluarga mahasiswa. Tak perlu memaksakannya. Saya harus menerima bahwa; uang masih mengendalikan beberapa hal.
Pada tahap ini, saya masih menimbang, menimbang, menimbang, sekaligus memperhtiungkan. Sejauh mana kehidupan akan membagi makna “hidup”nya pada saya.
Baru-baru ini, secara tak langsung, saya diingatkan tentang hal penting oleh salah seorang narasumber, yang merupakan arsitek pengembang perumahan ternama di kota ini,
“Lihatlah kondisi bangsa kita ini. Betapa Tuhan banyak mengajarkan kita nilai-nilai tertentu lewat setiap kejadiannya. Meskipun terasa menyakitkan, namun selalu menyembuhkan. Hal yang sama, selalu pula berputar pada hidup kita,”
Seperti obat yang pahit, setiap kejadian bukan kebetulan terjadi dalam hidup kita. Everything happens for a reason. Kejadian itu menjadi penanda bahwa Tuhan masih peduli atas kehidupan yang kita jalani. Setiap kejadian, serupa puzzle terpisah yang saling dihubungkan dan kelak akan menghasilkan satu gambaran utuh atas kehidupan kita. Di akhir itu, barulah kita akan memahami setiap rencana yang berlaku dalam hidup ini.
“Oh, ternyata begini yaa…” kata kita pada akhirnya, menyadari skenario di balik semua kejadian.
“Saya masih muda. Orang dianggap tua itu kalau dia sudah selesai kuliah,” canda saya kepada teman-teman yang telah duluan sarjana. Saya harus membalasnya demikian jika mereka memberondong dengan pertanyaan, "Kapan selesai?"
Kini, setelah menjalani proses yudisium beberapa hari lalu, yang tergolong dadakan, saya menyadari sesuatu. Label “tua” lalu tersemat otomatis pada saya. Ehm..saya tak perlu menampiknya. Untuk kali ini, biarlah. Kedewasaan akan tiba pada masanya. Seseorang memang sudah masanya harus menyadari tanggung jawab maupun tugasnya sebagai "orang-yang-tak-lagi-muda".
Kedewasaan pada tahap ini mulai diperhitungkan. Pun, tanggung jawab terukur dari sini. Bukan lagi soal bergantung pada orang tua. Melainkan ia yang seharusnya menjadi tempat bergantung orang lain, khsususnya keluarga.
“Mau lanjut S2?”
Sebagian teman tak lepas menanyakan hal itu. Sejujurnya, saya tak begitu berkeinginan untuk melanjutkan ke jenjang studi “kedua” itu. Dunia nyata, dunia kerja, lebih memberikan porsi yang lebih besar pada animo saya sebagai orang yang baru lulus kuliah. Di samping saya ingin mencari pengalaman yang lebih nyata, saya harus berpikir menyokong kebutuhan keluarga.
Sumber: google.com |
Bagi saya, melanjutkan pendidikan memang cukup penting. Bahkan, kelak, saya tak mau anak-cucu saya hanya berhenti pada tahap pendidikan kuliah saja. Sebagaimana yakinnya saya, semua orang tua mengharapkan hal demikian. Mana ada orang tua yang tidak menginginkan anaknya lebih berhasil ketimbang dia?
Namun di satu sisi, saya harus menyusun skala prioritas. Karena hidup adalah pilihan. Bahkan tak memilih pun kita sudah dianggap memilih. Pilihan-pilihan yang ada, dan disodorkan pada saya harus dipilih. Berani memilih, artinya berani dengan segala konsekuensinya. Dan kini, prioritas itulah yang kemudian harus dijalani.
Kini, setelah saya dianggap telah menyandang gelar sarjana yang sepatutnya, saya masih harus menanti prosesi upacara penamatannya; wisuda. Saya tak lagi pusing memikirkannya, atau mengejar target penyelesaiannya dua bulan mendatang. Toh, saya telah menyelesaikan studi. Acara itu hanya seremonial sekaligus ramah tamah dengan keluarga mahasiswa. Tak perlu memaksakannya. Saya harus menerima bahwa; uang masih mengendalikan beberapa hal.
Bukan hanya ketika lulus kuliah orang tua bisa bangga pada anak-anaknya. Bukan ketika mereka hadir di acara yang menjadi perayaan ratusan alumni itu. Sejatinya, orang tua lebih berbangga pada anak-anaknya yang bisa berdiri di kaki sendiri.
Pada tahap ini, saya masih menimbang, menimbang, menimbang, sekaligus memperhtiungkan. Sejauh mana kehidupan akan membagi makna “hidup”nya pada saya.
***
Baru-baru ini, secara tak langsung, saya diingatkan tentang hal penting oleh salah seorang narasumber, yang merupakan arsitek pengembang perumahan ternama di kota ini,
“Lihatlah kondisi bangsa kita ini. Betapa Tuhan banyak mengajarkan kita nilai-nilai tertentu lewat setiap kejadiannya. Meskipun terasa menyakitkan, namun selalu menyembuhkan. Hal yang sama, selalu pula berputar pada hidup kita,”
Seperti obat yang pahit, setiap kejadian bukan kebetulan terjadi dalam hidup kita. Everything happens for a reason. Kejadian itu menjadi penanda bahwa Tuhan masih peduli atas kehidupan yang kita jalani. Setiap kejadian, serupa puzzle terpisah yang saling dihubungkan dan kelak akan menghasilkan satu gambaran utuh atas kehidupan kita. Di akhir itu, barulah kita akan memahami setiap rencana yang berlaku dalam hidup ini.
“Oh, ternyata begini yaa…” kata kita pada akhirnya, menyadari skenario di balik semua kejadian.
--Imam Rahmanto--
0 comments